Kabar Hukum: Otonomi Khusus untuk Lindungi Hak Dasar Orang Papua
Otonomi khusus pada Provinsi Papua diberikan dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar orang asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya.
Oleh
Fahri Bachmid
·5 menit baca
Pengantar: Harian Kompas dan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) bekerja sama untuk melakukan pendidikan hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum dalam masyarakat, melalui Konsultasi Hukum dan Kabar Hukum yang dimuat di Kompas.id. Kabar Hukum menjadi wadah bagi anggota Peradi untuk menuangkan pemikirannya, baik berbentuk opini/artikel atau rilis/berita. Untuk Konsultasi Hukum, warga bisa mengajukan pertanyaan terkait persoalan hukum melalui e-mail: hukum@kompas.id dan kompas@kompas.id, yang akan dijawab oleh sekitar 50.000 anggota Peradi. Untuk Kabar Hukum, anggota Peradi bisa mengirimkannya pada alamat email yang sama. Terima kasih
Opini Publik terhadap Otonomi Khusus Papua Infografik – Dimas
Otonomi daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bermakna sebagai bentuk dari verdeling (pembagian) kekuasaan kepada setiap daerah-daerah dengan tetap berpegang pada kaidah kesatuan negara dengan batasan-batasan kewenangan tertentu. Ketentuan norma pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (7) juncto pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memberikan “rules” penyelenggaraan otonomi daerah dengan prinsip desentralisasi simetris dan asimetris.
Basis fundamental penyelenggaraan otonomi tersebut berpijak pada konsepsi pembagian atau pelimpahan kekuasaan kepada daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Pembagian kekuasaan ini dimaksudkan agar masing-masing daerah berkembang dengan mudah dan memberikan akses pelayanan dari segala sektor kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan cepat sesuai dengan kekhususan dan keragaman daerah.
Kata “dibagi” pada ketentuan pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menekankan eksistensi NKRI sebagai suatu entitas yang lebih dulu ada, diksi yang digunakan oleh Konstitusi, bukan dengan kata “terdiri atas/dari”. Hal ini disadari dengan maksud untuk menghindari pemahaman atau konstruksi hukum daerah- daerah (provinsi atau kabupaten/kota) lebih dulu ada daripada NKRI.
Pembagian kekuasaan ini dimaksudkan agar masing-masing daerah berkembang dengan mudah dan memberikan akses pelayanan dari segala sektor kebutuhan masyarakat terpenuhi dengan cepat.
Pembagian/pemberian kekuasaan pada konteks otonomi daerah tentu tidak dapat dimaknai sebagai distribution of power pada kerangka NKRI. Provinsi Papua adalah salah satu daerah yang diberikan otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus secara mandiri urusan pemerintahannya, menurut asas otonomi, meskipun corak otonominya, adalah otonomi khusus. Namun, konsep dasar pemberian otonomi tersebut adalah tetap dalam kaidah dan pengaturan otonomi daerah, vide pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (7) juncto pasal 18B ayat (1) UUD 1945.
Otonomi khusus kepada Provinsi Papua diberikan dalam rangka melindungi dan menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar orang asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya.
Selain itu, dalam rangka percepatan pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua, perlu dilakukan upaya untuk melanjutkan dan mengoptimalkan pengelolaan penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua secara akuntabel, efisien, efektif, transparan, dan tepat sasaran, serta untuk melakukan penguatan penataan daerah provinsi di wilayah Papua sesuai dengan kebutuhan, perkembangan, dan aspirasi masyarakat Papua.
Otonomi khusus dalam pemberian serta pelaksanaannya tetap harus berpedoman pada kerangka hukum yang dibentuk oleh Negara melalui produk hukum berbentuk UU. Ini bermakna, bahwa otonomi yang dimiliki dan dijalankan tiap-tiap daerah berada pada koridor NKRI, sehingga tidak timbul kesan adanya kekuasaan terpisah antara daerah otonom dengan Negara. Konsepsi otonomi tersebut adalah distribution of power, bukan pemisahan kekuasaan dalam arti separation of power.
Utuh dan komprehensif
Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, adalah perwujudan pengaturan yang utuh dan komprehensif atas otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua. UU No. 2/2021 memberikan defenisi yang jelas dan terukur, yaitu Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak dasar masyarakat Papua.
Provinsi Papua diberikan Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI secara asimetris, tidak sama dengan daerah lainnya. Konsep desentralisasi asimetris berkembang dari konsep tentang asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton tahun 1965 (Tillin, 2006: 46- 48). Menurut Tillin, terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. Jenis pertama merujuk pada adanya perbedaan antardaerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya, dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang timbul, karena adanya perbedaan karakteristik tadi.
Provinsi Papua diberikan Otonomi Khusus dalam kerangka NKRI secara asimetris, tidak sama dengan daerah lainnya.
Sedangkan asimetri kedua merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja.
Gagasan tentang desentralisasi asimetris mestinya tidak dipersepsi sebagai bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi negara kesatuan, tetapi justru dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi, yakni menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal.
Pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang historis masing-masing daerah ke dalam sistem kebijakan nasional. Mengingat setiap daerah atau wilayah dalam sebuah negara memiliki anatomi dan struktur politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda atau asimetris menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat. Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada masa modern sekarang ini ada otonomi khusus.
Desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang atau kekuasaan, atau strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal.
Desain desentralisasi yang berbeda atau asimetris menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat.
Dr Fahri Bachmid SH MH, Wakil Ketua bidang Kajian Hukum dan Perundang-undangan DPN Peradi.
Disampaikan saat menjadi ahli dari Presiden Republik Indonesia pada sidang lanjutan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) pada Selasa, 17 Mei 2022.