Pemerintah Yakini Dasar Hukum Penunjukan TNI Aktif sebagai Penjabat
Pemerintah berkeyakinan penunjukan anggota TNI/Polri aktif menjadi penjabat kepala daerah sudah tepat. Menpan dan RB Tjahjo Kumolo pun menyampaikan, keputusan Mendagri menunjuk penjabat kepala daerah miliki dasar hukum.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menilai penunjukan anggota TNI/Polri aktif menjadi penjabat kepala daerah sudah tepat dan berdasar hukum kuat. Pemerintah beralasan, meskipun penjabat kepala daerah itu TNI/Polri aktif, terdapat pengecualian bagi pejabat dimaksud karena menjabat pada instansi pemerintah yang dapat diduduki oleh TNI/Polri dalam jabatan pimpinan tinggi.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menunjuk Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal (TNI) Andi Chandra As’aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku. Penunjukan TNI aktif ini telah menuai kritik masyarakat sipil karena melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (25/5/2022), mengungkapkan, kepala BIN daerah merupakan pejabat pimpinan tinggi pratama. Penunjukannya sebagai penjabat kepala daerah sesuai dengan Pasal 201 UU Pilkada.
Dalam Pasal 201 Ayat (10) dan Ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah disebutkan bahwa penjabat gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya dan untuk penjabat bupati/wali kota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Pada Pasal 54 Ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2020 tentang Badan Intelijen Negara disebutkan, ”Kepala Biro, Direktur, Inspektur, Kepala Binda, dan Kepala Pusat adalah jabatan pimpinan tinggi pratama atau jabatan struktural eselon II.a”.
Baca juga : Hormati Supremasi Sipil dalam Penunjukan Penjabat Kepala Daerah
Menurut dia, pada Pasal 20 UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebutkan bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri. Pengisian jabatan ini dilaksanakan pada instansi pusat yang diatur dalam UU TNI dan UU Kepolisian dengan tata cara pengisian yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 47 Ayat (2) UU No 34/2004 tentang TNI menyebutkan, ”Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung”.
Meskipun penjabat kepala daerah adalah TNI/Polri aktif, tetapi terdapat pengaturan dan pengecualian bagi pejabat dimaksud karena menjabat pada instansi pemerintah yang dapat diduduki oleh TNI/Polri dalam jabatan pimpinan tinggi (JPT).
”Keputusan yang dibuat Mendagri tidak ada yang salah. Dasar hukumnya kuat dan sudah benar. Meskipun penjabat kepala daerah adalah TNI/Polri aktif, tetapi terdapat pengaturan dan pengecualian bagi pejabat dimaksud karena menjabat pada instansi pemerintah yang dapat diduduki oleh TNI/Polri dalam jabatan pimpinan tinggi (JPT),” kata Tjahjo.
Tjahjo mencontohkan, ketika menjabat Mendagri, ia mengangkat Mayor Jenderal TNI Sudarmo yang sudah menjadi pejabat eselon I di Kemendagri sebagai Penjabat Gubernur Papua dan Aceh. Ia juga pernah mengangkat Komisaris Jenderal Polisi Mochamad Iriawan yang sudah menjabat Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat.
Baca juga : Abaikan MK, Kemendagri Yakini TNI/Polri Bisa Jadi Penjabat Kepala Daerah
Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, penempatan TNI sebagai penjabat kepala daerah sudah dibenarkan oleh UU, peraturan pemerintah, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022. Putusan MK itu menyebutkan bahwa TNI dan Polri tidak boleh bekerja di luar institusi TNI, kecuali 10 institusi kementerian/lembaga.
Hal tersebut, lanjut dia, diperkuat UU No 5/2014 tentang ASN. Khususnya di Pasal 20 disebutkan bahwa anggota TNI dan Polri boleh masuk ke birokrasi sipil asal diberi jabatan struktural yang setara dengan tugasnya. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil juga menyebutkan bahwa TNI/Polri boleh menduduki jabatan sipil tertentu dan diberi jabatan struktural yang setara.
”Sepanjang anggota TNI dan Polri itu sudah diberi jabatan tinggi madya atau pratama boleh menjadi penjabat kepala daerah. Itu sudah Putusan MK No 15 yang banyak dipersoalkan orang itu,” kata Mahfud.
Baca juga : Pemerintah Tetap Tunjuk TNI Aktif Menjadi Penjabat Kepala Daerah
Pertimbangan MK
Meskipun dalam pertimbangannya, seperti tertuang dalam Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022, terkait dengan penunjukkan penjabat kepala daerah, mahkamah merujuk pada Pasal 47 UU No 34/2004 tentang TNI. Pada pokoknya pasal itu mengatur prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. UU tersebut juga mengatur bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, search and rescue (SAR) nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Aturan harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian juga berlaku bagi anggota Polri yang hendak menduduki jabatan di luar kepolisian. Hal ini tertera dalam Pasal 28 Ayat (3) UU No 2/2002 tentang Polri. ”Jabatan di luar kepolisian dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri,” kata hakim konstitusi.
Ketentuan di UU TNI dan UU Polri tersebut sejalan dengan apa yang diatur dalam UU No 5/2014. UU tersebut memang membuka peluang pengisian jabatan pimpinan tinggi dari unsur prajurit TNI dan anggota Polri setelah mundur dari dinas aktif serta memiliki kompetensi yang sesuai dan ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
Penunjukannya sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat bertentangan dengan UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Ihsan Maulana berpendapat, pemilihan penjabat kepala daerah perlu dikaitkan dengan UU Intelijen Negera dan UU Aparatur Sipil Negara serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam UU Intelijen Negara dan Perpres No 90/2012 tentang BIN disebutkan bahwa jabatan-jabatan di BIN bukanlah jabatan ASN.
Oleh karena itu, lanjut Ihsan, pihaknya terus mendesak Kemendagri untuk membatalkan penunjukan Andi Chandra sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Selain bukan pejabat JPT Pratama, imbuhnya, Andi Chandra juga masih menjadi prajurit TNI aktif. Penunjukannya sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat bertentangan dengan UU No 34/2004 tentang TNI. UU tersebut menentukan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif. Hal ini demi membangun institusi TNI yang profesional, tidak terikat pada kepentingan politik, dan penghormatan atas supremasi sipil.
Menurut Ihsan, aturan yang digunakan pemerintah dalam penunjukan Andi Chandra sebagai penjabat kepala daerah adalah aturan sebelum terbitnya putusan MK terkait . ”Itu yang membuat publik risau, maka digugat ke MK. Seharusnya memang pasca-putusan MK, pemerintah tidak mengulangi hal yang sudah jelas ada di Putusan MK,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Ihsan, supaya jelas dan tidak menimbulkan perdebatan, dirinya mendorong pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana tentang pengangkatan penjabat kepala daerah. Hingga saat ini, pemerintah tak kunjung menerbitkan peraturan tersebut, meskipun telah diperintahkan MK.