”Hukum yang Hidup” dalam Rancangan Hukum Pidana
Rumusan living law dianggap penanda RKUHP sebagai karya besar bangsa sendiri dan dekolonisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama. Namun, apakah RKUHP merumuskan living law secara memadai sesuai realitas masyarakat?
Pembaruan hukum, termasuk hukum pidana, adalah keniscayaan karena kebutuhan akan keadilan masyarakat yang terus berubah harus bisa diakomodasi.
Namun, dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang saat ini dalam proses pembahasan di DPR, masih terdapat pasal-pasal yang dipersoalkan kalangan masyarakat sipil karena dikhawatirkan menimbulkan dampak kriminalisasi secara berlebihan.
Beberapa lembaga hukum melakukan kajian terhadap pasal-pasal penting RKUHP dan menyuarakannya.
Tulisan ini berfokus pada salah satu masalah penting, yaitu digunakannya rumusan living law (hukum yang hidup), yang dianggap penanda RKUHP sebagai karya besar bangsa sendiri dan dekolonisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama.
Namun, apakah RKUHP merumuskan living law secara memadai dan mengakomodasi realitas masyarakat yang terus berubah, apalagi di masa globalisasi hukum seperti sekarang?
Seandainya living law disamakan begitu saja dengan hukum adat, justru di situlah letak permasalahannya. Hukum adat bukanlah hukum yang membeku, melainkan mengalami pertemuan dengan hukum-hukum lain, bertransformasi melahirkan hukum ”hibrida” yang selalu baru.
Seandainya living law disamakan begitu saja dengan hukum adat, justru di situlah letak permasalahannya.
Hukum adat bahkan menyebar jauh seiring berpindahnya warga adat pendukungnya ke wilayah tanpa batas dan membentuk komunitas baru. Mereka mengonstruksi identitas ”bikulturalisme” di tempat baru.
Di satu sisi, tetap mengaktifkan nilai dan hukum adat lama, terutama terkait peristiwa daur hidup: kelahiran, perkawinan, kematian, pewarisan, bahkan hubungan kepemilikan sumber daya alam di kampung asal. Di sisi lain, mereka juga mengadopsi beragam nilai, hukum, dan gaya hidup tempat tinggal baru.
Tidak mudah mengidentifikasi atau membuat pemetaan hukum adat di seluruh wilayah Nusantara yang luas, apalagi dengan perspektif romantisisme adat lama. Van Vollenhoven pernah membuat peta masyarakat hukum adat dengan membagi Hindia Belanda ke dalam 19 wilayah adat.
Baca juga:RKUHP dan Keseimbangan Demokrasi
Namun, peta itu dikritik sebagai hasil imajinasi dan rekaan belaka karena lebih didasarkan pada bahan cerita mahasiswa Indonesia yang belajar ke Leiden di masa itu. Hukum adat jauh lebih kompleks dari yang dikodifikasikannya. Apalagi, di masa sekarang, upaya merekodifikasi justru akan mereduksi hukum adat.
”Living law”
Bagaimanapun living law bukan sekadar istilah biasa, melainkan merupakan konsep utama yang dipelajari secara menyejarah dalam berbagai percabangan ilmu hukum, seperti Antropologi Hukum. Living law esensinya adalah hukum yang senyata-nyatanya dianut atau berlaku dalam masyarakat. Dalam studi pluralisme hukum dipahami bahwa hukum negara bukan satu-satunya hukum yang memonopoli perilaku warga masyarakat.
Dalam realitas keseharian terdapat hukum adat, hukum agama, kebiasaan, atau hibridasi di antaranya yang sama efektif keberlakuannya dalam relasi antarwarga. Hukum negara dengan supremasinya memang paling kuat daya ikatnya. Begitu seseorang diindikasikan melanggar hukum, polisi (representasi negara) bisa segera menangkapnya.
Didie SW
Namun, hukum negara amat jarang ditemui dalam keseharian kecuali perjumpaan dengan soal administratif kependudukan, transaksi perdata, atau pelanggaran pidana. Hukum yang paling lekat dengan keseharian justru hukum lain di luar negara.
Dapat dipandang, living law tak identik dengan rumusan teks hukum secara normatif, baik hukum negara, adat, agama, maupun norma hukum tidak tertulis. Teks hukum selalu berisi norma ideal, cita-cita melindungi masyarakat dari kejahatan, keserakahan, dan mendistribusi keadilan. Namun, selalu ada jurang antara rumusan ideal dan praktik hukum dalam masyarakat. Tidak semua orang patuh hukum, ada saja orang melanggar hukum. Jadi, manakah the living law?
Hukum yang sudah mengalami ujian dalam kasus sengketa adalah ketika pelanggaran hukum diselesaikan di pengadilan atau komunitas adat atau agama. Di situlah pasal atau normal ideal mengalami ujian melalui perdebatan hakim dan para pihak. Kemudian, lahirlah pertimbangan dan putusan hakim. Living law itu sebenarnya adalah putusan hakim atau otoritas dalam komunitas, hasil ujian terhadap teks hukum, dan inilah hukum yang sungguh akan ditaati, nyata berlaku dalam masyarakat.
Di masa globalisasi sekarang, kompleksitas pertemuan antarhukum bertambah karena pengaruh hukum internasional terhadap hukum nasional, terutama di bidang hak asasi manusia.
Pluralisme hukum
Semua sistem hukum saling bertemu satu sama lain sehingga terjadi saling pengaruh dan adopsi, dan dengan cara itulah hukum berubah sepanjang masa. Hukum adat bertemu hukum agama menjadi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah di Sumatera Barat, atau nama berbeda di wilayah lain.
Hukum adat bertemu hukum negara dalam banyak putusan hakim pengadilan negeri terkait waris, seperti di Sumatera Barat (Benda-Beckmann, F& K, 2021). Pertemuan hukum agama dan hukum negara dapat diidentifikasi dalam Kompilasi Hukum Islam, pegangan hakim Pengadilan Agama sejak 1991.
Pengertian pluralisme hukum bukan hanya sekadar koeksistensi di antara berbagai sistem hukum dalam suatu bidang atau arena sosial tertentu, melainkan juga terjadinya pertemuan, saling adopsi, antarsistem hukum.
Di masa globalisasi sekarang, kompleksitas pertemuan antarhukum bertambah karena pengaruh hukum internasional terhadap hukum nasional, terutama di bidang hak asasi manusia. Delegasi berbagai bangsa menyuarakan problem kemanusiaan negara masing-masing di PBB dan bertujuan memiliki perlindungan hukum bersama.
Didie SW
Setelah menjadi instrumen hukum internasional, lalu diratifikasi oleh negara-negara, atau diadopsi sebagian isinya dalam hukum nasional tertentu. Karena pertemuan antarsistem hukum itulah, hukum selalu bergerak sehingga setiap sistem hukum tidak bisa dipandang sebagai entitas dengan batas jelas dan terpisah dari hukum-hukum lain.
Siapa aktor penggerak hukum dari berbagai arah menuju ke berbagai arah? Manusia yang bermigrasi karena berbagai alasan, seperti diplomat, ekspatriat, ilmuwan, aktivis kemanusiaan, pekerja badan internasional, pekerja industri multinasional, juga pengguna internet yang saling bertukar pengetahuan dan pengalaman antarwilayah atau negara.
Tidak kalah pentingnya, jika living law diidentikkan dengan hukum adat, harus diingat bahwa dari perspektif kemanusiaan perempuan, masih hidup hukum adat yang tidak sejalan dengan perspektif kemanusiaan.
Di antaranya hari ini masih berlangsung praktik ”kawin tangkap” di Nusa Tenggara Timur, praktik kawin anak karena alasan kemiskinan dan budaya, penyelesaian kasus pemerkosaan dengan mengawinkan korban (anak dan perempuan) dengan pelaku di banyak wilayah, perkelahian antarkampung dalam konflik agraria, atau persekusi terhadap orang yang tak disukai atas nama adat.
Apabila norma adat semacam ini dijadikan acuan dalam RKUHP atau peraturan turunannya nanti, akan ada (calon) korban kriminalisasi.
Formalisasi hukum adat dalam RKUHP bukanlah solusi esensial dalam memanusiakan warga masyarakat adat.
Epilog
Memuliakan hukum adat semestinya dilakukan justru dengan memuliakan masyarakat adat secara substansial dan mengakui keberadaannya. NKRI bukan satu-satunya nasion. Di dalamnya terdapat nasion-nasion kecil berbasis kesukubangsaan dan sebagiannya memiliki agama kepercayaannya sendiri.
Pengakuan adalah paling mendasar, termasuk tidak memaksa mereka mendaftarkan diri seperti organisasi biasa, dan mengakui kesaksian mereka di pengadilan meski tidak disumpah karena kitab suci agama resmi yang disediakan hanya ada enam.
Di antara mereka banyak yang kehilangan ruang hidup berupa tanah, hutan, kebun, sumber air, dan makanan. Bukti kepemilikan komunal kalah kedudukannya di mata hukum dan hakim, dibandingkan sertifikasi formal. Perampasan tanah dan kriminalisasi terhadap petani yang menuntut hak hidupnya adalah kisah-kisah memilukan di negeri ini.
Sertifikat palsu didapat dari cara kekerasan dan penipuan dalam konflik agraria telah meminggirkan kedudukan masyarakat adat dalam kurun panjang (Ikhsan 2015, Lund2021).
Baca juga:Jangan Tinggalkan Publik
Kehilangan ruang hidup berpotensi memiskinkan mereka, menyebabkan perempuan adat terlempar dari kampungnya menjadi buruh migran dengan pendidikan dan keterampilan minim, menjadi korban kawin anak dan terjebak dalam perdagangan orang, kemelaratan atau bahkan kematian karena melahirkan di usia anak.
Formalisasi hukum adat dalam RKUHP bukanlah solusi esensial dalam memanusiakan warga masyarakat adat. Juga, upaya memetakan dan mengidentifikasi siapa masyarakat adat di Indonesia bukan perkara mudah karena identitas masyarakat adat dan hukumnya tidak tunggal dan seragam. Perkembangan dan perubahan hukum adat serta masyarakat adat tidak bisa ditahan.
Sulistyowati Irianto Guru Besar Antropologi Hukum, FHUI