Masyarakat sipil akan melakukan langkah advokasi dengan melapor ke PTUN apabila Kemendagri tidak melaksanakan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan dan rekomendasi dari Ombudsman terkait pengangkatan penjabat kepala daerah.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri tak kunjung melaksanakan tindakan korektif dari Ombudsman menyusul ditemukan tiga bentuk malaadministrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah. Apabila nanti Kemendagri tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman, masyarakat sipil akan melakukan langkah advokasi dengan melapor ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pada 19 Juli 2022, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) telah merilis Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) ORI terkait pengaduan soal pengangkatan penjabat kepala daerah. LAHP tersebut telah diserahkan ORI kepada Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro. ORI memberi waktu kepada Mendagri untuk melaksanakan tindakan korektif dalam waktu 30 hari sejak diterimanya LAHP dan menyampaikan hasilnya kepada ORI.
Tindakan korektif tersebut adalah menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan dari pihak pelapor serta memperbaiki pengangkatan penjabat kepala daerah dari unsur prajurit TNI aktif. Selain itu, menyiapkan naskah usulan pembentukan peraturan pemerintah terkait dengan pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja, hingga pemberhentian penjabat kepala daerah.
Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, jika tindak lanjut korektif yang dilakukan Kemendagri tidak utuh, akan dilanjutkan pada proses ke dokumen akhir. ”LAHP itu semacam dokumen proses. Dokumen proses itu berlanjut 30 hari, baru dokumen akhir yang merupakan produk tertinggi Ombudsman, yaitu rekomendasi,” kata Robert.
Pernyataan tersebut disampaikan Robert dalam diskusi bertajuk ”Bagaimana Seharusnya Kemendagri Melakukan Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah Pasca Rekomendasi Ombudsman?”, Kamis (4/8/2022). Selain Robert, hadir sebagai pembicara di diskusi itu adalah Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Kahfi Adlan serta Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti.
Robert menjelaskan, rekomendasi tersebut terkait dengan kesalahan dan tindakan yang harus diambil. Rekomendasi tidak lagi diberikan ke pihak terlapor, tetapi kepada atasan terlapor, yakni presiden, dan tembusan diberikan ke DPR.
Apabila Kemendagri tidak melaksanakan LAHP dan rekomendasi dari ORI, masyarakat sipil akan melakukan advokasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Kahfi Adlan mengatakan, masyarakat sipil masih menunggu Kemendagri melaksanakan LAHP yang disampaikan oleh ORI. Ia berharap, ORI tidak perlu sampai mengeluarkan rekomendasi. Namun, apabila Kemendagri tidak melaksanakan LAHP dan rekomendasi dari ORI, masyarakat sipil akan melakukan advokasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
”Peluang besar kita ke PTUN. Ini satu kebijakan yang kemudian obyek gugat untuk ajukan ke PTUN. (Apabila) tindakan korektif tidak dilaksanakan, tentu LAHP dari Ombdusman yang kita terima ringkasannya ini membantu untuk advokasi ke depan,” kata Kahfi.
Ia menegaskan, ada banyak persoalan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah, mulai dari mekanisme penunjukan, aturan pelaksana, hingga penunjukan anggota TNI/Polri aktif yang berpotensi terjadi lagi.
Menurut Kahfi, ada banyak orang dari institusi yang tidak punya relevansi dengan pemerintahan daerah yang ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah. Hal itu tidak hanya menjadi ancaman bagi pembangunan demokrasi di daerah, tetapi secara nasional. Apalagi, ada banyak daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah yang tidak memiliki kompetensi di bidang pemerintahan daerah.
Apabila seorang menteri tidak melaksanakan rekomendasi ORI, harus dilaporkan kepada DPR.
Susi Dwi Harijanti mengungkapkan, rekomendasi Ombudsman disampaikan kepada atasan terlapor. Secara hukum, rekomendasi itu pada umumnya tidak mengikat. Namun, apabila seorang menteri tidak melaksanakan rekomendasi ORI, harus dilaporkan kepada DPR. ”Ombudsman bisa membuat laporan dan memublikasikannya,” kata Susi.
Dalam sistem parlementer, kata Susi, ketika seorang pejabat tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman, maka akan berhadapan dengan DPR. Sementara itu, dalam sistem presidensial, maka presiden yang harus berperan penting. Sebab, menteri bertanggung jawab kepada presiden.
”Dan ini akan dilihat oleh rakyat bagaimana mungkin rekomendasi Ombudsman yang misalkan tadi malaadministrasi itu kemudian tidak dilaksanakan. Berarti itu membiarkan terjadinya malaadministrasi. Terus apa artinya kita bicara Indonesia negara hukum yang demokratis? Maka, di tangan presidenlah ini menjadi segala sesuatu itu akan kembali ke relnya atau bagaimana,” tutur Susi.
Kompas sudah meminta tanggapan ke Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro dan Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan terkait dengan tindak lanjut tindakan korektif dari Ombudsman, tetapi tidak direspons.