Menyoal Pidana Alternatif di RKUHP
RKUHP mengadopsi pidana alternatif, seperti kerja sosial. Adopsi ini disebut dapat mengurangi kelebihan penghuni di lapas dan rutan.
Mari sejenak berandai-andai. Ada seorang ayah pulang kerja, memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Entah karena kelelahan setelah bekerja dari pagi atau karena pikirannya berkecamuk akibat tekanan pekerjaan, ia tidak menyadari bahwa anaknya keluar dari rumah untuk menyambutnya. Anaknya itu berada di belakang mobil yang sedang diparkir, dan tak sengaja terlindas mobil si ayah, sampai meninggal.
Apakah kepada ayah tersebut bisa dijatuhi pidana penjara karena kelalaiannya mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang yang notabene anaknya? Bagaimana jika setelah si anak meninggal, ayah mendekam di penjara, si ibu depresi berat? Apakah hukum sudah melaksanakan fungsi dan tujuannya?
Contoh kasus kedua, seorang ibu tertangkap tangan mencuri. Setelah proses penyidikan dilakukan, diketahui motif pencurian dilakukan karena lapar. Ada anak yang harus diberi makan oleh orang tersebut. Apakah ibu harus menanggung perbuatannya dengan dipenjara, lantas bagaimana dengan nasib anaknya?
Munculnya kasus-kasus seperti itu semakin menegaskan bahwa pidana penjara bukanlah satu-satunya jawaban bagi tercapainya tujuan hukum, yaitu menghadirkan keadilan, menjamin kepastian hukum, dan menciptakan ketertiban. Pakar hukum pidana Albert Aries, yang juga Ketua Tim Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengungkapkan, tren hukum pidana modern saat ini berkembang menuju pidana yang bersifat alternatif dan tidak punitif.
RKUHP juga sudah mengadopsi pidana alternatif tersebut, yaitu pidana pengawasan (probation) dan kerja sosial, serta denda. Hal tersebut diatur di dalam Buku I RKUHP, tepatnya Pasal 65 yang menyatakan ada lima jenis pidana pokok (penjara, tutupan, pengawasan, denda, dan kerja sosial).
Albert mengatakan, menghukum orang selama ini identik dengan memasukkan ke penjara. Hal ini mengakibatkan adanya fenomena overcrowding atau kelebihan penghuni di dalam lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.
Baca juga: Menilik RKUHP dari Lensa Demokrasi Konstitusional
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, hingga 11 Juli 2022, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia berjumlah 278.248 orang, adapun kapasitas lapas/rutan seluruh Indonesia adalah 132.107 orang. Sehingga terdapat kelebihan penghuni hingga 111 persen.
Selain mengatasi overcrowding, fenomena orang-orang “kecil” yang tidak memiliki akses terhadap keadilan juga perlu mendapatkan jalan alternatif penyelesaian ketika mereka berhadapan dengan hukum. Barang kali perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut hanya akan menghasilkan enam bulan penjara atau 1 tahun hidup di balik jeruji besi, namun hal itu bisa merenggut kehidupan seluruh keluarganya.
“Atas dasar itu, Buku I RKUHP menawarkan perubahan paradigma menyesuaikan dengan hukum pidana modern. Berita baiknya adalah dalam Pasal 54 ayat 2 RKUHP (Buku Kesatu) diperkenalkan model Putusan Pernyataan Bersalah Tanpa Disertai Pidana atau Tindakan (Judicial Pardon/Pengampunan oleh Hakim),” ujar Albert.
Selain mengatasi overcrowding, fenomena orang-orang “kecil” yang tidak memiliki akses terhadap keadilan juga perlu mendapatkan jalan alternatif penyelesaian ketika mereka berhadapan dengan hukum.
Pasal 54 Ayat (2) RKUHP mengatur, “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.”
Judicial pardon sebagai implementasi dari keadilan restoratif agar kasus-kasus seperti Nenek Minah yang didadili dengan dugaan mencuri tiga buah kakao, dan kasus sejenis lainnya tidak terjadi kembali.
Baca juga : ”Hukum yang Hidup” dalam Rancangan Hukum Pidana
Pidana alternatif
Tren menghadirkan pidana alternatif selain pemenjaraan kian kuat di berbagai belahan dunia. Begitu pula di dalam RKUHP yang memperkenalkan pidana kerja sosial dan pengawasan yang merupakan nama lain dari pidana percobaan.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengungkapkan, pidana alternatif dalam RKUHP masih sangat minim. Yakni, baru sebatas pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Pemberlakuan dua jenis pidana alternatif pun masih memuat syarat yang menyulitkan, misalnya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial hanya berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah lima tahun.
Menurut Maidina, kedua jenis pidana alternatif tersebut seharusnya tidak perlu memuat syarat yang menyulitkan, misalnya untuk tindak pidana dengan ancaman hukuman di bawah 5 tahun. Ia lebih sepakat apabila konsep pidana pengawasan dan kerja sosial tersebut dikembalikan sesuai konsep pidana bersyarat dalam pasal 14 huruf a hingga f KUHP saat ini. Pasal tersebut mengatur pidana alternatif berlaku bagi semua tindak pidana selama hakim memutus di bawah 1 tahun.
Leopold Sudaryono dari Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dalam diskusi yang diselenggarakan ICJR dengan tema “RKUHP Mengatasi Overcrowding Rutan dan Lapas” mengungkapkan, ada syarat khusus dalam penjatuhan pidana pengawasan dinilai masih agak umum. Syarat seperti itu tidak memberi keleluasaaan kepada hakim untuk menentukan syarat-syarat tambahan.
Pihaknya merekomendasikan syarat khusus, yaitu terpidana mengganti seluruh/sebagian kerugian yang ditimbulkan dalam jangka waktu yang lebih pendek dari masa pengawasan, melakukan perbaikan sebagian/seluruh akibat tindak pidana yang dilakukan, larangan menghubungi secara langsung atau melalui pihak ketiga, larangan berada di dalam atau sekitar lokasi tertentu, kewajiban hadir di temapt tertentu di waktu tertentu selama periode teretentu.
Selain itu, perlu juga adanya kewajiban lapor pada setiap waktu tertentu kepada otoritas tertentu, wajib menjalani perawatan di fasilitas kesehatan, atau perintah menempati institusi dengan pengawasan khusus atau panti sosial, ikut serta dalam program intervensi perilaku, pemberlakuan jam malam terhadap terpidana, dan lain-lain.
Baca juga : Buka Partisipasi Publik Bermakna dalam Pembahasan RKUHP di DPR
Leopold juga menyarankan agar supervisi atau pembimbingan terhadap terpidana yang menjalani pidana pengawasan diserahkan kepada balai pemasyarakatan, bukan kepada jaksa. Sebab, pengawasan oleh jaksa selama ini kurang efektif. Jaksa juga tidak dilengkapi dengan keahlian, skill, dan mekanisme saat melakukan supervisi atau pembimbingan.
Dalam pidana bersyarat, pengawasan selama ini dailakukan oleh jaksa. Dimana, pada praktiknya jaksa sangat jarang melakukan pengawasan. Umumnya, jaksa hanya mendapatkan laporan bahwa masa pidana bersyarat telah selesai. Namun, apa yang terjadi dalam periode tersebut atau apa saja yang dilakukan oleh terpidana, tidak diawasi/diketahui. Padahal, pengawasan/pembimbingan ini penting agar model pemidanaan alternatif satu ini tidak gagal dan kepercayaan masyarakat terhdaap pidana pengawasan justru rusak.
Albert Aries mengungkapkan, pengaturan lebih detail mengenai syarat-syarat khusus dapat dilakukan dalam aturan turunan berupa peraturan pemerintah. Sulit bagi RKUHP untuk mengatur secara mendetail mengenai hal tersebut mengingat saat ini saja buku I dan II RKUHP sudah memuat lebih dari 600 pasal.
Leopold juga menyarankan agar supervisi atau pembimbingan terhadap terpidana yang menjalani pidana pengawasan diserahkan kepada balai pemasyarakatan, bukan kepada jaksa.
Kerja sosial
Adapun pidana kerja sosial atau di berbagai negara dikenal dengan community service diberikan untuk pelaku yang melakukan tindak pidana dengan ancaman kurang dari lima tahun. RKUHP mengatur bahwa pelaksanaan kerja sosial paling lama adalah enam bulan atau dapat diganti dengan denda kategori II (paling banyak Rp 10 juta ).
Dalam RKUHP, kewenangan untuk menjatuhkan putusan kerja sosial ada pada majelis hakim. Ada beberapa jenis pelanggaran di RKUHP yang dapat diancam dengan vonis kerja sosial, diantaranya pelanggaran ringan (perusakan/penghancuran barang dengan nilai RP 500.000 dan penghinaan yang tidak bersifat tertulis), perilaku di ruang privat (misal melakukan hidup bersama), dan kealpaan/kelalaian seperti memberikan makanan/minuman buruk.
Yang menjadi persoalan, ketika kewenangan menjatuhkan kerja sosial ada pada hakim sementara publik memahami disparitas putusan antarhakim masih menjadi isu sentral di lembaga peradilan. Hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru. Efektivitas pidana kerja sosial sebagai salah satu upaya mengurangi overcrowding lapas dan rutan serta sebagai salah satu jalan mewujudkan keadilan restoratif menjadi dipertanyakan.