Mekarkan Papua Lagi, DPR Usul Pembentukan Papua Barat Daya
Setelah membentuk tiga provinsi baru di Provinsi Papua, DPR kini mengusulkan lagi pemekaran baru untuk Provinsi Papua Barat menjadi Provinsi Papua Barat Daya. Bahkan, nantinya akan ada provinsi baru, yaitu Papua Utara.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah membentuk tiga provinsi baru di Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat kini mengusulkan lagi pemekaran untuk Provinsi Papua Barat menjadi Provinsi Papua Barat Daya. Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya disepakati menjadi usul inisiatif DPR. Pemekaran ini diharapkan tidak hanya mengejar agenda jangka pendek yang justru memunculkan persoalan baru dan mengesampingkan agenda besar dari pembentukan daerah otonom baru, yakni rekonsiliasi konflik di tanah Papua tersebut.
Kesepakatan terkait RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya menjadi RUU inisiatif DPR diambil dalam Rapat Paripurna Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022, Kamis (7/7/2022). Rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel. Turut hadir dalam rapat tersebut, Ketua DPR Puan Maharani, Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus, dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Sebelum RUU Pembentukan Papua Barat Daya disepakati menjadi usul inisiatif DPR, sembilan fraksi diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya terkait RUU tersebut. Pandangan seluruh fraksi disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR.
Baca Juga: Pembahasan RUU DOB Papua Memasuki Tahap Akhir
Awalnya pemerintah dan DPR bersinergi untuk bisa menetapkan tiga daerah otonomi baru (DOB) yang ada di Provinsi Papua. Tiga DOB itu meliputi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Namun, setelah melalui pertimbangan dan diskusi yang panjang antara pemerintah dan DPR, kemudian diusulkan agar ada satu lagi daerah otonomi baru, yaitu Papua Barat Daya.
Seusai rapat, Puan Maharani menjelaskan, awalnya pemerintah dan DPR bersinergi untuk bisa menetapkan tiga daerah otonomi baru (DOB) yang ada di Provinsi Papua. Tiga DOB itu meliputi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Namun, setelah melalui pertimbangan dan diskusi yang panjang antara pemerintah dan DPR, kemudian diusulkan agar ada satu lagi daerah otonomi baru, yaitu Papua Barat Daya.
Ia tak memungkiri bahwa pemekaran di Papua ini akan sangat berpengaruh pada pelaksanaan Pemilihan Umum 2024. Karena itu, pada Kamis pagi tadi, pimpinan DPR langsung menggelar rapat konsultasi dengan pimpinan Komisi II DPR. Dalam rapat itu, pimpinan DPR mengizinkan Komisi II DPR untuk melakukan rapat bersama penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk membahas sejumlah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) di masa reses.
”Dengan demikian, nantinya PKPU yang akan muncul atau yang akan dihasilkan itu sebelum tanggal 29 Juli memang adalah PKPU yang sudah dikoordinasikan oleh DPR,” ujar Puan.
Pada 29 Juli, pendaftaran dan verifikasi calon peserta Pemilu 2024 sudah dibuka hingga hingga 13 Desember 2022. Tahapan Pemilu 2024 sudah dimulai sejak 14 Juni 2022.
Dengan demikian, nantinya PKPU yang akan muncul atau yang akan dihasilkan itu sebelum tanggal 29 Juli memang adalah PKPU yang sudah dikoordinasikan oleh DPR.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Junimart Girsang mengatakan, rencana pembentukan Papua Barat Daya tidaklah muncul secara tiba-tiba. Ia mengklaim, rencana pemekaran dari Provinsi Papua Barat ini didasarkan atas permintaan dari para tokoh masyarakat adat dan para kepala daerah setempat untuk mewujudkan pemerataan pembangunan, pemerataan ekonomi, dan pemanfaatan sumber daya manusia orang asli Papua (OAP).
”Kalau sekarang kenapa tiba-tiba Papua Barat Daya? Enggak juga tiba-tiba. Ini semua menyangkut (kesiapan) anggaran (pemerintah pusat). Selama ini, kan, dari pemerintah belum fixed tentang anggaran untuk lima DOB ini (tiga DOB dari hasil pemekaran Provinsi Papua dan dua DOB dari hasil pemekaran Provinsi Papua Barat). Kalau tiga (DOB), pemerintah siap. Jadi, kemarin, kami putuskan tiga dulu,” ucap Junimart.
Selain Papua Barat Daya, satu lagi DOB dari hasil pemekaran Provinsi Papua Barat adalah Papua Utara.
Setelah ini DPR akan bersurat kepada Presiden Joko Widodo. Komisi II DPR berharap, Presiden segera mengeluarkan surat presiden untuk melanjutkan proses pembahasan RUU Pembentukan Papua Barat Daya.
Kalau sekarang kenapa tiba-tiba Papua Barat Daya? Enggak juga tiba-tiba. Ini semua menyangkut (kesiapan) anggaran (pemerintah pusat). Selama ini, kan, dari pemerintah belum fixed tentang anggaran untuk lima DOB ini (tiga DOB dari hasil pemekaran Provinsi Papua dan dua DOB dari hasil pemekaran Provinsi Papua Barat). Kalau tiga (DOB), pemerintah siap. Jadi, kemarin, kami putuskan tiga dulu.
”Nah, kalau surpres ada, tentu mereka sudah harus siap anggaran untuk Papua Barat Daya. Ya, kita tunggu saja,” kata Junimart.
Wali Kota Sorong, yang juga Ketua Tim Percepatan Pemekaran Papua Barat Daya Lamberthus Jitmau, mengatakan, perjuangan memekarkan Papua Barat ini tidak hanya berlangsung 1-2 tahun, tetapi juga selama 20 tahun diperjuangkan oleh para tokoh di Papua Barat. Untuk itu, ia berharap RUU Pembentukan Papua Barat Daya ini bisa segera disahkan menjadi UU.
Pelayanan pemerintahan tidak menyentuh. Itulah kami punya suatu niat baik punya keinginan, punya kerinduan, Papua harus dibagi dari wilayah kecil sampai ke wilayah besar, dalam artian dimekarkan provinsi bahkan kabupaten dan kota sesuai kebutuhan yang ada di sana.
Ia mengungkapkan, selama ini, dengan kehadiran hanya dua provinsi di Papua, yakni Papua dan Papua Barat, proses pemerataan pembangunan dan ekonomi masyarakat terhambat. Sebab, banyak masyarakat Papua hidup di gunung, lereng gunung, lembah, dan pantai.
”Pelayanan pemerintahan tidak menyentuh. Itulah kami punya suatu niat baik punya keinginan, punya kerinduan, Papua harus dibagi dari wilayah kecil sampai ke wilayah besar, dalam artian dimekarkan provinsi bahkan kabupaten dan kota sesuai kebutuhan yang ada di sana,” ujar Lamberthus.
Menjamin hak orang Papua
Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat, Rezka Oktoberia, berharap agar rencana pembentukan Papua Barat Daya ini dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Sejumlah aspek juga perlu diperhatikan secara serius, mulai dari aspek politik, birokrasi, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, hingga aspirasi masyarakat di Papua.
Pemekaran ini harus mampu memberikan penguatan dan prioritas kepada OAP. Mereka harus ikut serta dan memiliki wewenang dalam berbagai bidang pembangunan di Provinsi Papua Barat Daya. ”Ini menjadi sebuah bentuk komitmen dalam menjamin hak-hak bagi OAP,” katanya.
Ini menjadi sebuah bentuk komitmen dalam menjamin hak-hak bagi OAP.
Selain itu, Fraksi Demokrat juga mendesak pemerintah untuk memastikan penempatan ibu kota dari Papua Barat Daya, pengaturan batas dan cakupan wilayah, termasuk jumlah kabupaten/kota secara tepat dengan melihat kondisi terkini dari wilayah tersebut. Semua itu tentu harus didasarkan pada masukan serta aspirasi dari setiap masyarakat adat yang mendiami wilayah tersebut.
Pemerintah, lanjut Rezka, harus segera menyusun desain besar (grand design) pemekaran karena hal ini sangat penting sebagai acuan pembangunan dan kebijakan dasar bagi Papua Barat Daya setelah sah menjadi sebuah provinsi. Desain besar ini pula menjadi sangat krusial untuk mengukur dan mengefektifkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sumber pendanaan dari pembentukan Provinsi Papua Barat Daya.
”Jangan sampai pendanaannya semakin memberikan tekanan atau beban pada kondisi fiskal dan kemampuan keuangan negara saat ini,” ujar Rezka.
Jangan sampai pendanaannya semakin memberikan tekanan atau beban pada kondisi fiskal dan kemampuan keuangan negara saat ini.
Peneliti Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Ruhyanto menyampaikan, di tingkat elite, kemungkinan proses pemekaran Papua sudah relatif lebih lama terdengar. Namun, akibat adanya moratorium pemekaran, masyarakat relatif tidak mengikuti isu pemekaran ini sehingga terkesan proses pemekaran berlangsung supercepat.
Hal ini lantas, menurut Arie, memunculkan kekhawatiran dari masyarakat Papua, mulai dari kepastian hak-hak tanah ulayat mereka, hingga relasi migran dengan OAP. ”Karena itu, masyarakat tentu berharap proses ini lebih hati-hati,” katanya.
Arie berpendapat, sebetulnya jika dikembalikan ke semangat otonomi khusus, agenda besar dari pembentukan DOB adalah mendorong rekonsiliasi. Namun, sayangnya, agenda besar itu harus dikompromikan dengan target-target jangka pendek, misalnya Pemilu 2024 dan alokasi APBN untuk provinsi-provinsi baru. Akibatnya, proses penyiapan pemekaran pun menjadi sangat terbatas, termasuk sosialiasi, dan deliberasi di ruang publik.
”Jadi, sepertinya yang diprioritaskan kebutuhan-kebutuhan administratif dan teknokratif ketimbang agenda besar untuk membuka proses rekonsiliasi konflik. Itu akhirnya harus dikesampingkan,” ujar Arie.
Hal lain yang krusial dan luput dipersiapkan adalah persoalan penyiapan sumber daya manusia. Menurut dia, proses rekonsiliasi itu tidak bisa hanya sekadar memberikan alokasi kursi untuk masyarakat adat. Hal tersebut menjadi percuma apabila sumber daya untuk mengisi kursi itu tidak dipersiapkan. Akhirnya, sumber daya yang masuk juga tidak mampu menunjukan kinerja yang cukup baik.
Jadi, sepertinya yang diprioritaskan kebutuhan-kebutuhan administratif dan teknokratif ketimbang agenda besar untuk membuka proses rekonsiliasi konflik. Itu akhirnya harus dikesampingkan.
”Jadi, idealnya penyiapan SDM dulu, tentu saja itu proses yang tidak bisa terburu-buru sehingga ketika nanti ‘rumahnya’ dibangun, orang yang mengisi sudah mampu merawat ‘rumah’ itu dan mampu bekerja dengan baik dan mampu memberikan manfaat bagi publik,” tutur Arie.
Baca Juga: Tiga DOB di Papua Dikawal hingga 2024
Ia berharap, pemekaran Papua ini tidak justru menciptakan persoalan baru. Sebagaimana diketahui, otonomi khusus dilakukan pada tahun 2001 sebagai jalan tengah dari sebagian Papua yang tidak ingin merdeka. Salah satu implementasi otonomi khusus tersebut adalah pemekaran.
”Nah, kalau pemekaran ini tidak menjadi instrumen untuk jalan tengah untuk rekonsiliasi tadi, kan, sama saja, agenda besarnya tidak tercapai,” ucapnya.