Gubernur Beberapa Provinsi Menunda Pelantikan Penjabat Wali Kota/Bupati
Tak sesuai dengan yang diusulkan, gubernur di beberapa provinsi menunda pelantikan penjabat wali kota/bupati. Mereka mempertanyakan sikap Kemendagri.
JAKARTA, KOMPAS
—
Kementerian Dalam Negeri, lewat surat keputusan Menteri Dalam Negeri, telah menunjuk 43 penjabat kepala daerah untuk menggantikan wali kota/bupati yang berakhir masa jabatannya pada Minggu (22/5/2022). Namun, masalahnya, tidak semua pemerintah provinsi bersedia melantik penjabat kepala daerah di tingkat kota dan kabupaten itu.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, salah satunya, memilih menunda pelantikan karena dua dari tiga penjabat bupati yang ditunjuk tak sesuai dengan usulan yang diajukan. Pemprov Maluku Utara juga belum dapat memastikan pelantikan karena penjabat yang ditunjuk tak sesuai dengan yang diusulkan.
Gubernur Sultra Ali Mazi, di Baubau, Sultra, Minggu, menyampaikan, hanya penunjukan Penjabat Bupati Buton Tengah yang sesuai usulannya, yakni Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sultra M Yusuf. Adapun penjabat bupati di Muna Barat dan Buton Selatan yang ditunjuk Kemendagri tak sesuai usulannya, masing-masing adalah Direktur Perencanaan Keuangan Daerah Kemendagri Bahri dan Sekretaris Daerah Buton Selatan La Ode Budiman.
Ali mengatakan akan meminta penjelasan Kemendagri terkait penunjukan penjabat itu. Pelantikan ketiga penjabat bupati itu pun akan ditunda. Selama ini, lanjutnya, proses yang sama telah dilalui, tetapi tidak pernah memiliki hasil yang berbeda. ”Kami mau tahu dasar hukumnya (penunjukan itu) apa. Apalagi, sebelumnya, kami diminta Kemendagri mengirim nama (penjabat yang diusulkan),” katanya.
Ali mengaku dihubungi pula oleh sejumlah pemprov guna mendiskusikan seputar penjabat yang ditunjuk Kemendagri tak sesuai dengan usulan pemprov. ”Beberapa daerah menelepon saya terkait hal ini. Dari Sumatera Selatan, Maluku Utara, dan Riau juga sama kondisinya,” ucapnya.
Sementara itu, Pemprov Maluku Utara belum bisa memastikan pelantikan Penjabat Bupati Morotai. Sebelumnya, Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba menyatakan menolak melantik jika penjabat yang ditunjuk tak sesuai usulan tiga nama yang ia ajukan. ”Besok (Senin, 23/5/2022) akan ada pernyataan pers terkait itu,” ujar Kepala Biro Humas Maluku Utara Rahwan K Suamba.
Adapun 43 penjabat kepala daerah yang ditunjuk kali ini terdiri dari 37 penjabat bupati dan enam penjabat wali kota. Sebelumnya, pada 12 Mei, lima penjabat gubernur dilantik Mendagri Tito Karnavian untuk menggantikan gubernur di lima provinsi yang masa jabatannya telah berakhir. Hingga 2023, total ada 271 kepala dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya. Penjabat akan memimpin daerah hingga pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024 tuntas digelar.
Baca juga : Pemprov Sultra Tak Akan Lantik Dua Penjabat Bupati
Meskipun diwarnai penundaan pelantikan, pada Minggu, gubernur di beberapa provinsi melantik penjabat bupati/wali kota di wilayahnya sesuai SK Mendagri. Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey melantik Kepala Dinas Sosial Sulut Rinny Tamuntuan sebagai Penjabat Bupati Kepulauan Sangihe dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulut Limi Mokodompit sebagai Penjabat Bupati Bolaang Mongondow.
Olly mengatakan, tidak ada konflik dengan Kemendagri dalam proses penunjukan kedua penjabat. ”Kami kirim tiga nama (untuk tiap daerah), yang memilih Kemendagri,” ujarnya singkat.
Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor B Laiskodat melantik Kepala Biro Pemerintahan Setda NTT Doris Alexander Rihi sebagai Penjabat Bupati Flores Timur dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu NTT sebagai Penjabat Bupati Lembata. Penunjukan kedua penjabat itu sesuai dengan usulan yang diajukan Viktor.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X juga melantik Asisten Sekretaris Daerah DIY Bidang Pemerintahan dan Administrasi Umum Sumadi sebagai Penjabat Wali Kota Yogyakarta dan Asisten Sekda DIY Bidang Perekonomian dan Pembangunan Tri Saktiyana sebagai Penjabat Bupati Kulon Progo.
Meskipun diwarnai penundaan pelantikan, pada Minggu, gubernur di beberapa provinsi melantik penjabat bupati/wali kota di wilayahnya sesuai SK Mendagri.
Baca juga : SK Pengangkatan Penjabat Wali Kota/Bupati Terbit, 43 Penjabat Siap Dilantik
Bangun komunikasi
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan mengakui, terdapat beberapa penjabat yang belum bisa dilantik hari ini. Salah satunya di Provinsi Maluku. Ketidaksesuaian pelantikan dengan jadwal ini diklaim terkait dengan kendala teknis yang menyangkut persiapan acara. ”Ini terkait dengan kesiapan pejabat yang akan dilantik. Mungkin pakaian, baju putihnya belum dijahit. Ada juga yang bertugas dari satu daerah ke daerah lain,” ujarnya.
Selain kendala teknis, lanjut Benni, belum ada informasi persoalan lain yang menyebabkan pelantikan penjabat tidak bisa dilakukan. Termasuk soal penolakan dari sejumlah daerah yang tidak menyetujui sosok penjabat bupati/wali kota yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Penolakan terjadi karena nama penjabat yang ditunjuk tidak sesuai dengan yang diusulkan para gubernur. ”Kami belum mendapatkan kepastian daerah mana yang belum melakukan pelantikan karena alasannya tidak sesuai dengan yang mereka (gubernur) usulkan,” katanya.
Terkait dengan penolakan yang muncul dari daerah, tambah Benni, Kemendagri terus membangun komunikasi intensif dengan pemerintah daerah (pemda). Pihak-pihak yang membutuhkan klarifikasi atau memiliki pertanyaan seputar penjabat yang ditunjuk pemerintah pusat diminta untuk menyampaikannya. Hal tersebut bisa dijelaskan dan didiskusikan sehingga mencapai kesepahaman bersama.
Benni pun menekankan, penjabat kepala daerah bersifat penugasan dari pemerintah pusat kepada pejabat yang dinilai memenuhi persyaratan. Mereka sudah diseleksi melalui proses panjang dan hati-hati. Meski usulan gubernur menjadi bagian dari proses tersebut, sifatnya tetap usulan yang menjadi bahan pertimbangan, bukan penentu nama penjabat.
”Usulan yang disampaikan itu dibahas secara bersama-sama dalam sidang tim penilai akhir sehingga betul-betul akhirnya mendapatkan penjabat yang tepat untuk satu daerah. Tolong digarisbawahi, yang tepat untuk sebuah daerah,” kata Benni.
Baca juga : Kemendagri: Usulan Gubernur Terkait Penjabat Bupati/Wali Kota Tak Mutlak Diakomodasi
Tak hanya belum tuntasnya pelantikan, pelantikan fase kedua juga disertai permasalahan administrasi. Hingga Sabtu siang, dari 21 provinsi yang akan melantik penjabat kepala daerah, terdapat dua provinsi yang belum mengambil surat keputusan (SK) Mendagri mengenai penunjukan penjabat.
Benni mengatakan, dua provinsi yang dimaksud adalah Papua dan Maluku Utara. Berdasarkan data pada Minggu, Papua sudah mengambil SK tersebut. Namun, ia tidak bisa memastikan apakah Maluku Utara sudah mengambil SK yang dimaksud.
Menurut dia, sejumlah permasalahan itu bisa diselesaikan. Merujuk ketentuan dan pengarahan yang telah disampaikan kepada setiap pemerintah provinsi saat mengambil SK, mereka memiliki waktu pelantikan hingga 24 Mei mendatang. Ia pun menjamin, hingga 24 Mei, tidak ada kekosongan pemerintahan di daerah.
”Pada 24 Mei nanti akan kami evaluasi, jika memang ada provinsi yang belum melakukan pelantikan, tentu pemerintah pusat akan mengambil langkah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk memastikan tidak ada kekosongan pimpinan di daerah, memastikan proses pemerintahan dan pembangunan tetap berjalan,” ujarnya.
Perbaiki kebijakan
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menilai, resistansi daerah merupakan akibat dari sikap pemerintah yang mengabaikan salah satu pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penjabat kepala daerah. Pada April lalu, MK, melalui putusannya, telah meminta pemerintah untuk menerbitkan aturan teknis mengenai pengisian penjabat kepala daerah. Aturan teknis yang dimaksud diharapkan mencakup unsur transparansi dan akuntabilitas dalam pengisian penjabat kepala daerah.
Alih-alih membuat aturan teknis itu, pemerintah justru menerapkan pola lama dengan mekanisme tertutup. Gubernur diminta mengajukan tiga nama yang tidak diumumkan kepada publik, juga tidak diketahui cara penentuannya. Kemudian tiga nama itu diajukan kepada pemerintah, lalu pemerintah boleh menunjuk siapa pun, termasuk yang tidak ada dalam usulan. ”Aturan lama itu mengabaikan prinsip demokrasi, padahal kita perlu mengembangkan demokrasi di tingkat lokal,” kata Djohermansyah.
Jika memang ada provinsi yang belum melakukan pelantikan, tentu pemerintah pusat akan mengambil langkah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk memastikan tidak ada kekosongan pimpinan di daerah, memastikan proses pemerintahan dan pembangunan tetap berjalan.
Baca juga : MK PerintahkanPemerintah Buat Peraturan Terkait Pengisian Penjabat Kepala Daerah
Menurut dia, pemerintah harus segera memperbaiki kebijakan penentuan penjabat kepala daerah, dimulai dengan membuat aturan teknis yang demokratis sesuai putusan MK. Selanjutnya, mekanisme pemilihan penjabat sebaiknya memperhatikan demokrasi lokal yang memberi bagian bagi masyarakat setempat untuk berpartisipasi. Caranya, gubernur menyeleksi tiga nama kandidat melalui pembentukan panitia seleksi independen. Tiga nama yang didapatkan kemudian dikonsultasikan kepada pimpinan DPRD dan diumumkan kepada publik untuk mendapatkan masukan. Setelahnya, nama-nama itu baru diberikan kepada pemerintah dan pemerintah harus memilih satu di antara tiga nama yang sudah diseleksi bersama publik, bukan nama lain.
Jika model penentuan penjabat kepala daerah tidak diubah, kata Djohermansyah, kontroversi yang sama akan terus berulang pada fase-fase pelantikan berikutnya. Hal ini berpotensi memunculkan konflik yang mengganggu kerja pemerintah daerah, relasi pusat-daerah, bahkan relasi presiden dengan MK, karena putusan MK diabaikan. ”Jangan lanjutkan pengangkatan dengan pola lama yang menimbulkan kontroversi, ketegangan relasi pusat dan daerah, seperti ini,” katanya. (HRS/OKA/REK/DEA)