Indonesia dan Korsel sama-sama menorehkan sejarah kelam saat rezim otoriter berkuasa. Bedanya, desakan publik Korea diperkuat kemauan politik, bisa menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM semasa rezim itu berkuasa.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·7 menit baca
Mei, 42 tahun silam, Korea Selatan bergejolak. Masyarakat kota Gwangju di Korsel selatan, didominasi mahasiswa, turun ke jalan, berunjuk rasa melawan junta militer pimpinan Mayor Jenderal Chun Doo-hwan. Militer lantas dengan represif menekan pengunjuk rasa. Korban berjatuhan hingga diperkirakan melebihi angka resmi yang menyebutkan, setidaknya 150 warga sipil tewas dan ribuan lainnya terluka.
Peristiwa unjuk rasa di Gwangju yang terjadi pada 18-27 Mei 1980 itu memang tak berhasil menggulingkan Chun Doo-hwan. Namun, peristiwa itu menjadi kebangkitan gerakan demokrasi di Korea Selatan. Kegagalan pada Peristiwa Gwangju 1980 memunculkan lahirnya aliansi mahasiswa, intelektual, dan masyarakat untuk perjuangan demokrasi. Hingga akhirnya pada 1987, massa dalam jumlah lebih besar berunjuk rasa di seantero Korsel menuntut penerapan demokrasi dan bisa memaksa rezim Chun untuk menerima demokrasi dan digelarnya pemilu.
Selang sembilan tahun, persisnya pada 1996, Chun yang berkuasa dengan jalan kudeta militer pasca-pembunuhan Presiden Park Jeong-hui pada 26 Oktober 1979 diadili atas kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) semasa kepemimpinannya. Ini termasuk dalam Peristiwa Gwangju. Ia pun dihukum mati meski pada 1997 Presiden Kim Young-sam mengampuni dan lantas membebaskannya. Chun meninggal pada 23 November 2021.
Untuk merawat memori kolektif tentang Peristiwa Gwangju, Pemerintah Korsel membangun kompleks May 18th National Cemetery pada 1993-1997 di Gwangju. Dilansir dari situs visitkorea.or.kr, monumen tersebut adalah simbol kebebasan dan demokrasi. Di dalam museum, ada area pemakaman yang terdiri dari ratusan kuburan korban peristiwa Gwangju, tujuh konstruksi, dan monumen. Di dalam monumen juga ada aula yang menampilkan foto-foto korban warga sipil, mulai dari mahasiswa hingga warga lansia.
Di Indonesia, puncak perjuangan menuntut demokrasi juga terjadi pada bulan Mei. Sebelum Presiden Soeharto yang berkuasa sejak 1967 menyatakan mundur pada 21 Mei 1998, masyarakat yang didominasi mahasiswa berunjuk rasa di Jakarta dan sejumlah kota lainnya. Aparat keamanan dengan represif menekan para pengunjuk rasa.
Empat mahasiswa Universitas Trisakti menjadi korban, tewas tertembak pada 12 Mei 1998. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hartanto, dan Hendriawan Sie. Gejolak yang terjadi kemudian disertai kerusuhan, juga di sejumlah kota, yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan korban luka.
Namun, bedanya dengan Korsel, penuntasan kasus Mei 1998 masih gelap hingga sekarang. Tahun lalu, pihak Kejaksaan Agung memang menyebutkan telah membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat. Sebanyak 13 berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat dari Komisi Nasional (Komnas) HAM telah diverifikasi oleh tim khusus tersebut. Di antaranya, sejumlah kasus yang terjadi pada 1998, seperti kasus kerusuhan Mei 1998 serta peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II pada 1998-1999. Namun, hingga kini, tak jelas kelanjutannya.
Kim So-hee dari Youth Korean Gwangju International Center dalam diskusi bertajuk ”Jejak Mei antara Korea Selatan 1980 dan Indonesia 1998” yang diadakan oleh Komnas HAM, Rabu (25/5/2022), menuturkan, setelah rezim otoriter Chun tumbang, desakan untuk reformasi dan demokratisasi menguat. Peristiwa kelam pembunuhan mahasiswa dan warga sipil pun terus dikenang oleh warga Korsel baik melalui buku, film dokumenter, jurnal ilmiah, maupun publikasi lainnya.
”Walaupun saya lahir setelah 1980, saya banyak belajar tentang sejarah demokrasi di negara saya melalui buku, film dokumenter, dan publikasi lainnya. Ini penting untuk merawat ingatan agar generasi muda tidak ahistoris,” ujarnya.
Masyarakat juga terus mendesak agar kasus-kasus pelanggaran HAM semasa kepemimpinan Chun dapat dituntaskan dan diproses hukum. Desakan kuat dari warga itu akhirnya membuahkan hasil. Diktator Chun Doo-hwan divonis bersalah dan dihukum di pengadilan. Berkaca pada hal ini, menurut dia, konsensus masyarakat bisa menjadi pendorong agar pemerintah di masa kini mau menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Lima prinsip utama
So-hee juga menjelaskan bahwa ada lima prinsip utama yang dilakukan dalam penuntasan pelanggaran HAM berat di Gwangju tahun 1980. Pertama, pencarian fakta investigasi kasus, rapat dengar pendapat di parlemen, adanya lembaga komisi nasional kebenaran untuk memproses hukum pemimpin militer yang bertanggung jawab pada pelanggaran HAM berat di masa lalu, kompensasi bagi korban dan keluarganya, serta proyek memorial untuk mengenang sejarah kelam tersebut.
Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, menyampaikan, masyarakat Indonesia bisa memetik pelajaran dari Peristiwa Gwangju 1980. Menurut dia, di Korsel ada budaya menghargai yang sangat tinggi pada demokrasi, HAM, dan perjuangan korban untuk demokrasi. Penghargaan itu muncul begitu kuat sehingga masyarakat tidak ahistoris. Kemauan politik dari Pemerintah Korsel untuk memenuhi tuntutan warga juga kuat sehingga sejumlah auktor intelektualis di balik pelanggaran HAM masa lalu bisa diseret ke meja hijau.
”Kalau dibandingkan dengan di Indonesia, budaya menghargai kita terhadap sejarah kelam bangsa itu belum terlalu kuat. Sampai sekarang negara tidak mau mengakui korban peristiwa Mei 1998, misalnya. Di sekolah-sekolah juga kurang ditekankan pembelajaran soal sejarah itu,” kata Amiruddin.
Ia menambahkan, untuk membangun memori kolektif di masa lalu itu, hal sederhana yang bisa dilakukan pemerintah adalah membangun monumen pengingat seperti May 18th National Cemetery. Tak hanya itu, bulan Mei seharusnya ditetapkan sebagai bulan pergerakan mahasiswa atau perjuangan reformasi. "Perlu dipikirkan ke depan bagaimana untuk meningkatkan rasa peduli dan menghargai terhadap sejarah panjang merebut reformasi dan demokrasi 1998. Jangan sampai kita menjadi bangsa ahistoris yang memilih pemimpin berlatar belakang keluarga diktator yang korup seperti di Filipina baru-baru ini,” katanya.
Sejarah kelam terulang
Keluarga korban penghilangan paksa 1998, Binar Mentari, berharap, Pemerintah Indonesia mau mengakui kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di era reformasi 1998. Tak hanya itu, yang terjadi di 1998 harus dibuat terang. Sebab, selama ini, apa yang terjadi saat itu masih kabur. Sejarah dinilainya masih dituliskan oleh mereka yang menang. Dengan demikian, jika generasi muda tidak memiliki rasa ingin tahu yang kuat, memori kelam bangsa itu bisa jadi terlupakan. Bahkan, bukan tidak mungkin, jika sampai terlupakan, yang terjadi di pemilu Filipina, di mana anak dari diktator Ferdinand Marcos, yakni Ferdinand Marcos Junior, bisa juga terjadi di negeri ini.
”Sudah lebih dari dua dekade reformasi 1998, tetapi kita semua belum sepakat tentang apa yang terjadi. Ini tidak boleh dibiarkan. Harus ada upaya untuk membangun monumen memorabilia seperti di Gwangju agar memori kolektif ini tetap terawat,” kata Binar.
Ia pun mengusulkan agar seluruh pihak mendorong pemerintah ikut merawat ingatan kolektif itu melalui dunia pendidikan. Buku-buku sejarah harus ditulis berdasarkan fakta yang ada. Negara juga harus mengakui sejarah kelam yang terjadi di masa lalu. Dengan kata lain, harus ada upaya yang terstruktur dan sistematis untuk merawat memori kolektif itu.
”Negara harus ikut andil dalam meluruskan sejarah. Jangan sampai generasi muda justru termakan propaganda sejarah di media sosial yang sama sekali berbeda dengan faktanya. Ini mengerikan karena dapat membuat dinasti diktator bisa terpilih lagi dalam pemilu seperti di Filipina baru-baru ini,” kata Binar.
Kemauan politik
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, meskipun demokrasi sudah berjalan sejak 1998, sampai saat ini kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih banyak belum tuntas, termasuk peristiwa Mei 1998. Memang ada secercah harapan ketika Presiden Joko Widodo menjadikan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai salah satu janji yang akan dituntaskan semasa kepemimpinannya. Hanya sayang, hingga kini janji tersebut belum terlihat dipenuhi.
”Sayang hingga periode kedua (pemerintahan Jokowi) ini, janji politik itu belum terlihat hasilnya,” ujar Taufik, yang merupakan aktivis prodemokrasi tahun 1998.
Menurut dia, kunci dari penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu adalah komitmen politik. Perlu keberanian dari rezim pemerintah untuk melakukan langkah progresif. Sebagai contoh dalam kasus pelanggaran HAM 1998, setidaknya perlu ada pengakuan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang menimbulkan banyak korban.
”Sayangnya sampai saat ini belum ada pengakuan resmi dari negara. Penuntasan keadilannya pun belum jelas sampai sekarang. Apakah melalui pengadilan atau alternatif melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),” katanya.
Taufik juga sepakat bahwa negara harus ikut andil dalam meluruskan sejarah perjuangan demokratisasi bangsa. Dorongan agar negara membangun museum atau monumen peristiwa 1998 dianggap sebagai ide menarik. Monumen itu bisa dikunjungi warga setiap saat. Ini bisa menjadi penanda fisik bagi masyarakat untuk terus merawat memori kolektif akan peristiwa di masa lalu.
Selain itu, pelurusan sejarah juga bisa dilakukan melalui pendidikan. Buku-buku sejarah harus memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai peristiwa 1998.
Dari peristiwa Gwangju 1980, Indonesia dapat belajar tentang arti penting merawat ingatan agar sejarah kelam tak terulang lagi di masa depan.