Di rezim demi rezim yang berkuasa pada era reformasi jarang kita temui sosok-sosok pelaku politik yang berjiwa kanthong bolong. Yang banyak kita dapatkan adalah politikus kanthong tebal. Hasilnya, rezim uang.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·4 menit baca
Dari banyak tokoh pewayangan yang penuh gebyar dan heboh dalam berkiprah, ada baiknya kita berguru kepada Petruk yang sederhana, jenaka, dan arif. Di tangan Petruk selalu menggantung kantong kecil yang disebut kanthong bolong. Ini bukan sembarang properti, melainkan icon yang mengandung filsafat pengorbanan dalam pengabdian.
Bersama Semar, Gareng, dan Bagong, Petruk menjadi abdi dan penasihat tokoh-tokoh ksatria Pandawa. Mereka disebut panakawan (bukan punokawan) karena memiliki pemahaman atas pengetahuan dan ilmu dan bisa menjadi teman/sahabat untuk mengatasi masalah. Pana artinya paham. Kawan bermakna teman.
Petruk memiliki watak dan jiwa kanthong bolong. Di dalam pengabdiannya, ia tidak punya kepentingan atau ambisi untuk menumpuk-numpuk harta benda. Semua pencapaian/hasil secara material dan non-material yang ia peroleh dialirkan kembali ke masyarakat, demi kemaslahatan kolektif.
Sikap nilai ini selaras dengan kearifan lokal (local wisdom): hamemayu hayuning bawono lan menungsa (menyelamatkan kehidupan dunia dan manusia sekaligus menjadikannya indah). Pada hakikatnya, semua manusia adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan penebusan atas ”surga yang hilang”. Hal itu merujuk kepada hidupnya nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang bermuara kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan bahagia.
Jiwa kanthong bolong bergayut erat dengan laku hidup altruistik, yakni berpikir, berperilaku, dan berkarya berdasarkan nilai solidaritas sosial demi menolong dan menyejahterakan banyak orang.
Di dalam dunia politik nasional Indonesia, baik para era Orde Lama maupun Orde Baru, kita mengenal banyak tokoh pejuang dan pengelola negara yang berjiwa kanthong bolong (altruistik). Terlalu banyak untuk disebutkan. Namun, umumnya mereka sudah menjadi sosok teladan dan legendaris yang memenuhi ruang ingatan kolektif publik. Dengan seluruh dedikasinya, mereka telah melampaui kepribadiannya dan menjelma menjadi negarawan dan begawan. Di sini jiwa teknokrasi, ksatria, dan kebegawanan menyatu dengan integritas, komitmen, dan dedikasi.
Kuda tunggangan
Jujur harus diakui, di dalam rezim demi rezim yang berkuasa pada era reformasi jarang kita temui sosok-sosok pelaku politik yang berjiwa kanthong bolong. Yang banyak kita dapatkan adalah politikus kanthong tebal, yaitu mereka yang menjadikan politik sebagai cara atau alat untuk mempertebal isi kantongnya sendiri.
Mereka berpolitik untuk mendapatkan segala akses ekonomi. Tipis integritas, komitmen, kababilitas, dan dedikasi. Ideologi nyaris tak berdetak dalam praksis politik, kecuali dalam ritus-ritus sosial yang sarat pidato. Tak sedikit pelaku politik bergerak atas kepentingan menjaga arus kas bagi hidupnya agar tetap survive.
Apa yang mereka hasilkan? Bukan tata kelola kekuasaan negara berbasis budaya demokrasi yang egaliter, melainkan: rezim uang. Uanglah yang menjadi titik sentral kepentingan, di mana semua urusan bisa dinegosiasikan dalam ritus-ritus politik transaksional.
Uanglah yang menjadi titik sentral kepentingan, di mana semua urusan bisa dinegosiasikan dalam ritus-ritus politik transaksional.
Menguatnya rezim uang sangat membahayakan peradaban bangsa. Dramawan Yunani, Sophocles (497/496/495 SM-406/205 SM) telah mengingatkan: uang adalah hasil kebudayaan yang paling buruk, karena kekuatan uang bisa mendorong kekuasaan untuk melakukan penyimpangan.
Disorientasi para pelaku politik pun sering tidak lepas dari pemahaman atas politik. Politik sering dimaknai sebagai cara untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Pemaknaan yang super dangkal itu telah menjebak banyak pelaku politik menjadi pemburu kekuasaan. Mereka tak segan menanggalkan jiwa humanismenya atau mendegradasikan diri secara etik dan moral demi meraih kepentingan.
Politik menjadi kuda tunggangan yang terus dihela untuk mencapai dan menguasai singgasana. Namun, sering pula para pemburu kekuasaan itu keliru menyangka kuda, padahal yang ia kendarai adalah macan galak yang akhirnya mengerkah dirinya. Tragis.
Beda dengan pemahaman yang dangkal atas politik, tokoh pejuang humanis Mahatma Gandhi menyebut politik itu suci/sakral karena di dalamnya ada kewajiban-kewajiban etis dan moral yang harus diwujudkan untuk menyelamatkan umat manusia/bangsa dan membangun peradaban.
Politik dalam konteks cara berpikir dan berperilaku berbasis etika dan moral kurang disukai banyak pelaku politik. Alasannya ribet, bertele-tele, terlalu idealistik, dan tidak produktif. Karena itu, mereka lebih memilih cara-cara pragmatis untuk mendapatkan hasil. Ini dilakukan demi kejar setoran atau mengakumulasi kekayaan.
Politik berwatak kanthong bolong bisa jadi praksis sekaligus budaya tanding atas politik kanthong tebal jika para pelaku politik memiliki kesadaran etis dan cita-cita besar membangun peradaban bangsa. Namun, ini tidak mudah karena dibutuhkan laku asketis atau menahan diri atas semua godaan kekuasaan. Jika hal itu bisa dilakukan, maka korupsi politik, jabatan, dan uang bisa ditekan. Keadilan dan kesejahteraan publik bisa lebih berpeluang untuk diwujudkan.
Asketisme berpolitik dan politik berjiwa kanthong bolong memang jauh dari gebyar duniawi. Ia adalah jalan sunyi, tetapi mampu mendorong bangsa ini punya masa depan yang lebih berarti, yakni pencapaian martabat bangsa yang sejati. Kuncinya ada pada kesanggupan aktor-aktor politik. Mau dan mampukah mereka menjalani laku politik sebagai laku berdharma dan pengabdian?