Isu Krusial dalam RKUHP Akan Dibahas Ulang
Pemerintah telah menyempurnakan draf RKUHP dan menyerahkannya kepada Komisi III DPR. Untuk selanjutnya, pemerintah tak keberatan jika diskusi 14 isu krusial dibuka kembali. Selain dari itu, pemerintah tak bersedia.

Rapat kerja Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta, Rabu (6/7/2022). Dalam rapat tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej menyerahkan draf RKUHP yang telah disempurnakan kepada Komisi III.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR membuka peluang untuk membahas kembali Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akan tetapi, pembahasan dibatasi hanya pada 14 isu krusial yang selama ini menjadi kontroversi di masyarakat.
Kesepakatan untuk membuka peluang pembahasan isu-isu krusial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dicapai dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Dalam rapat tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej menyerahkan draf RKUHP yang telah disempurnakan dalam sebulan terakhir kepada Komisi III.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir mengatakan, pihaknya masih membutuhkan beberapa kali diskusi sebelum mengambil keputusan untuk menyetujui draf RKUHP hasil penyempurnaan. Seluruh anggota Komisi III diberikan waktu untuk membahas draf tersebut secara internal di fraksi masing-masing. Namun, pembahasan dibatasi hanya untuk 14 isu krusial yang selama ini menjadi kontroversi di masyarakat.
”Terkait dengan RKUHP, kami masih butuh diskusi dengan Kemenkumham dan seluruh jajaran terkait,” kata Adies.
Baca juga: Mewaspadai Ancaman Inflasi Hukum Pidana

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Adies Kadir (kiri) dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej seusai rapat kerja Komisi III dan Kemenkumham di Jakarta, Rabu (6/7/2022).
Setelah diskusi di internal, pandangan setiap fraksi akan disampaikan kembali dalam rapat kerja Komisi III dengan Kemenkumham. Menurut rencana, rapat kerja akan dilaksanakan pada masa sidang selanjutnya, karena Masa Sidang V Tahun 2021-2022 akan ditutup pada Kamis (7/7/2022).
Adies menambahkan, diskusi dibutuhkan agar publik lebih memahami alasan kehadiran pasal-pasal krusial. Selain itu, diskusi juga diharapkan bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa RKUHP sudah disesuaikan dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang modern.
Selama (hanya) 14 itu, kami akan membuka pembahasan. Selain dari itu, tidak. (Edward OS Hiariej)
Dalam pembahasan, kata Adies, dimungkinkan adanya perubahan pada bagian penjelasan pasal per pasal. Tak hanya itu, tidak menutup kemungkinan batang tubuh RKUHP juga akan diubah jika ada desakan dari publik. ”Kalau ada tekanan yang keras dari masyarakat, ya, apa boleh buat. Kita boleh lah ubah-ubah sedikit,” ujar Adies.
Edward OS Hiariej menyampaikan, tidak keberatan jika diskusi atas isu-isu krusial dibuka kembali. Misalnya, terkait dengan kejahatan kesusilaan yang dalam RKUHP menyangkut tiga hal, yakni kohabitasi, pemerkosaan, dan aborsi. ”Selama (hanya) 14 itu, kami akan membuka pembahasan. Selain dari itu, tidak,” katanya.
Baca juga: ”Hukum yang Hidup” dalam Rancangan Hukum Pidana

Ia menegaskan, 14 isu krusial itu akan didiskusikan. Artinya, bisa terjadi perubahan atau tidak ada perubahan sama sekali. Hal itu sangat bergantung pada hasil diskusi antara Komisi III dan pemerintah ke depan. ”Didiskusikan, itu artinya bisa terjadi macam-macam di situ, tetapi tetap hanya terkait 14 isu krusial,” kata Edward.
Penambahan penjelasan
Edward menambahkan, penyempurnaan RKUHP yang dilakukan pemerintah di antaranya terkait dengan 14 isu krusial. Isu-isu tersebut, antara lain, hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), pidana mati, penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, menyatakan diri dapat melakukan tindakan pidana karena memiliki kekuatan gaib, hingga dokter atau dokter gigi yang melaksanakan tugasnya tanpa izin.
Contempt of court (merendahkan lembaga peradilan), unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih, advokat yang curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan, penggelandangan, dan pengguguran kandungan juga termasuk di dalamnya. Selain itu, isu krusial juga termasuk tindak pidana kesusilaan yang menyangkut perzinaan, kohabitasi, dan pemerkosaan.
Dari 14 isu krusial tersebut, pemerintah menambahkan penjelasan pada beberapa pasal. Pertama, pada Pasal 218 Ayat (2) tentang penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden (wapres). ”Kami menambahkan di penjelasan, mengenai kritik yang dimaksud untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan dengan hak berekspresi dan berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan wapres,” kata Edward.
Baca juga: Menilik RKUHP dari Lensa Demokrasi Konstitusional

Jajak Pendapat Litbang Kompas mengenai RKUHP
Dalam penjelasan juga disebutkan, kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan alternatif atau solusi, dan/atau dilakukan secara obyektif. Kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau kebijakan atau tindakan presiden dan wapres, serta membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat.
”Selanjutnya, kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat, menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wapres. Penambahan penjelasan juga dilakukan pada Pasal 256. Pasal tersebut mengatur penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi. Selain itu, sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan juga dilakukan terhadap 15 poin lainnya. ”Kami melakukan sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan sehingga tidak ada multi-interpretasi,” ujar Edward.
Selain menambah penjelasan, pemerintah juga menambah ancaman pidana baru untuk penadahan, penerbitan, dan percetakan, yang belum diatur dalam draf RKUHP 2019. Kemudian mengharmonisasikan dengan sejumlah UU di luar KUHP, yakni UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan dan Gedung, UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Teknik penyusunan RKUHP disesuaikan dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Terakhir, memperbaiki kesalahan penulisan.
Pemerintah juga menambah ancaman pidana baru untuk penadahan, penerbitan, dan percetakan, yang belum diatur dalam draf RKUHP 2019.
Transparan
Merespons penyerahan draf RKUHP dari pemerintah kepada DPR, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, pembahasan perubahan rumusan substansi RKUHP nantinya harus dibahas secara terbuka. Keseluruhan draf RUU juga seharusnya sudah dapat diakses publik dalam jangka waktu yang cukup sebelum RKUHP disahkan menjadi undang-undang.
Baca juga: Pembaruan KUHP Berpotensi Memperburuk Kebebasan

Masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi berunjuk rasa, Senin (16/9/2019), di depan gerbang Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta. Mereka menolak pengesahan RKUHP.
”Pemerintah dan DPR sebagai tim perumus RKUHP seharusnya membuka pembahasan secara menyeluruh dan memastikan partisipasi bermakna dari masyarakat,” kata Isnur.
Merujuk Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 mengatur bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apa pun dan tanpa pembatasan yang tidak beralasan untuk ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.