Masyarakat Sipil Menuntut Pasal Bermasalah RKUHP Didiskusikan Terbuka
Masyarakat sipil berharap agar keinginan Presiden supaya RKUHP didiskusikan kembali dengan masyarakat dapat direalisasikan dengan membahas semua pasal RKUHP yang bermasalah. Pembahasan dilakukan di ruang diskusi terbuka.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, SUSANA RITA KUMALASANTI, DIAN DEWI PURNAMASARI
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk kembali membahas pasal-pasal bermasalah di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam diskusi terbuka dengan berbagai elemen masyarakat. Hal itu tidak terbatas pada 14 isu krusial yang dikerucutkan pemerintah, tetapi juga pasal-pasal lain di antaranya yang terkait dengan demokrasi dan korupsi.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyambut rencana Presiden Joko Widodo yang meminta jajarannya untuk kembali mendiskusikan draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bersama dengan masyarakat sipil. Namun, pembahasan yang dimaksud hendaknya tidak terbatas pada 14 isu krusial yang disimpulkan pemerintah selama ini, dan diterjemahkan menjadi 14 pasal. Di luar 14 pasal tersebut, masih ada beberapa pasal lain yang juga penting untuk diperhatikan.
”Terkait isu demokrasi ada banyak pasal di dalam RKUHP, tidak hanya soal penghinaan presiden dan wakil presiden saja, tetapi juga penghinaan penguasa umum dan pasal tentang demonstrasi,” kata Isnur saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (2/8/2022).
Ia menambahkan, sejumlah pasal itu harus dibahas ulang di ruang diskusi terbuka oleh pemerintah dengan melibatkan sejumlah ahli. Bukan hanya di bidang pidana, melainkan juga bidang-bidang lain, antara lain tata negara dan kriminologi. Ruang diskusi yang dimaksud juga harus diperjelas. Sebab, masyarakat sipil terbuka untuk memberikan masukan, catatan, dan berbagai kekhawatiran dalam memperbaikan draf RKUHP yang saat ini sudah ada.
Di luar soal demokrasi, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga memberikan catatan terhadap beberapa pasal bermasalah di RKUHP seputar isu korupsi. Keberadaan pasal-pasal itu dinilai dapat memperlemah penegakan hukum pemberantasan korupsi secara sistematis.
Pelemahan sistematis itu salah satunya terlihat dari pengurangan hukuman bagi koruptor. Contohnya, dalam Pasal 607 RKUHP yang merupakan bentuk baru dari Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), hukuman penjara dikurangi dari empat tahun menjadi dua tahun. Denda maksimal yang dijatuhkan kepada koruptor juga turun dari Rp 200 juta menjadi Rp 10 juta.
Kemudian pada Pasal 610 Ayat (2) RKUHP, hukuman penerima suap adalah empat tahun penjara. Padahal dalam Pasal 11 UU Tipikor, penerima suap terancam hukuman penjara selama lima tahun. Denda yang dikenakan pun berkurang dari Rp 250 juta menjadi Rp 200 juta.
Kurnia menambahkan, RKUHP juga menghilangkan pengategorian korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Sebelumnya dalam UU Tipikor, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa sehingga ada pengaturan tentang sanksi pidana maksimum dan minimum bagi para pelakunya.
Selain itu, RKUHP juga mengandung ancaman kriminalisasi bagi masyarakat dalam persidangan perkara korupsi. Hal itu tertuang dalam Pasal 280 huruf b RKUHP. Hal itu sangat disayangkan mengingat di Indonesia masih banyak perkara korupsi yang memantik kritik publik karena belum memberikan efek jera yang optimal kepada pelaku serta adanya putusan-putusan yang janggal.
”Berangkat dari permasalahan-permasalahan itu, ICW mendesak pemerintah dan DPR segera mengeluarkan delik-delik korupsi dari RKUHP, kemudian merevisi UU Tipikor,” kata Kurnia.
Tidak terburu-buru
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pemerintah dan DPR tidak perlu terburu-buru untuk mengesahkan RKUHP. Sebelumnya, pemerintah sempat menargetkan agar RKUHP bisa disahkan sebelum 17 Agustus 2022. Namun, ketergesaan itu tidak berarti apa-apa jika justru mengancam kebebasan sipil.
”Apa gunanya terburu-buru mengesahkan RKUHP hanya demi simbolisme hari kemerdekaan, jika pasal-pasal dalam RKUHP malah berpotensi mengurangi dan membatasi kemerdekaan masyarakat untuk mengungkapkan pendapat, berserikat, dan berkumpul secara damai,” katanya.
Pemerintah dan DPR tidak perlu terburu-buru untuk mengesahkan RKUHP. (Usman Hamid)
Menurut Usman, ke depan pembahasan RKUHP semestinya dilakukan di ruang terbuka dan diumumkan sejak jauh hari agar semua elemen masyarakat bisa berpartisipasi memberikan masukan. Pemerintah dan DPR juga perlu memulainya dengan pikiran terbuka dan tidak bersikap defensif. Sebab, dalam audiensi yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) beberapa waktu terakhir, tidak tampak keterbukaan untuk mengubah atau mempertimbangkan kembali pasal-pasal yang berpotensi melanggar HAM.
Koordinator Bidang Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Melki Sedek Huang sepakat, RKUHP masih dipenuhi permasalahan, seperti adanya pasal yang mengancam demokrasi, HAM, dan kepastian hukum. Oleh karena itu, wajar jika masih banyak penolakan dan perlu dibahas ulang secara komprehensif.
”Jika DPR bersikeras untuk mengesahkan RKUHP yang masih bermasalah ini di momen perayaan kemerdekaan nanti, jelas ini adalah pelecehan dan penghinaan besar akan sakralnya momen HUT RI. Bagaimana tidak, RKUHP seharusnya menjadi titik reformasi hukum pidana terjadi dan kita memiliki hukum pidana yang baik dan minim watak kolonial. Bukannya malah menghidupkan pasal-pasal pengancam demokrasi dan malah menghidupkan kembali logika penjajahan,” papar Melki.
Partisipasi bermakna
Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra juga menyambut rencana pemerintah untuk kembali menyerap masukan masyarakat. Dia bersyukur pemerintah mendengar aspirasi dari masyarakat, termasuk Dewan Pers. Sebelumnya, Dewan Pers telah beraudiensi dengan Wakil Menkumham Edward OS Hiariej, Menko Polhukam Mahfud MD, dan anggota Komisi III DPR. Dari hasil audiensi dengan Wakil Menkumham, draf terbaru RKUHP akhirnya diunggah agar bisa diakses publik.
Dalam audiensi dengan Menko Polhukam, Dewan Pers menyampaikan keberatan terhadap 22 pasal dalam sembilan klaster RKUHP yang berpotensi memberangus kebebasan pers dan berekspresi. Misalnya, tindak pidana keamanan negara, tindak pidana terhadap ideologi negara, penyebaran atau pengembangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme, dan lain-lain.
”Dewan Pers menyampaikan usul revisi terhadap pasal-pasal bermasalah itu. Selain itu, kami juga meminta pemerintah membuka konsultasi publik dan masyarakat sipil sebelum mengesahkan RKUHP,” ujar Azyumardi.
Azyumardi berharap, ruang konsultasi publik terhadap RKUHP tidak hanya dibatasi pada 14 isu krusial yang sudah disosialisasikan ulang oleh pemerintah. Isu di luar itu juga harus tetap dibahas dengan prinsip partisipasi bermakna. Prinsip partisipasi bermakna sebagaimana disebutkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi adalah hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
”Bagaimana konsep partisipasi bermakna itu akhirnya dilakukan oleh pemerintah tergantung pada political will pembentuk UU, yaitu pemerintah dan DPR,” jelas Azra.
Azyumardi berharap, ruang konsultasi publik terhadap RKUHP tidak hanya dibatasi pada 14 isu krusial yang sudah disosialisasikan ulang oleh pemerintah. Isu di luar itu juga harus tetap dibahas dengan prinsip partisipasi bermakna.
Paralel
Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP Albert Aries mengatakan, pihaknya akan melaksanakan arahan Presiden Joko Widodo untuk kembali menyosialisasikan RKUHP. Sosialisasi khusus terhadap 14 isu krusial akan disampaikan ke simpul-simpul masyarakat melalui lembaga pemerintah. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) ditunjuk sebagai penyelenggara kegiatan, sedangkan Kemenkumham diminta menyiapkan materi sosialisasi. ”Intinya kami mau membangun terus sosialisasi dan komunikasi publik mengenai RKUHP,” kata Albert.
Arahan Presiden yang dimaksud disampaikan dalam rapat internal di Istana Negara, Selasa pagi. Seusai rapat, arahan tersebut disampaikan dalam konferensi pers oleh Menko Polhukam Mahfud MD. Ia didampingi Menteri Kominfo Johnny G Plate dan Wakil Menkumham Edward OS Hiariej.
Ia menambahkan, sosialisasi akan dilaksanakan secara paralel atau bersamaan dengan pembahasan di DPR, khususnya terkait 14 isu krusial. Diberitakan sebelumnya, pemerintah dan DPR sepakat untuk melanjutkan pembahasan RKUHP setelah terhenti pada 2019 dan diputuskan menjadi RUU yang bersifat luncuran atau carry over. Pada 2021, Kemenkumham menggelar sosialisasi di 12 kota yang melibatkan akademisi dan praktisi hukum serta elemen masyarakat yang lain.
Sosialisasi yang dilakukan, tambah Albert, tak hanya mencakup 14 isu krusial, tetapi juga pasal-pasal yang merupakan pembaruan hukum pidana yang dimuat di RKUHP. ”Selama sosialisasi berlangsung, pembentuk undang-undang tetap menampung masukan dan usulan dari masyarakat sehingga kalau memang beralasan, usulan itu akan menjadi pertimbangan dalam pembahasan RKUHP,” kata Albert.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir mengatakan, pihaknya membuka pintu seluas-luasnya terhadap masukan publik pada RKUHP. Setelah masa reses berakhir pada 15 Agustus mendatang, Komisi III juga akan mengundang banyak pihak untuk menyerap masukan sesuai dengan keinginan Presiden dan masyarakat luas.
Tidak menutup kemungkinan, pembahasan yang dilakukan di Komisi III pada masa sidang berikutnya tidak hanya terkait dengan 14 pasal yang termasuk dalam isu krusial, tetapi juga pasal-pasal yang lain. ”Kalau masyarakat menghendaki harus dibahas lagi terhadap poin-poin krusial atau ada poin-poin lain, kami siap saja,” ujar Adies.
Adies mengklaim, Komisi III tidak akan terburu-buru dalam membahas kembali draf RKUHP. Tidak ada target bahwa RKUHP harus disahkan pada masa sidang mendatang. ”Waktu kami masih panjang, sampai September 2024,” katanya.