Persoalan pada Pemilu 2019 Diprediksi Terulang pada 2024
Hasil evaluasi Pemilu 2019 menunjukkan, secara teknis pelaksanaannya melebihi batas kemampuan tubuh pada umumnya. Jika pemilu dan pilkada dilakukan serentak 2024, dikhawatirkan masalah pada Pemilu 2019 terulang kembali.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum tetap membutuhkan landasan hukum untuk mengantisipasi permasalahan yang kemungkinan terjadi pada pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah jika dilaksanakan serentak pada 2024. Antisipasi perlu dilakukan dalam aspek teknis penyelenggaraan dan substansi pemilihan.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Pramono Ubaid Tanthowi, saat webinar bertajuk ”Pemilu dan Pilkada Borongan 2024: Realistiskah?”, Minggu (7/2/2021), menuturkan, pelaksanaan lima jenis pemilihan pada April 2024 diprediksi mengulang sejumlah permasalahan yang pernah terjadi pada Pemilu 2019.
Beban pekerjaan pada Pemilu 2019 yang berlebihan mengakibatkan 894 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 5.157 anggota KPPS jatuh sakit.
Hasil evaluasi Pemilu 2019 menunjukkan, secara teknis pelaksanaannya telah melampaui batas kemampuan tubuh manusia pada umumnya. Beban pekerjaan yang berlebihan mengakibatkan 894 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 5.157 anggota KPPS jatuh sakit.
Pada Pemilu 2019, beban KPPS sangat tinggi karena pemilih membutuhkan waktu yang lama untuk mencoblos lima jenis surat suara. Rata-rata waktu yang dibutuhkan pemilih berada dalam bilik suara berkisar 5-7 menit. Adapun untuk pemilih yang sudah tua membutuhkan waktu 7-9 menit dan pemilih disabilitas 9-11 menit.
Banyaknya jenis surat suara mengakibatkan KPPS membutuhkan waktu lebih lama untuk menghitung dan membuat salinan C1. Penghitungan surat suara pemilihan presiden dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah berkisar 45-60 menit. Sedangkan untuk menghitung surat suara pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota membutuhkan waktu 90-105 menit.
Penghitungan suara rata-rata baru selesai pukul 23.00 hingga 24.00. Itu pun KPPS masih harus menyalin Form C-Pleno ke Form C-1 serta membuat rangkapan sesuai jumlah kebutuhan. Semua pekerjaan itu baru tuntas dini hari, bahkan tidak jarang melebihi 24 jam sejak tempat pemungutan suara (TPS) dibuka pukul 07.00.
Semua pekerjaan itu baru tuntas dini hari, bahkan tidak jarang melebihi 24 jam sejak tempat pemungutan suara (TPS) dibuka pukul 07.00.
Selain itu, secara teknis muncul masalah ketersediaan logistik dan pelayanan pemilih. Akibatnya, ada 705 TPS harus melakukan pemungutan suara ulang, 2.260 TPS melaksanakan pemilu susulan, dan 196 TPS melaksanakan pemilu lanjutan.
”Pada 26 April 2019 dalam refleksi penyelenggaraan Pemilu 2019, saya mengatakan, pemilu serentak dengan metode penyelenggaraan seperti itu harus menjadi pertama dan terakhir,” ujar Pramono.
Untuk mengurangi dampak serupa jika pemilu serentak tetap dilaksanakan pada 2024, lanjut Pramono, perlu dibuka peluang memberikan suara melalui pemungutan suara awal (early voting) untuk mengurangi jumlah pemilih di TPS. Proses rekapitulasi sebaiknya memanfaatkan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) untuk meringankan beban KPPS dalam menyalin Form C-Plano dan menyederhakanan proses rekapitulasi.
”Dua alternatif solusi di atas tetap perlu landasan hukum yang kokoh berupa revisi Undang-Undang Pemilu atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang,” ucapnya.
Namun, kata Pramono, dua alternatif itu hanya mengurangi beban penyelenggara pemilu. Masih ada persoalan besar terkait logistik pemilu yang belum terselesaikan.
Pelaksanaan pemilu serentak membuat pemilih kesulitan memilah isu lokal dan nasional serta partai politik kesulitan dalam proses pencalonan karena jarak antara pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah (pilkada) terlalu dekat.
Kemudian, dalam hal substansi pemilu, pelaksanaan pemilu serentak membuat pemilih kesulitan memilah isu lokal dan nasional serta partai politik kesulitan dalam proses pencalonan karena jarak antara pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah (pilkada) terlalu dekat. Akibatnya, pemilu semakin sulit mencapai tujuan pemerintahan presidensial yang efektif di tingkat nasional dan lokal.
Tidak realistis
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai, pemilu dan pilkada tidak seharusnya disatukan pada 2024. Selain tidak realistis, pelaksanaannya juga terkesan coba-coba (trial and error) yang tidak mempertimbangkan dampak-dampak negatif seperti dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Uji coba desain pemilu dan pilkada tidak menguntungkan serta membuat Indonesia merugi karena peta jalan yang terbangun acak dan tidak teratur.
”Mendesain pemilu dan pilkada perlu mempertimbangkan filosofi, teks, dan konteks Indonesia. Juga tak boleh sekadar mengedepankan keserentakannya saja, tetapi juga kualitas,” ujarnya. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah menuturkan, seandainya DPR tidak merevisi UU Pemilu, masih ada jalan lain untuk perbaikan pelaksanaan pemilu dan pilkada, antara lain revisi terbatas, uji materi, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, dan memperkuat peraturan KPU.
Perbaikan yang terbaik adalah melalui revisi UU Pemilu karena bisa memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan yang diperkirakan akan terjadi pada pemilu serentak 2024.
Namun, perbaikan yang terbaik adalah melalui revisi UU Pemilu karena bisa memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan yang diperkirakan akan terjadi pada pemilu serentak 2024. Sedangkan alternatif solusi lain, jika dilakukan, hanya mampu menyelesaikan sebagian masalah dan tetap menyisakan permasalahan-permasalahan lain.
”Revisi UU Pemilu yang terbaik karena ada ruang partisipatif,” ujarnya.
Peneliti KoDe Inisiatif, Ihsan Maulana, menambahkan, DPR seharusnya menginventarisasi dampak-dampak yang timbul jika tidak akan merevisi UU Pemilu. Munculnya produk hukum lain, seperti perppu ataupun uji materi, akan menunjukkan bahwa UU Pilkada yang berlaku saat ini belum mampu mengakomodasi kebutuhan.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai, sikap sejumlah fraksi di DPR yang ingin membatalkan pembahasan revisi UU Pemilu perlu dipertanyakan. Sebab, revisi sudah pernah dibahas sejak tahun lalu, bahkan telah melewati tahapan harmonisasi.
”DPR seharusnya memainkan fungsi memberikan keseimbangan atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah, termasuk dalam revisi UU Pemilu,” tuturnya.