Revisi UU PPP Bukan ”Jalan Tol” untuk Legitimasi Omnibus Law
DPR menargetkan pembahasan revisi kedua Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan atau PPP rampung 14 April. Karena itu, pembahasan RUU PPP terus dikebut.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat diminta tidak terburu-buru dalam membahas perubahan kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Revisi itu semestinya dijadikan momentum untuk memperbaiki regulasi, tidak hanya untuk melegitimasi penggunaan metode omnibus dan menjustifikasi preseden negatif dalam proses pembentukan perundang-undangan.
Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menargetkan penyelesaian revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sebelum Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 berakhir, 14 April 2022. Untuk itu, DPR dan pemerintah sepakat untuk menggelar rapat secara maraton pada Sabtu (9/4/2022) hingga Minggu (10/4/2022).
Baleg memperkirakan ada sekitar 80 poin dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diajukan oleh pemerintah yang akan dibahas dalam rapat panitia kerja (panja). Sebab, dari 362 poin DIM yang diajukan oleh pemerintah, sebanyak 210 poin DIM merupakan DIM tetap yang disetujui oleh pemerintah sehingga tinggal ditetapkan. Selain itu, 24 poin DIM berisikan perubahan substansi, 17 DIM substansi baru, 47 DIM diusulkan untuk dihapus, dan 64 DIM perubahan redaksional.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Alviani Sabilah, menilai, pembahasan RUU PPP tersebut mengulang pembahasan undang-undang sebelumnya, yakni dilakukan dengan terburu-buru. Sementara hingga saat ini draf RUU PPP belum disebarkan secara resmi untuk mendapatkan masukan dari publik.
Oleh karena itu, PSHK melihat revisi UU PPP hanya dilakukan untuk melegitimasi penggunaan metode omnibus law yang sebelumnya digunakan untuk menyusun UU Cipta Kerja. ”RUU perubahan kedua UU No 12/2011 ini terlihat sebagai jalan tol untuk melegitimasi metode omnibus dalam praktik legislasi di Indonesia. Seharusnya metode omnibus dievaluasi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020,” kata Alviani sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis.
PSHK menilai, materi perubahan RUU PPP tersebut sangat minim, tidak mendasar dan menyeluruh. Alih-alih melakukan reformasi regulasi, RUU PPP seolah hanya ingin memberikan ”karpet merah” bagi praktik omnibus dan sebagai justifikasi preseden negatif dalam teknis pembentukan undang-undang.
RUU perubahan kedua UU No 12/2011 ini terlihat sebagai jalan tol untuk melegitimasi metode omnibus dalam praktik legislasi di Indonesia. Seharusnya metode omnibus dievaluasi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Oleh karena itu, PSHK mendesak DPR dan pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan dengan pembahasan yang terburu-buru, tidak transparan, dan menghasilkan rumusan yang parsial dalam perbaikan sistem perundang-undangan. DPR dan pemerintah diminta menjadikan pembahasan RUU PPP sebagai momentum untuk mewujudkan agenda reformasi dan janji Presiden untuk memperbaiki regulasi di Indonesia.
Secara terpisah, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas, ketika dihubungi Sabtu, mengatakan, Baleg mengadakan rapat untuk membahas revisi UU PPP. Namun, rapat tak bisa dilanjutkan karena belum ada kesepahaman antara DPR dan pemerintah mengenai pergeseran kewenangan terkait pengundangan. Selain itu, juga pasal mengenai wakil pemerintah dalam melakukan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) juga belum disepakati.
”Sebenarnya sudah 95 persen. Tinggal dua hal itu yang pemerintahan masih berharap ada pergeseran dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ke Sekretariat Negara dalam hal pengundangan. Tapi, sebagian besar fraksi masih menginginkan agar tidak dilakukan pergeseran,” tutur politikus Partai Gerindra ini.
Dengan penundaan tersebut, rapat pembahasan revisi UU PPP akan dilanjutkan pada Senin. Supratman berharap pada kesempatan itu kesepahaman antara DPR dan pemerintah dapat dicapai sehingga pembahasan tuntas sebelum sebelum masa persidangan berakhir pada 14 April 2022.
Terkait dengan desakan masyarakat sipil agar DPR dan pemerintah tidak terburu-buru membahas revisi UU PPP, menurut Supratman, persoalan terburu-buru atau tidak bergantung pada substansi yang direvisi. Dalam hal ini, revisi dilakukan terkait penataan regulasi agar terjadi keseragaman dalam proses pembentukan perundang-undangan yang akan mengikat baik DPR dan pemerintah.
Hal lain yang diperbaiki adalah mengenai posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), khususnya hak DPD untuk mengajukan rancangan undang-undang. Dari hal-hal itu, Supratman menilai bahwa revisi tersebut tidak secara fundamental mengubah UU PPP.