UU Pemekaran Tiga Provinsi Baru di Papua Rentan Digugat ke MK
Proses pembentukan tiga undang-undang daerah otonom baru di Papua dinilai tak memenuhi prinsip partisipasi publik bermakna, seperti diamanatkan putusan Mahkamah Konstitusi.
JAKARTA, KOMPAS — Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui mengesahkan tiga rancangan undang-undang daerah otonom baru di Papua menjadi undang-undang, Kamis (30/6/2022). Pemekaran di satu sisi memberikan harapan pemerataan pembangunan infrastruktur, ekonomi, dan menyelesaikan konflik, terutama bagi orang asli Papua. Namun, pembahasannya yang hanya berlangsung selama 10 hari menimbulkan potensi gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Tiga daerah otonom baru (DOB) yang dimekarkan dari Provinsi Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan. Setiap provinsi memiliki undang-undang (UU) tersendiri yang terdiri dari 23 pasal dan 10 bab.
Dalam UU tersebut, antara lain, mengatur tentang cakupan wilayah; batas daerah; ibu kota, pemerintah daerah; Dewan Perwakilan Rakyat masing-masing provinsi; Majelis Rakyat Papua masing-masing provinsi; aparatur sipil negara, aset, dan dokumen; alokasi transfer ke daerah dan hibah; pembinaan, pengawasan, dan evaluasi; dan ketentuan peralihan.
Terkait dengan cakupan wilayah, Papua Selatan terdiri dari empat kabupaten, yakni Merauke, Boven Digoel, Mappi, dan Asmat, dengan ibu kota provinsi di Merauke. Papua Tengah terdiri dari delapan kabupaten, yakni Nabire, Paniai, Mimika, Puncak Jaya, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, dan Deian, dengan ibu kota provinsi di Nabire. Sementara Papua Pegunungan terdiri dari Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Memberamo Tengah, Yalimo, Lani Jaya, dan Nduga. Peresmian ketiga provinsi baru dan pelantikan penjabat gubernur dilakukan paling lama enam bulan sejak UU diundangkan.
Pembahasan ketiga RUU DOB Papua dilakukan secara maraton selama 10 hari. Pembahasan RUU diawali pada Selasa (21/6) dan mendapatkan persetujuan tingkat pertama pada Selasa (28/6). Draf akhir ketiga RUU kemudian disahkan menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR pada Kamis (30/6). Dengan demikian, pembahasan ketiga RUU hanya dilakukan selama delapan hari untuk kemudian disahkan menjadi UU pada hari kesepuluh.
Baca juga: Jakarta Dinilai Telah Meninggalkan Papua
”Kami berharap bahwa pemerataan terkait dengan pembangunan infrastruktur dan ekonomi bisa dilaksanakan secara berkeadilan dalam melaksanakan semua hal yang terkait dengan kesejahteraan rakyat yang ada di Papua,” kata Ketua DPR Puan Maharani seusai Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Ia menuturkan, pembentukan tiga UU DOB Papua dilakukan dengan efektivitas yang dinilai sesuai dengan mekanisme yang ada hingga akhirnya disahkan. DPR juga akan terus melakukan pengawasan terkait implementasi di lapangan dari ketiga UU tersebut agar mampu memenuhi harapan, keinginan, dan cita-cita yang diharapkan. ”Dengan undang-undang ini bisa menjamin pemerataan secara ekonomi, sosial, dengan pembangunan yang ada di Papua dan bisa bermanfaat buat rakyat Papua,” ucap Puan.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menuturkan, rangkaian pembahasan tiga RUU DOB Papua diawali pada Selasa (21/6) dengan agenda rapat kerja pembicaraan tingkat I antara Komisi II DPR, pemerintah, dan Komite I DPD. Rapat kerja tersebut mendengarkan penjelasan keterangan DPR, pandangan pemerintah, pandangan Komite I DPD, serta penyerahan daftar inventarisasi masalah yang dilanjutkan dengan pembentukan panitia kerja (panja).
Sehari berselang, Rabu (22/6), dilakukan rapat panja untuk membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait pasal-pasal yang bersifat substantif. Rapat juga memutuskan nama calon Provinsi Pegunungan Tengah diubah menjadi Provinsi Papua Pegunungan. Selanjutnya, pada malam harinya, panja DPR melakukan rapat dengar pendapat umum dengan Gubernur Papua, DPR Papua, dan MRP dalam rangka menerima aspirasi terkait dengan tiga RUU usulan DPR tersebut.
Kemudian pada Kamis (23/6), ada rapat panja untuk melanjutkan pembahasan DIM terkait dengan pasal-pasal yang bersifat substantif yang dilanjutkan dengan tim perumus dan tim sinkronisasi. Rapat dilakukan dalam rangka merumuskan dan menyinkronkan serta menyempurnakan pasal-pasal yang terdapat dalam RUU tersebut sesuai dengan yang ditugaskan oleh panja.
Selanjutnya, Jumat-Minggu (24-26/6), panja melaksanakan kunjungan kerja ke Kabupaten Merauke dan Kota Jayapura untuk mendapatkan masukan terhadap pembahasan ketiga RUU tersebut. Dalam kunjungan kerja inilah, sempat ada usulan dari Bupati Mimika dan Bupati Puncak Jaya yang menginginkan ibu kota berada di Timika, sedangkan enam bupati lain sependapat dengan usulan Komisi II DPR yang menginginkan ibu kota berada di Nabire. Komisi II sempat meminta delapan bupati tersebut bermusyawarah. Namun, karena kesepakatan tak tercapai, ibu kota diputuskan tetap di Nabire.
Selain itu, muncul usulan dari sejumlah tokoh adat yang menolak Kabupaten Pegunungan Bintang masuk dalam Provinsi Papua Pegunungan. Mereka meminta kabupaten itu tetap dalam Provinsi Papua, tetapi kemudian tetap diputuskan sesuai dengan rencana awal, bergabung dengan Provinsi Papua Pegunungan.
Seusai kunjungan dari Papua, Senin (27/6), dilakukan rapat panja dengan agenda laporan hasil pembahasan di tingkat tim perumus dan tim sinkronisasi. Dalam rapat yang berlangsung secara tertutup ini, disepakati draf akhir ketiga RUU DOB di Papua untuk dilaporkan pada rapat kerja tingkat pertama.
Adapun hari Selasa (28/6) dilakukan rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, serta Lembaga Administrasi Negara dalam rangka mendapatkan masukan terkait dengan pengisian formasi aparatur sipil negara. Masukan dari kementerian/lembaga tersebut sebagai bahan pertimbangan untuk dimasukkan menjadi materi muatan pasal dalam RUU sebagai bentuk komitmen untuk menjaga afirmasi dan eksistensi orang asli Papua.
Pada siang hari dilanjutkan dengan rapat kerja tingkat I antara Komisi II DPR dan Mendagri, Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, serta Menteri Hukum dan HAM. Rapat untuk mendengarkan laporan panja, pendapat akhir mini fraksi-fraksi, pendapat akhir Komite I DPD, dan pendapat akhir pemerintah. Rapat ditutup dengan pengambilan keputusan dan penandatanganan pengesahan draf tiga RUU DOB di Papua.
”Pada acara rapat kerja tingkat I tersebut semua faksi di Komisi II DPR, Komite I DPD, dan pemerintah secara bulat dan sepakat menyetujui menerusakan pada pembicaraan tingkat II atau paripurna untuk pengambilan keputusan,” ujar Doli.
Atas persetujuan pembentukan ketiga RUU itu, lanjutnya, diharapkan agar kebijakan otonomi khusus bagi Papua tidak hanya dapat mengatasi permasalahan konflik, tetapi juga dapat mempercepat pembangunan dan pemerataan di seluruh tanah Papua. ”Pemekaran ditujukan untuk mepercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, kesejahteraan, dan mengangkat harkat dan martabat masyarakat,” ujarnya.
Mendagri Tito Karnavian mengklaim, usulan pemekaran Papua berasal dari aspirasi masyarakat Papua, di antaranya dari kepala daerah, tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh pemuda, dan tokoh-tokoh birokrat di tiga DOB tersebut. Aspirasi diterima langsung kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam kunjungan ke Papua. Aspirasi juga disampaikan kepada delegasi yang datang ke Papua, seperti Kemendagri dan pimpinan K/L lainnya, termasuk tokoh partai politik, pimpinan parpol, dan anggota DPR ataupun pimpinan DPR.
Menurut dia, kebijakan pemekaran di Papua merupakan amanat dan implementasi dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua. Melalui ketiga RUU itu, diharapkan bisa menjadi payung hukum yang konkret, terutama dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan dengan tujuan utama mempercepat pembangunan Papua guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, terutama OAP. ”Pemekaran di Papua harus menjamin dan memberikan ruang kepada OAP,” ucapnya.
Partisipasi bermakna
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menilai, DPR dan pemerintah tidak mendengarkan masukan dari Mahkamah Konstitusi terkait dengan pembentukan UU yang harus memenuhi prinsip partisipasi bermakna. Apalagi, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah direvisi seusai putusan MK itu juga sudah diundangkan pada Mei lalu.
”Bagaimana mungkin partisipasi bermakna terjadi jika pembentukannya dikebut hanya 10 hari, tidak ada ruang-ruang terbuka, dan draf tidak banyak diekspos. Kalau dilihat pembentukan DOB, bukan partisipasi publik, tetapi partisipasi kepentingan,” katanya.
Menurut dia, UU DOB di Papua sangat rawan digugat ke MK, seperti UU Otsus Papua yang hingga kini belum juga diputus oleh MK. Sebab, proses pembahasannya yang sangat cepat bisa menjadi pintu masuk untuk gugatan formil, sedangkan materi di UU DOB Papua bisa digugat secara materiil jika pasal-pasalnya ada yang merugikan OAP. ”Kalau banyak kepentingan di UU ini, putusannya akan sangat lama di MK,” ujar Feri.