Kemendagri: Usulan Gubernur Terkait Penjabat Bupati/Wali Kota Tak Mutlak Diakomodasi
Kabar tak diakomodasinya usulan gubernur terkait penjabat bupati/wali kota menuai penolakan pelantikan penjabat oleh gubernur. Kementerian Dalam Negeri menegaskan, usulan gubernur sebatas bahan pertimbangan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, RINI KUSTIASIH, FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menjelang pelantikan 43 penjabat bupati dan wali kota pada Minggu (22/5/2022), sinyal penolakan muncul dari daerah, terutama setelah beredar kabar usulan dari gubernur terkait penjabat tak diakomodasi pemerintah pusat. Kementerian Dalam Negeri telah mencoba menjelaskan pertimbangan dalam penunjukan penjabat. Usulan nama untuk posisi penjabat yang diajukan gubernur ditegaskan sebatas bahan pertimbangan, tak mutlak diakomodasi.
Sebanyak 37 penjabat bupati dan 6 penjabat wali kota akan dilantik untuk menjadi pengganti bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota yang berakhir masa jabatannya pada 22 Mei ini. Untuk posisi penjabat ini, gubernur mengajukan usulan tiga nama aparatur sipil negara yang tengah menjabat posisi pimpinan tinggi pratama kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Maluku Utara Rahwan K Suamba saat dihubungi, Jumat (20/5), mengatakan, Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba telah mengusulkan tiga nama untuk menjadi Penjabat Bupati Pulau Morotai. Tiga nama itu berasal dari pejabat pimpinan tinggi pratama di lingkup Pemprov Maluku Utara yang dinilai memenuhi standar formil dan mampu untuk memimpin daerah. Mereka adalah Syamsudin Banyo, Ahmad Purbaya, dan Syukur Lila.
Namun, kemudian beredar informasi bahwa penjabat pilihan Menteri Dalam Negeri di luar tiga nama yang diusulkan. Jika hal itu benar terjadi, Mendagri dinilai tak menghargai prosedur yang sudah dilewati Pemprov Maluku Utara dalam pengajuan calon penjabat bupati. Dengan demikian, Pemprov Maluku Utara akan menolak penjabat pilihan Mendagri. Gubernur juga disebutnya tidak akan melantik penjabat itu. ”Jadi kalau dari tiga nama itu lalu ditetapkan orang lain, itu dasarnya dari mana?” ujarnya.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan mengatakan, selain Maluku Utara, muncul pula penolakan dari Sulawesi Tenggara. Pihak pemprov di kedua wilayah itu pun telah dipanggil Kemendagri untuk menjelaskan alasan penolakan, apalagi sampai gubernurnya dikabarkan tak mau melantik penjabat bupati/wali kota di daerahnya. Selain itu, dijelaskan pula soal aturan dan pertimbangan pemerintah pusat dalam memutuskan pengisi posisi penjabat kepala daerah.
Selain kepada Pemprov Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara, Kemendagri juga mengintensifkan komunikasi dengan gubernur lain yang di daerahnya ada wali kota/bupati yang berakhir masa jabatannya. Ini agar gubernur bisa menerima keputusan yang diambil pemerintah pusat terkait pengisian penjabat.
Benni berharap, para gubernur memahami aturan yang ada bahwa setiap usulan gubernur tidak mutlak diakomodasi, tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan. Usulan yang disampaikan itu masih harus dikaji Kemendagri, kemudian diputuskan oleh tim penilai akhir (TPA) yang dibentuk Presiden.
Tim itu, antara lain, terdiri dari Kemendagri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Sekretariat Negara, Badan Kepegawaian Negara, serta Badan Intelijen Negara. Tim itu yang bekerja menentukan siapa dan bagaimana rekam jejak setiap calon penjabat sebelum akhirnya diputuskan.
”Kami tentu menghormati gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, dengan harapan mereka yang mengetahui kondisi setiap daerah. Tetapi, keputusan itu sebenarnya ada di tangan Presiden melalui sidang TPA. Jadi, tidak ada maunya Pak Mendagri. Mendagri tidak menetapkan karena ada tim penilai akhir,” jelas Benni.
Selain itu, penunjukan penjabat ini bersifat penugasan. Karena itu, jika gubernur khawatir penjabat yang dipilih tak mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan hal tersebut memang terbukti saat penjabat itu telah menjabat, mereka bisa dicopot kapan pun. Evaluasi oleh Kemendagri dilakukan setiap tiga bulan. Gubernur bisa turut memberikan evaluasi.
Untuk itu, Kemendagri menyayangkan jika ada gubernur yang tak ingin melantik penjabat bupati/wali kota. Kalaupun nantinya gubernur tetap tidak mau melantik, Mendagri akan mengambil alih pelantikan. Langkah ini bisa ditempuh agar jalannya pemerintahan di daerah tidak terganggu.
Perlu penjelasan
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Junimart Girsang menekankan pentingnya Kemendagri menjelaskan proses dan alasan pemilihan penjabat bupati/wali kota kepada para gubernur. Dengan komunikasi yang intens, gubernur diyakini bisa menerima keputusan dari pemerintah pusat.
Adapun anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Agung Widyantoro, menekankan pentingnya pemerintah menerbitkan aturan teknis penunjukan penjabat yang salah satunya membuka ruang pengawasan dari pihak di luar pemerintah. Dengan begitu, bisa meminimalkan kecurigaan yang timbul dari penunjukan penjabat oleh pemerintah pusat.
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengingatkan, salah satu pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait penjabat kepala daerah, akhir April lalu, telah meminta pemerintah menerbitkan aturan teknis itu.
Akibat dari sikap pemerintah yang mengabaikan pertimbangan MK tersebut, resistensi dari daerah sangat mungkin muncul. Implikasinya bisa mengganggu kerja penjabat hingga penyelenggaraan Pemilu 2024. ”Efeknya sangat luas, tak hanya gubernur tidak mau melantik, tetapi tugas penyelenggaraan pemerintahan dan dukungan fasilitasi Pemilu 2024 juga akan berantakan,” jelas Djohermansyah.