Sebanyak 89,3 persen responden jajak pendapat Kompas tak tahu soal rencana pengesahan RKUHP. Adanya pasal mengganjal dan perasaan tak dilibatkan dalam proses perancangan jadi dua alasan teratas penolak pengesahan RKUHP.
Oleh
(RANGGA EKA SAKTI/ Litbang Kompas)
·5 menit baca
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru saja diserahkan oleh pemerintah ke DPR seakan berjalan dalam lorong gelap yang jauh dari jangkauan publik. Hak publik untuk bersuara dan ikut terlibat dalam proses perumusan RKUHP ini perlu untuk dipertimbangkan serius.
Komisi III DPR dan Pemerintah semula mematok target pengesahan RKUHP sebelum berakhirnya masa sidang V Tahun Persidangan 2021-2022 yang berakhir pada 7 Juli 2022. Namun, hal itu urung dilakukan. Pada 6 Juli 2022 pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej menyerahkan draf RKUHP yang sudah disempurnakan kepada Komisi III DPR (Kompas.id, 6/7/2022).
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan akhir Juni 2022 merekam, mayoritas responden (89,3 persen) mengaku tidak tahu soal rencana pengesahan RKUHP. Sederhananya, dari 10 orang, boleh jadi hanya 1 orang yang tahu soal rencana pengesahan RKUHP ini.
Keengganan untuk melibatkan dan mendengarkan secara meluas suara publik dalam proses meramu kitab peraturan pidana yang baru ini sepertinya memang sudah menjadi gejala umum. Hal ini umumnya terjadi ketika obyek dari aturan tersebut memicu kontroversi dan polemik.
Absennya suara masyarakat dalam pembahasan RKUHP sebetulnya bukan hal baru. Sekitar dua tahun silam, kasus serupa terjadi ketika pemerintah dan DPR membahas RUU ”Omnibus Law”Cipta Kerja. Bak Bandung Bondowoso membangun candi, UU ”super” ini diketuk palu dalam waktu yang relatif cepat dan terkesan buru-buru. Padahal, saat itu polemik masih terjadi di publik. Hal yang sama terjadi ketika DPR merevisi UU KPK.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan akhir Juni 2022 merekam, mayoritas responden (89,3 persen) mengaku tidak tahu soal rencana pengesahan RKUHP. Sederhananya, dari 10 orang, boleh jadi hanya satu orang yang tahu soal rencana pengesahan RKUHP ini.
Saat pembahasan UU Cipta Kerja, sebagian besar masyarakat meminta pemerintah dan DPR untuk bersabar. Hal ini dikuatkan dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada April 2020 yang menunjukkan 82,9 persen responden menilai pengesahan RUU Cipta Kerja harus ditunda. Seperti halnya penolakan pada revisi UU KPK, demonstrasi besar-besaran terjadi di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Sayangnya, suara warga kurang didengar dan kedua RUU itu tetap diloloskan.
Kecurigaan
Belajar dari sejumlah RUU yang menimbulkan penolakan publik, tidak heran jika saat ini publik cenderung menaruh kecurigaan pada pembahasan dan rencana pengesahan RKUHP.
Merujuk hasil jajak pendapat Litbang Kompas setahun lalu, sekitar 80 persen responden juga mengaku tidak mengetahui tentang rencana pemerintah yang hendak membahas RKUHP. Hal ini menunjukkan, alih-alih membawa titik terang, pembahasan RKUHP justru semakin mengalienasi publik. Sayang, kesempatan selama setahun lebih ini cenderung gagal dimanfaatkan pemerintah dan DPR untuk melibatkan masyarakat secara optimal dalam membahas RKUHP ini.
Minimnya suara publik selama proses pembahasan RKUHP ini pada akhirnya melahirkan potret perumusan kebijakan yang elitis. Padahal, jika jadi disahkan, RKUHP ini akan menjadi kitab hukum yang mengatur kehidupan seluruh warga Indonesia. Ada kecenderungan kegamangan publik yang tertangkap dari hasil jajak pendapat kali ini ketika menghadapi isu soal RKUHP.
Kegamangan itu terlihat dari banyaknya ketidaktahuan soal RKUHP. Sementara itu, sebagian dari mereka yang tahu pun, sebagian di antaranya juga bingung ketika ditanya soal sikap mereka setuju atau tak setuju dengan pengesahan RKUHP. Tak heran jika hampir 40 persen dari kelompok responden yang tahu soal RKUHP ini menjawab tidak tahu apakah harus setuju atau tidak setuju terhadap RKUHP ini.
Dari kelompok yang setuju, alasan terbesarnya adalah karena sudah yakin dengan isi RKUHP, apalagi KUHP yang selama ini sudah dinilai usang karena peninggalan era kolonialisme Belanda. Sementara itu, pertimbangan paling banyak yang disebutkan oleh kelompok responden yang tidak setuju adalah karena merasa ada beberapa pasal atau bagian dalam RKUHP ini yang masih mengganjal. Tentu, hal ini tidak lepas dari polemik RKUHP yang dipicu oleh sejumlah pasal yang dinilai bermasalah.
H asil jajak pendapat Litbang Kompas pada Juni 2022 juga menunjukkan bahwa 70,7 persen responden berargumen masih ada beberapa pasal yang mengganjal sebagai alasan menolak pengesahan RKUHP.
Pasal bermasalah
Soal pasal yang dinilai bermasalah ini juga bukan ditolak saat ini saja. Penolakan sudah terjadi lama. RUU KUHP ini pernah dibahas dan akan disahkan pada 2019. Namun, pengesahan RUU ini diminta untuk ditunda oleh Presiden Joko Widodo setelah adanya gelombang protes dari masyarakat.
Masih ada sebagian dari publik yang masih ingat dengan beberapa pasal-pasal problematis yang terkandung dalam draf RKUHP tahun 2019. Bahkan, hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Juni 2022 juga menunjukkan bahwa 70,7 persen responden berargumen masih ada beberapa pasal yang mengganjal sebagai alasan menolak pengesahan RKUHP.
Pasal-pasal yang dinilai bermasalah oleh publik seperti pasal terkait edukasi alat kontrasepsi (Pasal 429), pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218), dan penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240, 241).
Pasal-pasal tersebut, termasuk Pasal 246-248 tentang larangan penghasutan untuk melawan penguasa umum, sudah pasti akan menambah sempit ruang bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Terlebih lagi, definisi dari tindak pidana yang ada dalam pasal-pasal tersebut masih abu-abu sehingga rawan menimbulkan kriminalisasi.
Ruang diskursus
Dengan masih banyaknya persoalan dalam draf RKUHP, DPR tidak bisa gegabah mengesahkan rancangan KUHP. Idealnya, masyarakat diberikan ruang untuk bisa menyampaikan aspirasi, khususnya terkait pasal-pasal yang nantinya akan mengatur hidup mereka.
Hal ini juga menjadi keresahan yang ditangkap dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas. Selain ada pasal-pasal yang dinilai bermasalah, minimnya keterlibatan publik jadi alasan kedua di balik sikap responden menolak pengesahan RKUHP, terutama dalam kelompok responden yang mengetahui rencana pengesahan RKUHP.
Keterlibatan publik bisa didorong melalui transparansi pembahasan, baik dari pemerintah ataupun DPR. Dengan informasi yang cukup, diskursus di ruang publik pun akan tumbuh secara sendirinya. Alih-alih tertutup, keterbukaan sebetulnya justru akan lebih menguntungkan bagi kemaslahatan bersama.
Pasalnya, semakin banyak aspirasi publik yang naik ke permukaan akan membantu pemerintah dan legislatif untuk menelurkan kebijakan dengan legitimasi kuat. Sementara itu, sudah jelas terlihat bahwa kebijakan yang bertentangan dengan kehendak publik pasti akan dibalas dengan reaksi keras dan sulit untuk dimplementasikan dengan maksimal di lapangan.
Selain itu, salah satu tujuan dari dibuatnya RKUHP yang baru ialah untuk menggantikan kitab hukum lama yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Tak ayal, pengesahan tanpa mendengar suara rakyat hanya membawa RKUHP berjalan di lorong gelap. Mengkaji kembali RKUHP dengan memaksimalkan pelibatan publik tentu menjadi langkah bijak guna membangun kemaslahatan bangsa.