Tim jaksa Kejaksaan Agung masih menyusun surat dakwaan bagi tersangka kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, pada 2014. Namun, penyidik tak menahan tersangka, IS. Alasannya IS bersikap kooperatif.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga saat ini, tim jaksa Kejaksaan Agung masih menyusun surat dakwaan bagi tersangka kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, yang terjadi tahun 2014. Menurut rencana, berkas perkara beserta surat dakwaan akan dilimpahkan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar pada pekan depan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Selasa (7/6/2022), mengatakan, setelah tim jaksa penuntut umum dibentuk beberapa waktu lalu, kini tim tersebut masih menyusun surat dakwaan. Segera setelah surat dakwaan selesai, maka tim jaksa penuntut umum akan melimpahkan berkas perkara beserta surat dakwaan ke Pengadilan HAM di Makassar.
”Rencana, minggu depan, pelimpahan itu akan dilakukan,” ujar Ketut.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin telah membentuk tim jaksa penuntut umum yang terdiri atas 34 jaksa. Mereka adalah para jaksa yang berasal dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Papua, dan Kejaksaan Negeri Makassar.
Adapun dalam perkara tersebut telah ditetapkan seorang tersangka, yakni IS. Saat peristiwa Paniai terjadi pada Desember 2014, IS merupakan perwira penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai. Selama ini, pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan di kantor Kejaksaan Negeri Biak Numfor.
Hingga saat ini, penyidik tidak melakukan penahanan terhadap tersangka. Menurut Ketut, salah satu alasannya adalah karena tersangka IS tersebut bersikap kooperatif selama pemeriksaan terhadap yang bersangkutan. Selain itu, kata Ketut, terdapat alasan tertentu yang hanya diketahui penyidik sehingga yang bersangkutan tidak ditahan.
Tersangka IS disangka dengan Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b junctis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan kedua, Pasal 42 Ayat (1) huruf a dan b junctis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU yang sama.
Pasal 42 UU tentang Pengadilan HAM mengatur mengenai pertanggungjawaban komandan militer terhadap terjadinya tindak pidana yang berada di bawah komando pengendaliannya. Sementara Pasal 7 UU tersebut mengatur mengenai pelanggaran HAM yang berat yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sudah sekitar 15 tahun tidak dilangsungkan pengadilan HAM berat. Maka, kasus Paniai tersebut akan menjadi ujian bagi aparatur penegak hukum.
Setelah 15 tahun
Secara terpisah, Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab mengatakan, sudah sekitar 15 tahun tidak dilangsungkan pengadilan HAM berat. Maka, kasus Paniai tersebut akan menjadi ujian bagi aparatur penegak hukum dalam menegakkan UU tentang Pengadilan HAM.
”Pengadilan HAM ini momentum untuk menunjukkan bahwa pengadilan HAM bisa berjalan dengan baik dan fair dalam menangani sebuah perkara, menunjukkan keseriusan kita dalam menangani pelanggaran HAM berat, sekaligus modal kita untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang terjadi di Papua,” ujar Amiruddin.
Menurut Amiruddin, dalam pengadilan HAM berat tersebut, perhatian besar akan tertuju kepada para saksi yang dihadirkan. Maka, besar harapan pula agar saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum benar-benar saksi yang mengalami atau melihat langsung peristiwa itu sesuai dengan dakwaan.
Di sisi lain, lanjut Amiruddin, diharapkan para hakim HAM yang nantinya ditugaskan memeriksa dan mengadili perkara tersebut juga benar-benar hakim yang memiliki kapasitas. Sebab, selama sekitar 15 tahun terakhir ini hakim HAM praktis tidak berperkara dan bisa jadi ada yang sudah pensiun.
”Hampir 15 tahun ini tidak ada satu orang pun ditetapkan menjadi tersangka sehingga ketika sekarang ada 1 orang yang menjadi tersangka tentu kami apresiasi. Tetapi, kasus pelanggaran HAM berat yang berkategori kejahatan kemanusiaan di dunia ini tidak pernah hanya dilakukan oleh 1 orang,” ujar Amiruddin.
Persiapan
Mahkamah Agung saat ini sedang mempersiapkan hal-hal teknis yang berkaitan dengan rencana pelaksanaan sidang kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Paniai.
Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro saat dihubungi, Selasa (7/6/2022), mengatakan, MA sedang menyiapkan majelis hakim yang akan memeriksa dan mengadili perkara dugaan kasus pelanggaran HAM berat Paniai. Menurut dia, saat ini hakim-hakim HAM ad hoc yang pernah mengadili kasus pelanggaran HAM berat Timor Leste dan Tanjung Priok sudah habis masa jabatannya. Mereka bahkan sudah beralih tugas. Padahal, untuk menyidangkan perkara dugaan pelanggaran HAM berat, komposisi majelis hakim terdiri dari dua hakim karier dan tiga hakim HAM ad hoc.
”MA siap menyelenggarakan peradilan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat Paniai. Namun, MA memerlukan waktu perekrutan dan seleksi hakim-hakim ad hoc yang akan menangani perkara tersebut,” kata Andi.
Untuk merekrut hakim ad hoc HAM, MA akan melaksanakan sendiri, tanpa melibatkan Komisi Yudisial. Sebab, hakim yang direkrut itu hanya untuk tingkat pertama dan tingkat banding. MA belum bisa menentukan berapa lama proses rekrutmen hakim ad hoc HAM itu akan selesai. Namun, MA mengupayakan agar proses dapat selesai secepatnya.
Untuk merekrut hakim ad hoc HAM, MA akan melaksanakan sendiri, tanpa melibatkan Komisi Yudisial.
Untuk mempercepat proses itu, Ketua MA M Syarifuddin pun telah membentuk kelompok kerja (pokja) Penyiapan Kelembagaan Pengadilan HAM sesuai Surat Keputusan (SK) KMA Nomor 171/KMA/SK/VI/2022 tanggal 3 Juni 2022. Pokja tersebut diharapkan dapat bekerja dan merampungkan tugasnya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai akan disidangkan di Pengadilan HAM Makassar. Sesuai dengan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, hal itu secara kelembagaan tidak masalah karena memang pengadilan HAM sudah terbentuk dan melekat menjadi bagian dari peradilan umum.