Substansi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Belum Penuhi Asas Partisipasi Publik
Guru Besar Hukum Tata Negara Unpad Susi Dwi Harijanti mengkritisi adanya kata ”dapat” dalam beberapa ayat di UU PPP. Dengan adanya kata tersebut, pembentuk UU tak wajib membuka ruang konsultasi publik.
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baru disahkan pada Selasa (24/5/2022) dinilai belum memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna sebagaimana diperintahkan Mahkamah Konstitusi. Di sejumlah ayat masih muncul kerancuan terkait dengan pelibatan masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Susi Dwi Harijanti saat dihubungi di Jakarta, Rabu (25/5/2022), mengatakan, dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) yang menjadi landasan perbaikan UU Cipta Kerja ternyata masih ditemukan permasalahan. Ia melihat ada sejumlah ayat di dalam UU PPP yang menggunakan frasa ”dapat”, khususnya di ayat-ayat yang mengatur pelibatan partisipasi publik.
Misalnya, dalam Pasal 96 Ayat 6 disebutkan, untuk memenuhi hak masyarakat dalam memberikan masukan dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, pembentuk peraturan perundang-undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi, dan kegiatan konsultasi publik lainnya.
Selanjutnya, dalam Pasal 96 Ayat 7 tertulis, hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud dalam Ayat 6 menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan peraturan perundang-undangan. Dalam Ayat 8, pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat.
Baca juga : Pintu Revisi UU Cipta Kerja Terbuka
Susi mengkritisi adanya frasa ”dapat” setidaknya dalam ketiga ayat di UU PPP tersebut. Padahal, jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat, pembentukan peraturan perundang-undangan harus mencakup tiga hak, yakni hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapat penjelasan. Ketiga hak tersebut merupakan hak-hak prosedural untuk mencapai keadilan prosedural.
”Itu seharusnya tidak bisa dengan menggunakan kata ’dapat’. Sebab, kalau pakai kata ’dapat’, itu berarti tidak ada keharusan dari pembentuk undang-undang dan semua dikembalikan pada pilihan, semacam diskresi pembentuk undang-undang, mau membuka ruang konsultasi publik atau tidak, mau menjelaskan atau tidak. Ini bahaya sekali,” ujar Susi.
Susi mengkritisi adanya frasa ”dapat” setidaknya dalam ketiga ayat di UU PPP tersebut.
Menurut Susi, ketiga hak itu wajib dipenuhi oleh negara sehingga tidak bisa sekadar menggunakan frasa ”dapat”. Pembentuk UU harus melihat hal tersebut dalam perspektif pemenuhan hak asasi manusia. Selain itu, ini juga merupakan salah satu bentuk akuntabilitas dari pembentuk undang-undang.
”Jika pembentuk undang-undang masih menggunakan frasa ’dapat’ dan ini berimplikasi pada tidak adanya kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk melaksanakannya, berarti meaningful participation itu tidak sepenuhnya dijalankan oleh pembentuk undang-undang,” tutur Susi.
Baca juga : MK Menyatakan UU Cipta Kerja Cacat Formil
Susi melanjutkan, jika UU PPP yang baru dan penuh kerancuan itu menjadi dasar pembentukan undang-undang, UU yang dibentuk tersebut akan menjadi tidak sah. Ia menegaskan, pembentukan UU bukan semata-mata sah karena dibentuk oleh lembaga yang berwenang, melainkan harus memenuhi prinsip keberterimaan secara rasional oleh masyarakat.
Menurut dia, ada kesalahan paradigma ketika pembentuk undang-undang menyebut masukan masyarakat harus diterima sepenuhnya. Ia menekankan, yang terpenting dalam pembentukan UU adalah hak untuk mendapatkan penjelasan, mengapa saran masyarakat itu dipertimbangkan untuk diterima dan mengapa saran masyarakat itu dipertimbangkan tetapi tidak diterima. Sebab, dalam pembentukan UU, terkadang akan ada ukuran-ukuran yang lebih besar, seperti dalam rangka ketertiban umum, kepentingan nasional, dan prioritas-prioritas yang tidak pernah diketahui publik.
”Nah, itulah yang dijelaskan ke publik, dan penjelasan-penjelasan itu haruslah penjelasan yang secara rasional dapat diterima oleh hukum. Jadi terjustifikasi oleh hukum, tidak asal menolak. Jadi, ada kriteria-kriterianya,” kata Susi.
Baca juga : Skema Perbaikan UU Cipta Kerja Disepakati
Selain ketiadaan asas partisipasi publik bermakna, Susi juga mengkritik Pasal 73 UU PPP. Dalam pasal itu, DPR dan pemerintah menambahkan salah satu ayat yang berbunyi, dalam hal rancangan undang-undang (RUU) telah disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden masih ditemukan kesalahan teknis, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara bersama dengan kementerian yang membahas RUU tersebut melakukan perbaikan dengan melibatkan pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut.
Menurut Susi, adanya ayat tersebut makin memperburuk proses pembentukan UU. Artinya, DPR dan pemerintah akan memaklumi jika masih terdapat kesalahan dalam proses pembentukan UU, bahkan hal itu sampai dinormakan dalam UU PPP yang baru. Selain tidak menunjukkan perspektif pembentukan UU yang demokratis, hal ini juga menunjukkan tidak adanya asas kehati-hatian dalam proses pembentukan UU.
”Pantas saja, pembuatannya menjadi ugal-ugalan karena mereka merasa, toh, nanti bisa diperbaiki. Terus, apa, dong, artinya asas kehati-hatian dalam pembentukan UU kalau segala kesalahan nanti bisa diperbaiki dan parahnya lagi itu dinormakan di UU (PPP)? Kalau di pengadilan, kesalahan tik saja bisa menyebabkan putusan batal. Jadi, tak bisa disepelekan,” tutur Susi.
Semua masukan publik wajib didengarkan, tetapi tidak bisa serta-merta semua pendapat itu diterima begitu saja. (Supratman Andi Agtas)
Merasionalisasi semua pendapat
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengklaim substansi UU PPP sepenuhnya telah memenuhi asas partisipasi publik bermakna seperti yang diperintahkan MK. Dalam UU tersebut, kini DPR lebih membuka ruang partisipasi publik dan mempertimbangkan masukan publik tersebut di dalam setiap pembentukan UU.
Supratman pun menyebut, frasa ”dapat” sudah tepat ditaruh di dalam sejumlah ayat pada Pasal 96. Ia menyadari, semua masukan publik wajib didengarkan. Namun, lanjut Supratman, tidak bisa serta-merta semua pendapat itu diterima begitu saja.
”Kan, enggak mungkin satu pendapat itu bisa sama semua, satu kelompok dengan kelompok lain. Kalau semua harus kami ikuti, kan, enggak mungkin. Enggak bakal jadilah (UU). Justru, karena perbedaan-perbedaan (pendapat) itulah yang membuat kami harus merasionalisasi dari semua pendapat,” kata Supratman.
Ia menyampaikan, tugas parlemen adalah merasionalisasi dari semua pendapat yang berbeda. Hal terpenting, semua pendapat itu harus mengarah pada tiga hal utama, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dan berkesesuaian dengan undang-undang lain. ”Kalau kita berbicara UUD 1945, kan, kita tentu tidak berbeda, tujuan bernegara kita ada di sana,” ucapnya.
Namun, yang jelas, ujar Supratman, UU PPP yang baru ini akan dijadikan landasan dalam perbaikan UU Cipta Kerja sebagaimana perintah MK. Ia berjanji, seluruh proses pembentukan UU Cipta Kerja akan membuka partisipasi publik sebagaimana tertuang dalam UU PPP.
”Sekarang, kan, sudah ada UU-nya. Inilah yang membuat DPR nanti akan lebih berhati-hati menyangkut soal aspek transparansi. Jadi, seperti draf dan naskah akademik, kemudian bagaimana persidangan, harus dibuka, kan semua sudah diatur sekarang,” ucapnya.
Berkaitan dengan kritik Susi terhadap Pasal 73 UU PPP, menurut Supratman, perubahan yang boleh dilakukan hanya sebatas kesalahan tik, bukan kesalahan substansi. Ia memang mengakui, seharusnya kesalahan itu tidak boleh ada ketika RUU sudah disampaikan kepada Presiden. Namun, menurut dia, kadang kala ada aspek manusiawi yang patut dimaklumi sehingga menyebabkan kesalahan tik tersebut.
”Jadi, itu hanya masalah teknis yang diperbaiki, bukan substansi. Enggak boleh mengubah substansi,” katanya.
Hingga kini, Badan Legislasi DPR belum mengetahui kapan perbaikan UU Cipta Kerja mulai dibahas. Sebab, hingga saat ini belum ada keputusan terkait siapa pengusul perbaikan UU tersebut. ”Komunikasi dengan pemerintah sudah, tetapi belum diputuskan. Kami harap secepatnya,” katanya.