Komisi II: RUU Pembentukan Papua Barat Daya Hanya Ganti Judul
Pembahasan RUU Pembentukan Papua Barat Daya dipastikan tak memakan waktu lama. Bahkan, menurut Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia, tinggal ganti judul karena hal prinsip lainnya sama dengan tiga RUU DOB Papua sebelumnya.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat menyebut, pembahasan rancangan undang-undang atau RUU tentang pembentukan Provinsi Papua Barat Daya akan selesai dalam waktu singkat. Rancangan itu tidak jauh berbeda dengan tiga RUU pembentukan provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan, yang tuntas dibahas dalam waktu sembilan hari. Diperkirakan, tidak ada perubahan signifikan dari draf RUU yang sudah dibuat sebelumnya.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya tidak membutuhkan waktu panjang. Pihaknya telah menyusun draf RUU untuk membentuk lima daerah otonom baru (DOB) yang tersebar di Provinsi Papua dan Papua Barat. Tidak dibutuhkan perubahan batang tubuh karena bunyi semua pasal yang sudah dibuat akan sama.
”Tinggal ganti judul, Papua Barat Daya. Kemudian batas wilayah, daerah mana yang dimasukkan menjadi daerah otonom baru itu. Selebihnya hal-hal yang prinsip, kan, sudah sama,” kata anggota Fraksi Partai Golkar di DPR itu dihubungi dari Jakarta, Jumat (8/7/2022).
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya tidak membutuhkan waktu panjang.
Selain tidak membutuhkan perubahan substansial, tambah Doli, pemekaran Provinsi Papua dan Papua Barat sudah dibahas sejak dua dekade lalu. Sejak 2002, aspirasi dari masyarakat untuk memekarkan daerah tersebut masuk baik melalui DPR maupun pemerintah. Namun, hal itu baru dibahas secara konkret ketika pemerintah dan DPR membahas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, yang kerap disebut UU Otsus Papua jilid kedua pada awal 2021.
Saat itu, muncul keputusan untuk membentuk lima DOB di Papua, yakni provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan Tengah, Papua Selatan, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan. ”Artinya, sudah sejak setahun lalu kami sudah mulai membahas (pemekaran),” ujarnya.
Doli melanjutkan, setelah UU No 2/2021 disahkan, Komisi II langsung bekerja dengan mengambil inisiatif berkoordinasi dengan pemerintah. Selain itu, juga meminta Badan Keahlian Dewan (BKD) untuk menyusun draf naskah akademik dan RUU pembentukan lima DOB dengan pendekatan wilayah adat. Baik Komisi II maupun BKD telah berkomunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Papua dan Papua Barat. Mulai dari tokoh adat, tokoh masyarakat, hingga menggelar beberapa konsinyering dengan akademisi di Universitas Cenderawasih dan Universitas Papua.
Selain itu, Komisi II juga berulang kali menerima atau mendatangi perwakilan dari Papua, baik secara informal maupun formal. ”Jadi, pembahasan ini bukan sesuatu yang ujug-ujug, buru-buru, tiba-tiba. Ini prosesnya sudah panjang,” kata Doli.
Pada Rapat Paripurna Masa Sidang V Tahun Sidang 2021-2022, Kamis (7/7/2022), DPR mengesahkan RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya menjadi usul inisiatif DPR. Seminggu sebelumnya, yakni pada 30 Juni, DPR telah mengesahkan tiga RUU pembentukan DOB di Papua, yaitu RUU Pembentukan Provinsi Papua Tengah, RUU Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan Tengah, dan RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan. Ketiga RUU tersebut mulai dibahas di Komisi II pada 20 Juni.
Artinya, pembahasan hanya membutuhkan waktu sembilan hari. Durasi yang singkat itu memicu kritik publik karena diduga sebatas mengedepankan kepentingan elite. Adanya partisipasi bermakna dari publik selama pembahasan pun dipertanyakan.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, pihaknya masih menunggu surat presiden (surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah untuk membahas RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Akan tetapi, diperkirakan pembahasan bisa dituntaskan dalam waktu cepat. Sebab, hampir tidak ada persoalan berarti yang bisa menghambat pembahasan.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa mengatakan, pihaknya masih menunggu surat presiden (surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah untuk membahas RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya.
Dari segi aspirasi, Saan mengklaim, mayoritas masyarakat Papua Barat menginginkan adanya provinsi baru. Selain untuk memudahkan akses pelayanan publik, pemekaran daerah juga diharapkan bisa mempercepat pembangunan. Apalagi, Papua Barat Daya direncanakan untuk menjadi destinasi wisata dunia. Draf RUU yang dibuat juga sudah menunjukkan keberpihakan pada orang asli Papua melalui kebijakan afirmasi.
”Jadi, menurut saya, bakal cepat. Pembahasan tidak akan terlalu berbeda dengan Provinsi Papua yang sudah kita mekarkan sebelumnya,” ujar Saan.
Ia mengatakan, publik hendaknya tidak selalu beranggapan bahwa RUU yang dibahas dalam waktu singkat hasilnya tidak substansial dan tidak mewakili aspirasi publik. Pembahasan selalu mempertimbangkan persoalan aspirasi, kesinambungan pembangunan dan kesejahteraan di DOB, serta proteksi OAP. ”Jangan sampai nanti ketika dimekarkan ada masalah, daerahnya semakin miskin, pelayanan publik semakin buruk, infrastruktur tidak berjalan dengan baik,” kata Saan.
Cermat dan hati-hati
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, dalam pembentukan UU ada berbagai tahapan dan prosedur yang harus diikuti. Pembentuk UU sebaiknya mematuhi itu semua dan tidak bersikap seolah-olah kejar tayang dalam penyelesaian pembahasan RUU pemekaran daerah. ”Kerja pembentuk UU memerlukan kehati-hatian dan ketelitian sehingga hasil daerahnya nanti akan memenuhi syarat dan tidak menjadi daerah gagal,” katanya.
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri yang juga Ketua Panitia Kerja RUU Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara pada 2012 dari pemerintah itu mengatakan, saat pembahasan RUU untuk membentuk DOB, diperlukan peninjauan ke lapangan secara serius. Hal itu bukan hanya terkait dengan aspirasi masyarakat, melainkan juga memastikan persoalan teknis. Mulai dari lokasi calon ibu kota, wilayah cakupan DOB, daerah perbatasan, potensi konflik dan sengketa di perbatasan, hingga persoalan sarana dan prasarana kantor pemerintahan dan legislatif.
Tanpa kecermatan memastikan itu semua selama pembahasan RUU, DOB yang dibentuk terancam mengalami kegagalan fungsi. Itu semua sulit dibenahi jika UU sudah telanjur disahkan.
Selain itu, kata Djohermansyah, pembahasan yang tergesa-gesa juga akan meniadakan keterlibatan publik secara bermakna. Padahal, itu merupakan syarat dalam pembentukan UU. ”Jika tidak ada partisipasi publik yang bermakna, hanya kelompok elite yang senang. UU yang dihasilkan juga rawan gugatan dan rawan kalah dalam gugatan,” katanya.