Ziarah Ingatan Para Pencari Keadilan 1998
Sejumlah mahasiswi dan aktivis perempuan berziarah ke pemakaman massal korban tragedi Mei 1998 di Jakarta. Memori kolektif tentang kekerasan yang terjadi mengiringi proses demokratisasi Indonesia perlu terus dirawat.
Demokratisasi Indonesia dibayar mahal dengan sejarah kelam dan pengorbanan para perempuan korban kekerasan seksual 24 tahun silam. Hal itu harus jadi memori kolektif bangsa yang terus dirawat agar tidak dilupakan generasi mendatang. Apalagi, hingga saat ini, negara belum memenuhi tuntutan untuk mengakui dan mengungkap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama reformasi 1998.
Sejumlah mahasiswi dari berbagai kampus di Jabodetabek berjalan perlahan memasuki Blad 27 Blok AA1 Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta, Selasa (24/5/2022) pagi. Dalam suasana sunyi dan khidmat, mereka menghampiri satu per satu jajaran 113 batu nisan hitam tak bernama yang terpasang di sana. Di setiap nisan itu hanya tertulis, ”Korban Tragedi 13-15 Mei 1998”.
Setangkai mawar merah dan putih yang mereka genggam pun diletakkan di atas nisan-nisan tersebut. Setelahnya, mereka berjajar di empat sisi blok makam sambil menundukkan kepala, memanjatkan doa untuk mereka yang terbaring di dalam liang lahat. Di dalam liang lahat itu terkubur sejumlah orang yang menjadi korban dalam pembakaran pusat perbelanjaan ”Yogya” di Klender, Jakarta Timur, pada Mei 1998. Tak hanya orang dewasa dan anak-anak, perempuan yang diperkosa sebelum dilempar ke kobaran api diperkirakan juga ada di sana.
”Mari mengheningkan cipta untuk para korban tragedi Mei 1998, termasuk para perempuan korban pemerkosaan Mei 1998. Selama 24 tahun, negara belum mengakui pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas kejahatan tersebut. Keadilan untuk mereka harus tetap diperjuangkan,” kata salah satu dari mereka.
Baca juga : Pam Swakarsa dan Memori Kelam Masa Lalu
Para mahasiswa dari berbagai kampus pagi itu berkumpul dalam agenda Napak Tilas 24 Tahun Perkosaan Mei 1998 yang diinisiasi Perempuan Mahardhika, kelompok masyarakat sipil yang mengadvokasi kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan sepanjang tragedi Mei 1998. Selain mahasiswi, sejumlah aktivis perempuan dari berbagai organisasi pun turut hadir.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Satyawanti Mashudi mengatakan, pemerkosaan yang terjadi pada perempuan Tionghoa tidak bisa dilepaskan dari berbagai peristiwa jelang reformasi, mulai dari krisis moneter 1997, Sidang MPR 1998, penghilangan paksa beberapa aktivis, demonstrasi besar-besaran, hingga penembakan mahasiswa Universitas Trisakti. Pemerkosaan yang terjadi di sejumlah kota, yakni Jakarta; Solo, Jawa Tengah; Palembang, Sumatera Selatan; dan Surabaya, Jawa Timur; terjadi secara sistematis dan terorganisasi, serupa dengan berbagai kerusuhan yang berlangsung saat itu.
Berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada 1998, telah terjadi pemerkosaan terhadap 52 perempuan. Sebanyak 14 orang di antaranya merupakan korban pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan dan penganiayaan seksual, dan 9 orang lainnya merupakan korban pelecehan seksual. Diperkirakan, angka tersebut belum mencakup keseluruhan korban. Namun, hingga saat ini data ini masih digunakan sebagai acuan untuk menuntut negara dalam mengungkap kasus pemerkosaan Mei 1998.
Selain TGPF, Tim Relawan untuk Kemanusiaan menemukan lebih banyak lagi. Setidaknya ditemukan 152 kasus pemerkosaan. Dari 152 korban, 20 orang meninggal. Mayoritas korban adalah perempuan Tionghoa.
Berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pada 1998, telah terjadi pemerkosaan terhadap 52 perempuan. Sebanyak 14 orang di antaranya merupakan korban pemerkosaan dengan penganiayaan.
”Sampai saat ini, laporan dan rekomendasi yang dibuat TGPF tidak pernah ditindaklanjuti oleh negara,” kata Satyawanti.
Ia menambahkan, pemerkosaan Mei 1998 merupakan teror yang dilakukan menggunakan tubuh perempuan. Peristiwa itu menyebabkan perempuan tidak berani untuk keluar rumah dan beraktivitas. Teror pun tidak sebatas itu, tetapi juga ancaman bagi korban yang bersedia untuk mengakui pemerkosaan tersebut.
Contohnya, pembunuhan misterius yang terjadi pada Ita Martadinata Haryono pada Oktober 1998. Korban pemerkosaan 1998 itu tewas beberapa hari sebelum berangkat untuk bersaksi di Sidang PBB terkait pemerkosaan massal yang terjadi di sekitar peristiwa reformasi. ”Itu yang membuat para korban bungkam, hingga hari ini,” kata Satyawanti.
Oleh karena itu, upaya untuk terus merawat ingatan tentang kekerasan seksual yang hingga kini belum diakui negara, apalagi diungkap, penting untuk terus dilakukan. Generasi muda harus tahu pengalaman pahit yang dialami masyarakat sebelum Indonesia dapat melaksanakan proses demokratisasi. Apalagi para korban semakin menua, bahkan beberapa sudah meninggal. ”Jangan sampai mereka menjadi terlupakan. Ini menjadi refleksi untuk generasi muda, ketika menikmati kebebasan, itu sebenarnya menyisakan masalah yang belum selesai dan harus diselesaikan,” kata Satyawanti.
Lihat juga : Reformasi (1): Hari-hari Kelam Jelang Reformasi
Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, menambahkan, pemerkosaan 1998 merupakan peristiwa yang sulit disangkal. Akan tetapi, selama ini negara masih terus berkelit untuk mengakuinya sebagai bagian dari pelanggaran HAM dan menyelenggarakan pengadilan HAM untuk menuntaskannya. Salah satu argumen yang digunakan adalah adanya syarat kesaksian korban untuk membuktikan peristiwa itu benar-benar terjadi.
Akan tetapi, 24 tahun pascareformasi, sudah ada terobosan penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). UU tersebut hadir dengan cara pandang baru, yakni setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia. Dengan perspektif itu, kesaksian korban secara langsung tidak lagi diperlukan sebagai syarat dalam memproses kasus pemerkosaan 1998.
”Dengan adanya UU TPKS, seharusnya pemerkosaan Mei 1998 sudah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, sudah ada pengadilan HAM. Tidak ada alasan lagi untuk menundanya,” kata Mutiara.
Sri Hidayah dari Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menyampaikan, para korban yang dimakamkan di pemakaman massal TPU Pondok Ranggon hanya sebagian kecil dari total korban tragedi Mei 1998. Sebagian lainnya tersebar di berbagai wilayah, sesuai dengan permintaan keluarga.
Para korban yang disemayamkan di pemakaman massal TPU Pondok Ranggon hanya sebagian kecil dari total korban tragedi Mei 1998. Sebagian lainnya tersebar di berbagai wilayah, sesuai dengan permintaan keluarga.
Meski demikian, memorialisasi reformasi 1998 penting dilakukan untuk terus mengingatkan generasi muda dan negara bahwa ada tanggung jawab yang belum mereka tuntaskan. Hal itu disimbolkan dengan baik melalui Monumen Mei 1998 yang ada di TPU Pondok Ranggon. Monumen itu berbentuk sebuah tangan yang sedang menjahit kain robek dengan jarum dan benang. Pada sebagian kain, ada noda darah yang belum hilang. ”Itu adalah simbol menjahit luka,” kata Sri.
Minim informasi
Bagi para mahasiswi, blok pemakaman massal dan wacana reformasi 1998 merupakan hal yang asing. Umumnya, pemahaman terkait reformasi sebatas tentang lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Mereka tidak tahu ada begitu banyak orang yang tewas akibat kerusuhan yang terjadi. Apalagi adanya pemerkosaan massal yang dilakukan terhadap para perempuan etnis Tionghoa.
”Sebagai orang yang lahir pada tahun 2001, kami tidak pernah tahu apa yang terjadi pada 1998. Dari pelajaran sejarah yang mulai diajarkan di sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sedikit sekali informasi yang kami dapatkan tentang peristiwa reformasi, tidak pernah secara mendetail,” kata Tiza, mahasiswa Universitas Indonesia (UI).
Menurut dia, agenda-agenda yang membahas peristiwa 1998, apalagi yang melibatkan para pelaku sejarah, penting untuk diikuti. Generasi muda bisa ikut mengingat sejarah kelam yang dialami Indonesia, tidak terkecuali pemerkosaan pada perempuan.
Baca juga : Politik ”Kanthong Bolong”
”Apa yang terjadi di masa lalu tidak berarti bisa ditinggalkan begitu saja. Sekarang pun masih banyak terjadi kekerasan seksual di mana-mana. Kalau kita menutup mata atas kejadian masa lalu, apa jadinya di masa depan,” kata Tiza.
Alifa, mahasiswa Universitas Indonesia, menambahkan, pengetahuan tentang teror yang terjadi pada perempuan di sekitar peristiwa reformasi justru ia dapatkan dari sang ibu. Ibunya masih ingat betul betapa mencekamnya situasi Jakarta pada Mei 1998 bagi perempuan. Sang ibu yang merupakan keturunan etnis Tionghoa harus meletakkan peralatan ibadah di bagian depan mobilnya setiap kali bepergian. Hal itu dibutuhkan agar ia terlihat sebagai bagian dari mayoritas sehingga tidak menjadi sasaran kekerasan dalam berbagai bentuk.
Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan Tionghoa, kata Alifa, membuat sahabat-sahabat orangtuanya mengalami trauma. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian lari dari Indonesia dan memilih menetap di luar negeri. Bahkan, hingga saat ini mereka belum berani kembali ke Tanah Air.
”Kisah itu memang harus terus diceritakan, pengalaman pahit itu harus diperjuangkan, diusut secara hukum agar tidak menjadi preseden buruk dan tidak berulang ke depan,” kata Alifa.
Alifa, mahasiswa UI, menambahkan, pengetahuan tentang teror yang terjadi pada perempuan di sekitar peristiwa reformasi justru ia dapatkan dari sang ibu.
Anne Damayanti, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, mengatakan, pengalaman korban pemerkosaan Mei 1998 yang diceritakan keluarga dan para aktivis yang terus memperjuangkan keadilan untuk mereka memberikan pelajaran tersendiri bagi dirinya. Dari kisah-kisah kecil itu, ia bisa tahu bahwa demokratisasi yang dinikmati generasi saat ini bukan hanya buah dari gerakan yang masif. Ada pula pengorbanan dari individu-individu yang menjadi korban kekerasan seksual.