MK Perbolehkan Mantan Napi Perbuatan Tercela ”Nyalon” Kepala Daerah
MK memberikan kesempatan kepada mantan terpidana untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah sepanjang bersedia jujur mengumumkan kepada publik bahwa ia mantan narapidana.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi mengizinkan kandidat yang pernah melakukan perbuatan tercela, seperti judi, pemakai/pengedar narkotika, dan pelanggar kesusilaan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Syaratnya, mereka harus melewati jangka waktu lima tahun setelah menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu, kandidat juga diminta jujur dan terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.
Hal itu tertuang dalam putusan MK Nomor 2/PUU-XX/2022 tentang uji materi Pasal 7 Ayat (2) Huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Permohonan uji materi itu diajukan Hardizal, mantan bakal calon wakil wali kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi, pada Pilkada 2020 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Ia merasa dirugikan dengan aturan tersebut karena pada akhir masa pendaftaran, partai politik yang akan mengusung malah mencabut rekomendasinya. Alasannya, karena ada catatan dalam surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) yang menerangkan statusnya sebagai mantan terpidana kasus psikotropika.
Hakim konstitusi Suhartoyo saat membacakan putusan, Selasa (31/5/2022), mengatakan, hak untuk memilih dan dipilih adalah hak konstitusional. Namun, negara dapat melakukan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Selain itu, juga untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Pembatasan-pembatasan terhadap hak pilih itu dikenal dalam Pasal 25 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan, tanpa pembedaan dan tanpa pembatasan yang tidak wajar. Salah satunya adalah hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
Untuk menciptakan pemilihan yang berkualitas bukan hanya ditentukan dari penyelenggaraan yang berkualitas, melainkan juga calon yang akan dipilih menjadi pemimpin juga harus berkualitas. Salah satu cara menjaga kualitas dari pemilihan adalah dengan memberikan batasan-batasan sehingga yang akan menjadi peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah calon-calon berintegritas.
”Pembatasan hak asasi dengan persyarataan calon harus dipandang bukan hanya dilihat dari sisi perorangan bakal calon yang hendak mencalonkan diri. Namun, juga dari sisi persepsi masyarakat daerah yang sedang mencari pemimpin daerahnya. Di mana dengan sistem pemilihan langsung masyarakat yang secara langsung memilih tanpa adanya panitia seleksi sebagaimana pemilihan jabatan-jabatan lainnya,” ujar Suhartoyo.
Meskipun mahkamah menganggap bahwa persyaratan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah hal yang penting untuk menjadi seleksi awal, dalam putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 MK pernah menetapkan bahwa syarat tidak pernah dijatuhi pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih adalah inkonstitusional sepanjang tidak memenuhi syarat tertentu. Di antaranya adalah berlaku jangka waktu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Selain itu, mantan terpidana juga harus secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang.
”Sejak putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, mahkamah juga memaknai syarat tidak pernah dipidana ini beberapa kali dalam putusannya. Terakhir, dengan putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019,” kata Suhartoyo.
Melalui putusan ini, mahkamah menegaskan untuk memberikan kesempatan kepada mantan terpidana kasus narkoba ikut serta dalam pemilihan kepala daerah sepanjang memenuhi syarat dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU No 10/2016 dan putusan MK No 56/PUU-XVIII/2019. Mahkamah berpandangan penilaian akhir terhadap calon mantan terpidana yang ikut berkontestasi dalam pilkada ada di tangan masyarakat atau pemilih.
Selain itu, mahkamah juga menilai bahwa SKCK bukanlah satu-satunya parameter seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah berkelakuan baik atau tercela. SKCK hanyalah syarat administratif.
Bisa saja seseorang melakukan perbuatan tercela karena kelalaian atau kealpaan. SKCK tidak boleh menjadi penghalang bagi calon kepala daerah untuk dapat ikut kontestasi pilkada sepanjang memenuhi syarat tersebut di atas. Kepolisian juga diminta untuk segera memformulasikan bentuk/format SKCK sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf i UU No 10/2016 dengan menyesuaikan semangat yang ada dalam putusan.
Mahkamah juga menilai bahwa SKCK bukanlah satu-satunya parameter seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah berkelakuan baik atau tercela. SKCK hanyalah syarat administratif.
”Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah melakukan perbuatan yang melanggar penjelasan Pasal 7 Ayat (2) Huruf i UU NO 10/2016 dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan serta telah selesai menjalani masa pidana harus dikecualikan untuk tidak dikenakan syarat SKCK yang masih dikaitkan dengan perbuatannya itu,” kata Suhartoyo.
Tidak ada penjeraan
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari berpandangan, dalam putusan ini MK mencoba untuk membangun putusan yang linier dengan putusan sebelumnya, yaitu aturan pencalonan kepala daerah dari mantan terpidana kasus korupsi. MK mencoba mempertahankan putusan terdahulu dengan membuka ruang bagi terpidana perbuatan tercela. MK tidak sedang bersikap untuk menjaga calon kepala daerah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya terdahulu. Padahal, dahulu pasal di UU Pilkada dibuat agar pemilih mendapatkan calon pemimpin terbaik yang jauh dari perbuatan bermasalah.
”Kalau MK tidak melakukan itu akan dipertanyakan oleh publik mengapa dua konsep itu berbeda. Padahal, itu adalah gagasan yang sama. Ini supaya publik tidak melihat ada keanehan atau kejanggalan dalam putusan terdahulu,” kata Feri.
Padahal, menurut Feri, seharusnya MK bisa bersikap untuk melindungi norma yang telah tercantum di dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28 J UUD 1945, misalnya, sudah disebutkan tentang pembatasan hak jika seseorang melanggar hak orang lain. Dalam konteks pilkada, Feri melihat hak pemilih telah dilanggar jika calon tersebut melakukan tindak pidana korupsi ataupun perbuatan tercela.
Para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah seharusnya dapat bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dipilih oleh para pemilih. Ketika mereka mengkhianati hak tersebut, sudah sepantasnya dibatasi haknya untuk tidak bisa dipilih lagi. Apalagi, dalam praktiknya, calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana kasus korupsi kembali melakukan korupsi saat dia terpilih. Tanpa pembatasan hak untuk dipilih, menurut dia, tak ada penjeraan terhadap calon saat mengkhianati kepentingan publik.
”Calon kepala daerah seharusnya tidak melakukan hal-hal yang dianggap tidak wajar dalam kehidupan bersosial, apalagi dilakukan oleh penyelenggara negara. Bagi saya, pembatasan seperti itu sebenarnya biasa saja untuk melindungi publik dari pasar demokrasi yang bebas,” kata Feri.