RUU PPP Sudah Disahkan, Revisi UU Cipta Kerja Langkah Selanjutnya
Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (24/5/2022). Delapan fraksi di DPR menyatakan menerima dan satu fraksi menolaknya.
Oleh
RINI KUSTIASIH, IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat menunggu turunnya surat presiden sebagai jawaban atas usulan DPR dalam revisi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat setelah revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disahkan dalam rapat paripurna, Selasa (24/5/2022).
Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) itu disahkan dalam rapat paripurna, Selasa, di Jakarta, dengan dukungan dari delapan fraksi. Satu fraksi, yakni Partai Keadilan Sejahtera, menolak pengesahan RUU itu dan menghendaki agar dilakukan pendalaman terhadap rancangan legislasi tersebut. Namun, karena mayoritas fraksi menyetujui pengesahan RUU tersebut, Ketua DPR Puan Maharani mengetuk palu persetujuan.
Dalam keterangannya setelah rapat paripurna, Puan mengatakan, DPR kini menunggu surpres untuk menindaklanjuti mekanisme pembentukan regulasi di DPR. Sesuai ketentuan, surpres berisi nama-nama menteri yang ditunjuk presiden untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan legislasi. Pengiriman surpres juga biasanya dibarengi dengan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah.
Revisi UU Cipta Kerja direncanakan menjadi RUU inisiatif DPR sehingga untuk dapat meneruskan pembahasannya menunggu surpres dari pemerintah. ”Kita akan tunggu surpres dari Presiden, kemudian sesuai dengan mekanisme di DPR akan kita teruskan sesuai dengan mekanismenya,” ucap Puan.
Puan mengatakan, UU Cipta Kerja memang harus direvisi kembali di DPR. Perbaikan itu tidak hanya menyangkut metode pembentukannya yang menggunakan omnibus law, tetapi bagaimana agar UU tersebut dapat diimplementasikan di lapangan serta bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara.
DPR mengesahkan revisi UU PPP dalam rapat paripurna ke-23 pada Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Ini menjadi revisi kedua dari UU No 12/2011. Hadir mewakili pemerintah adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Ad Interim yang juga Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Menjawab pertanyaan wartawan mengenai tindak lanjut atas revisi UU Cipta Kerja setelah revisi UU PPP disahkan DPR, Sri Mulyani mengatakan ia harus berkoordinasi dulu dengan menteri yang lain. ”Nanti kita koordinasi dengan menteri-menteri yang lain,” ucapnya.
Dalam keterangan saat rapat paripurna, pemerintah menilai perubahan kedua terhadap UU PPP merupakan tindak lanjut dari DPR dan pemerintah terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan tersebut memerintahkan pembentuk UU agar memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun.
Pembentukan UU dengan metode omnibus law memiliki landasan hukum lantaran memenuhi mekanisme atau cara yang pasti dan baku, standar, sebagaimana diperintahkan oleh MK. (Sri Mulyani).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK memerintahkan pembentuk UU agar segera membentuk landasan hukum yang baku untuk jadi pedoman dalam pembentukan UU dengan menggunakan metode omnibus law, yang mempunyai sifat kekhususan.
Dengan revisi UU PPP, menurut Sri Mulyani, pembentukan UU dengan metode omnibus law memiliki landasan hukum lantaran memenuhi mekanisme atau cara yang pasti dan baku, standar, sebagaimana diperintahkan oleh MK.
Pemerintah juga menggarisbawahi ketentuan mengenai partisipasi bermakna (meaningful participation) yang diatur dalam revisi UU PPP. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus mampu merumuskan esensi dari meaningful participation, yakni meliputi hak publik untuk didengar pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Belum ideal
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi, menilai, secara teknis pembentukan UU, pengesahan revisi UU PPP itu bisa menjawab putusan MK. Namun, untuk benar-benar memperbaiki substansi UU Cipta Kerja, UU tersebut harus dibahas ulang sesuai dengan mekanisme yang diatur di UU PPP yang baru disahkan.
Kendati demikian, substansi revisi UU PPP ini juga belum sepenuhnya mengikuti pertimbangan hukum yang dikemukakan MK dalam putusannya. Revisi UU PPP itu juga tidak dapat berdiri sendiri karena harus diikuti dengan revisi UU Cipta Kerja untuk benar-benar mengikuti putusan MK.
”Yang diperintahkan oleh MK untuk diperbaiki ialah UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, UU tersebut harus direvisi dan dibahas ulang karena partisipasinya minim. Poin utamanya ialah pada meaningful participation,” kata Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Dalam revisi UU PPP, ketentuan mengenai partisipasi bermakna itu dinilai belum sepenuhnya mengikuti putusan MK. Di dalam Pasal 96 UU PPP memang diatur mengenai masukan masyarakat. Namun, di Pasal 96 Ayat (3) ada pembatasan mengenai masyarakat yang dapat memberikan masukan.
Yang diperintahkan oleh MK untuk diperbaiki ialah UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, UU tersebut harus direvisi dan dibahas ulang karena partisipasinya minim. Poin utamanya ialah pada meaningful participation. (Fajri Nursyamsi)
Pasal itu berbunyi, ”Masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.”
Menurut Fajri, pemberian masukan publik seharusnya tidak dibatasi pada hanya kelompok tertentu yang terdampak. Sebab, suatu UU mengikat seluruh warga, tidak hanya orang dan kelompok tertentu yang terkait langsung dengan substansi UU tersebut. ”Sepanjang masukan itu relevan, seharusnya masukan dari publik tidak dibatasi,” ujarnya.
Selain itu, menurut Fajri, norma di UU PPP masih cenderung mengutamakan aspek mendengarkan masukan, tetapi hak untuk dipertimbangkan pendapatnya ataupun hak untuk mendapatkan penjelasan belum cukup diatur tegas dalam Pasal 96.
Demikian pula halnya dengan pengaturan metode omnibus law, lanjut Fajri, masih menyisakan kebingungan teknis karena menumpuk perubahan pasal-pasal dalam berbagai UU yang berbeda akan menimbulkan tantangan dalam harmonisasi UU.
Wakil Ketua Badan Legislasi M Nurdin mengatakan, ada 19 angka perubahan dalam revisi UU PPP jika dibandingkan dengan UU sebelumnya. Selain mengatur metode omnibus law dan partisipasi publik, revisi UU itu juga mengatur mekanisme perbaikan teknis penulisan RUU setelah disetujui bersama di rapat paripurna, baik sebelum maupun sesudah diserahkan kepada presiden.
Namun, Fajri mengatakan, mekanisme ini rentan membuka potensi penyelundupan pasal dan ketentuan sehingga sebaiknya mekanismenya dilakukan secara terbuka.
Revisi: Dalam naskah awal disebutkan: "Revisi UU Cipta Kerja menjadi RUU inisiatif DPR sehingga untuk dapat meneruskan pembahasannya menunggu surpres dari pemerintah." Namun, hal itu masih rencana DPR karena belum ada rapat paripurna DPR yang mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi RUU inisiatif DPR.