Tak perlu terburu-buru mengesahkan RUU KUHP sebelum pemerintah dan DPR membuka pasal kontroversial kepada publik. Buka perdebatan publik agar publik masih dianggap sebagai pemilik republik.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Rancangan Undang-Undang KUHP tinggal selangkah lagi untuk disahkan menjadi undang-undang. Namun, tetap perlu ingat untuk mendengarkan suara rakyat.
Diberitakan Kompas, 27 Mei 2022, Komisi III DPR menyetujui penjelasan pemerintah mengenai 14 isu krusial yang menuai kritik publik. Maka, Komisi III DPR berencana meneruskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP untuk disahkan menjadi UU.
RUU KUHP itu kontroversial. Pada periode 2014-2019, proses pengambilan keputusan tidak dilanjutkan karena ada protes publik meluas di daerah-daerah oleh berbagai kalangan terhadap sejumlah substansi di RUU KUHP. DPR dan pemerintah melimpahkan proses ini kepada DPR periode 2019-2024. Namun, pemerintah diminta menyosialisasikan isi RUU KUHP.
Rencana DPR segera mengesahkan RUU KUHP jelas menimbulkan persoalan. Apakah memang anggota DPR yang membahas RUU KUHP 2019-2024 sudah membaca dan membahas keseluruhan drafnya? Apakah pemerintah telah menyosialisasikan kepada rakyat substansi RUU KUHP. Undang-undang tak hanya mengikat anggota DPR dan pemerintah, tetapi juga rakyat.
Wajar pertanyaan publik, apakah carry over (pelimpahan pembahasan) hanya dimaknai meneruskan tahapan pembahasan tanpa melihat dan melibatkan publik dalam substansi yang dipersoalkan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan arahan soal meaningful participation (partisipasi publik yang bermakna). Apakah hal itu sudah dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah?
Partisipasi bermakna diartikan oleh MK sebagai hak publik untuk didengarkan pendapatnya; hak publik untuk dipertimbangkan pendapatnya; hak publik untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang disampaikannya. Jika bangsa ini masih mengaku sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan, pertimbangan MK layak diikuti. Lain halnya jika merasa kekuasaan begitu dominan dan ditopang parlemen, pemerintah dan DPR bisa saja menegasikan rakyat, sang pemberi kedaulatan.
Meski pemerintah dan DPR dominan, selayaknya suara keberatan publik didengar. Apakah mekanisme carry over demikian adanya, tanpa ada pembahasan menyeluruh. Apakah masyarakat sipil yang memang sedang lemah—kampus tersandera birokrasi sendiri, organisasi advokat terpecah belah, aktivis LSM juga terpecah-pecah—tak patut lagi didengar oleh DPR dan pemerintah. Mendengar aspirasi tak semata-mata prosedural, tetapi substansial. Atau kelemahan ekosistem dunia hukum itu justru momentum mengesahkan UU.
Tak perlu terburu-buru mengesahkan RUU KUHP sebelum pemerintah dan DPR membuka pasal kontroversial kepada publik. Pasal menyangkut penghinaan Presiden, pelarangan siaran langsung persidangan, aborsi, pemerkosaan, dan pemberantasan korupsi. Buka perdebatan publik agar publik masih dianggap sebagai pemilik republik.