Mempersoalkan Aspirasi Publik pada Penyusunan RKUHP
Hingga kini masyarakat sipil masih mempersoalkan RKUHP, antara lain Pasal 218, 219, dan 220 terkait penghinaan atas presiden dan wakil presiden yang diancam pidana 4 tahun 6 bulan. Aspirasi publik dinilai belum didengar.
Upaya untuk menghadirkan sebuah hukum pidana nasional yang bukan warisan kolonial sudah dirintis sejak puluhan tahun silam. Seminar Hukum Nasional I di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1963 sering disebut sebagai titik awal upaya memperbarui hukum nasional kita.
Selain Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, seminar itu juga membahas rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Seminar tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan draf RKUHP. Dalam catatan Kompas, pada 5 Juni 1973, Menteri Kehakiman Oemar Senoaji membentuk panitia yang ditugaskan menyiapkan rancangan KUHP dalam rangka mengupayakan kodifikasi hukum nasional. Dalam SK No JHS/I/I/24 yang dikeluarkan 21 Mei 1973, Kadarusman ditunjuk sebagai ketua penyusunan rancangan KUHP.
Dalam perkembangannya, para begawan hukum pidana berganti-ganti terlibat sebagai anggota tim untuk menyusun RKUHP. Namun, hingga lebih dari setengah abad kemudian, cita-cita untuk memiliki sebuah hukum pidana nasional itu pun belum juga kesampaian. Meski sudah melewati masa kepemimpinan enam presiden, mulai dari Soeharto hingga kini Joko Widodo, RKUHP belum juga dapat disahkan menjadi undang-undang.
Upaya pembahasan secara intens dimulai pada tahun 2015 dengan draf yang diperbaiki dari waktu ke waktu. Hingga pada akhirnya pada September 2019, Komisi III DPR dan pemerintah memberi persetujuan tingkat pertama terhadap draf RKUHP dan siap membawanya ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.
Akan tetapi, terjadi penolakan yang luas oleh masyarakat sampai akhirnya Presiden Jokowi memutuskan menunda pemberian persetujuan bersama RKUHP menjadi undang-undang. Presiden dan DPR sepakat untuk melakukan sosialisasi terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembahasan.
Baca juga: Fitur Penghinaan RKUHP
Berdasarkan kesepakatan tersebut, pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyosialisasikan draf RKUHP ke 12 kota secara maraton sepanjang 2021. Sosialisasi yang digelar secara luring dan daring tersebut diikuti oleh akademisi dan semua pemangku kepentingan dalam keberlakuan hukum pidana nasional.
Akan tetapi, sosialisasi tersebut rupanya belum menyentuh publik secara luas. Jajak pendapat Kompas menyebutkan, sekitar 89,3 persen responden mengaku tidak mengetahui bahwa RKUHP akan segera disahkan. Setidaknya sembilan dari 10 orang yang ditanya mengenai masalah tersebut belum terlalu memahami isu tersebut.
Dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum pada Rabu (13/7/2022), Kompas TV mengulik kembali mengapa publik begitu khawatir dengan rencana pengesahan RKUHP yang semula ditargetkan selesai Juli 2022. Dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, sejumlah narasumber dihadirkan, yaitu Ketua Tim Sosialisasi RKUHP Kementerian Hukum dan HAM Albert Aries, Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra, anggota Komisi III DPR Taufik Basari, dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia Bayu Satrio Utomo.
Azyumardi Azra mengatakan, banyak substansi pasal di RKUHP yang mencerminkan neokonservatisme. Ini setidaknya terlihat dari salah satu pasal yang mengatur larangan menyiarkan ajaran Leninisme, komunisme.
Neokonservatisme
Azyumardi Azra mengatakan, banyak substansi pasal di RKUHP yang mencerminkan neokonservatisme. Ini setidaknya terlihat dari salah satu pasal yang mengatur larangan menyiarkan ajaran Leninisme, komunisme, dan Marxisme. Pengecualian terhadap hal tersebut hanya untuk kepentingan ilmiah/akademis.
Dengan pengaturan seperti itu, apabila suatu media menurunkan tulisan yang menyinggung ajaran tersebut, ada ancaman pidana yang bisa menjerat. Semua kembali kepada penegak hukum, apakah akan memprosesnya atau tidak.
Baca juga: Menyoal Pidana Alternatif di RKUHP
Dewan Pers sebenarnya sudah membahas dan menyisir pasal-pasal yang bisa menyebabkan kemunduran dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi pada 2017. Tahun berikutnya, 2018, Dewan Pers berkumpul dengan seluruh konstituen pers membahas hal yang sama dan ditemukan ada delapan pasal yang masih bermasalah. Hasil pertemuan tersebut sudah disampaikan kepada Ketua DPR saat itu, Bambang Soesatyo.
Akan tetapi, masukan masyarakat pers tersebut ternyata tidak diakomodasi. Menurut Azra, pihaknya tetap menemukan substansi yang sama dalam draf final RKUHP yang beredar pada 4 Juli lalu. Substansi RKUHP betul-betul tidak berubah. ”Jadi (aspirasi) tidak didengar. Tidak ada perubahan, (substansi bermasalah) malah nambah. Jadi 10 atau 12 pasal,” kata Azra.
Adapun beberapa pasal yang masih dipersoalkan masyarakat sipil di antaranya Pasal 218, 219, dan 220 terkait ketentuan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang diancam pidana maksimal 4 tahun 6 bulan.
Ada pula Pasal 240 dan 241 terkait penghinaan terhadap pemerintah sah yang diancam pidana penjara maksimal 4 tahun, Pasal 351 dan 352 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara yang dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun, Pasal 352 terkait pelaku penodaan agama dapat dipidana maksimal 5 tahun, dan Pasal 2 dan 601 di mana hukum yang hidup di masyarakat adat dapat untuk memidana.
Bayu mengatakan, dengan mengusung tagar #semuabisakena, para mahasiswa bersama Aliansi Nasional Reformasi KUHP tetap menyuarakan adanya 24 isu krusial yang ada di dalam draf terakhir. Ia pun mengkritik pemerintah yang dinilainya selalu mengglorifikasi sosialisasi yang dilakukan di 12 kota pada tahun lalu.
Namun, menurut Bayu, sosialisasi tersebut belumlah cukup dan terbilang sangat sedikit. Bahkan, lokasi sosialisasi saja tidak ada separuh dari jumlah provinsi yang ada di Indonesia yang kini menjadi 37 provinsi. ”Tidak sampai setengahnya. Aksi kami mahasiswa saja ada di 16 kota, lebih banyak,” katanya.
Baca juga: RKUHP Berjalan dalam Lorong Gelap
Para mahasiswa tetap mempersoalkan pasal yang mengatur sanksi pidana bagi pengunjuk rasa yang berdemonstrasi tanpa pemberitahuan kepada pihak berwajib yang semula diatur di dalam Pasal 273 RKUHP. Dalam draf final, ketentuan itu dipindah ke Pasal 256 RKUHP. Padahal, unjuk rasa telah diatur dalam UU No 8/1998.
Solusi
Taufik Basari mengatakan, pihaknya akan mengajak rekan-rekannya di Komisi III DPR untuk bersama-sama dengan pemerintah membuka ruang pembahasan terhadap pasal-pasal yang ada di RKUHP. Apabila ruang pembahasan sudah dibuka, konsultasi nasional di mana setiap orang bisa terlibat di dalam pembahasan RKUHP perlu digelar. Kalau diperlukan, kata Taufik, simulasi terhadap pasal-pasal kontroversial bisa dilakukan.
Taufik Basari mengatakan, pihaknya akan mengajak rekan-rekannya di Komisi III DPR untuk bersama-sama dengan pemerintah membuka ruang pembahasan terhadap pasal-pasal yang ada di RKUHP.
Sementara itu, pemerintah dalam hal ini diwakili juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP Kemenkumham Albert Aries mengungkapkan, pihaknya berharap RKUHP bisa diterima secara komprehensif oleh masyarakat luas. Pemerintah tetap membuka diri untuk menerima masukan-masukan dan solusi alternatif yang ditawarkan oleh semua kalangan. Ini menjadi bagian dari upaya menghadirkan partisipasi yang bermakna (meaningfull participation) seperti diperintahkan Mahkamah Konsitusi.
Dengan demikian, masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya kepada wakil rakyat, terutama ketika saat ini banyak anggota DPR yang terjun ke daerah di tengah masa reses.