MRP Minta Pemerintah dan DPR Tak Tergesa Bahas Pemekaran Papua
Pembentuk undang-undang perlu mempertajam naskah akademis RUU pembentukan tiga provinsi baru di Papua. Hal itu penting untuk mencegah munculnya konflik baru akibat kebijakan pemekaran di Papua.
JAYAPURA, KOMPAS — Majelis Rakyat Papua menilai surat presiden terkait persetujuan pembahasan tiga rancangan undang-undang daerah otonom baru di Papua, sebagai keputusan yang terburu-buru dan tidak menghargai masyarakat Papua. Pemerintah pusat diharapkan menunggu putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua terlebih dahulu sebelum menyetujui pembahasan.
Surat presiden terkait dengan persetujuan pembahasan tiga rancangan undang-undang (RUU) daerah otonom baru (DOB) di Papua sudah ditandatangani Presiden dan diterima pimpinan DPR pada 12 April 2022. Ketiga RUU yang merupakan inisiatif DPR itu adalah RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Papua Tengah, dan RUU Pegunungan Tengah sebagai RUU inisiatif. Untuk membahasnya, Komisi II DPR telah membentuk panitia kerja (panja).
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib saat dihubungi, Rabu (18/5/2022), mengatakan, surat presiden (surpres) terkait persetujuan pembahasan tiga RUU DOB Papua mengesankan pemerintah memang ingin meloloskan kebijakan tersebut. Ia menduga, ada kepentingan tertentu untuk mempercepat pembentukan tiga provinsi baru di Papua.
Menurut Timotius, seharusnya pemerintah pusat dan DPR menunggu hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait upaya peninjauan kembali (judicial review) UU Otonomi Khusus Papua yang diajukan oleh MRP. Salah satu poin revisi yang digugat MRP adalah Pasal 76 Ayat 2 terkait kewenangan pemerintah pusat untuk dapat memekarkan daerah Papua dengan tujuan mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat.
”Seharusnya, pemerintah dan DPR menghargai masyarakat Papua. Kami sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum melalui judicial review di MK,” ujar Timotius.
Baca juga: Sidang Uji Materi UU Otsus Papua Masuki Babak Akhir
Ia pun menegaskan, MRP tetap legowo dan menerima putusan MK apabila tidak mengabulkan permohonan peninjauan kembali UU Otsus Papua. ”MRP akan menghormati putusan MK. Kami berharap, pemerintah jangan tergesa-gesa dalam menentukan kebijakan untuk masyarakat Papua,” tuturnya.
Pembahasan tiga RUU DOB baru di Papua itu dikhawatirwan menimbulkan dampak sosial di akar rumput. Lebih dari itu juga berpotensi memperburuk kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Seharusnya, pemerintah dan DPR menghargai masyarakat Papua. Kami sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum melalui judicial review di MK.
”MRP khawatir, bila aspirasi dan harapan ini tidak didengar oleh pengambil kebijakan, maka benturan sosial di tingkat bawah dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara akan terus meningkat,” ujar Timotius.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Dogiyai Simon Petrus Pekei dalam pertemuan dengan pihak DPR Papua pada Selasa kemarin menyatakan, masyarakat menolak pembentukan DOB. Masyarakat di Dogiyai pun telah berunjuk rasa untuk menolak DOB sebanyak enam kali.
”Kami memperjuangkan aspirasi masyarakat Dogiyai yang menolak pemekaran wilayah di Papua. Kami meminta pemerintah agar lebih mendengarkan suara masyarakat,” ujar Simon.
Mendengar aspirasi
Aspirasi masyarakat yang disampaikan Timotius dan Simon rupanya berbeda dengan yang ditangkap anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Komarudin Watubun. Anggota DPR daerah pemilihan Papua ini mengklaim, mayoritas masyarakat Papua setuju dengan pemekaran Papua.
”Selama masa reses, saya berkeliling bertemu bupati-bupati, ketua panitia pemekaran dan tokoh adat dan tokoh masyarakat, banyak dari mereka setuju kokdengan pemekaran ini,” kata Komarudin.
Jika ada penolakan dalam pembahasan tiga RUU DOB Papua ini, menurut Komarudin, hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah dalam negara demokrasi. Untuk itu, ia akan terus mengawal agar pembahasan tiga RUU DOB Papua tetap mengedepankan prinsip transparansi dan membuka ruang konsultasi publik.
”Dulu waktu revisi UU Otsus, kami juga lakukan konsultasi publik bahkan kami sampai ke Papua dan Papua Barat. Jadi, pembahasan tiga RUU ini akan terus berproses. Silakan, masyarakat ikut berpartisipasi memberikan masukan kepada kami,” ujar Komarudin.
Hal ini juga dijamin Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus. Ia berjanji akan menerima segala aspirasi dalam pembahasan ketiga RUU DOB Papua ini. ”Tentunya, namanya aspirasi orang, kan, macam-macam. Kami akan tampung maunya dia apa, nanti akan dibahas di kegiatan selanjutnya,” tuturnya.
Menghindari konflik
Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mardyanto Wahyu Triatmoko mengatakan, dengan telah dibentuknya panja pembahasan pemekaran DOB di Papua, praktis proses pemekaran itu akan jalan terus. Namun, untuk menghindari berbagai komplikasi yang mungkin timbul dari kebijakan itu, terutama agar tidak memicu konflik baru, sejumlah hal perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan dalam pembahasan tiga RUU DOB Papua.
Baca juga: Pembahasan Pemekaran Papua Tak Terbendung
Pertama kali, yang harus dilakukan saat pembahasan ialah penajaman naskah akademis saat pembahasan RUU. ”Studi harus benar-benar dilakukan secara komprehensif dan melibatkan lembaga-lembaga inti dalam pemekaran daerah. Jadi, bukan hanya Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, melainkan juga melibatkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta lembaga-lembaga riset, seperti BRIN, yang selama ini telah banyak melakukan kajian mengenai Papua,” katanya.
Penajaman mengenai naskah akademis ini penting karena pemekaran harus mempertimbangkan berbagai aspek, tidak hanya masalah geografis. Jika luasnya wilayah Papua dijadikan pertimbangan pemekaran, pemekaran hanya menggunakan sudut pandang geografis semata. Padahal, seharusnya persoalan demografis yang juga harus dijadikan pertimbangan oleh pembentuk UU.
Pendekatan demografis itu antara lain dengan memperhatikan kultur, hubungan etnisitas, dan karakter hubungan sosial lainnya. ”Berbagai kajian melihat persoalan etnisitas itu, baik mengenai kesamaan etnis maupun polarisasi etnis itu sangat berpengaruh pada dinamika konflik. Itu yang harus dipertimbangkan dengan matang,” ujarnya.
Pembahasan yang mempertimbangkan sisi demografis juga mencegah munculnya konflik baru dalam pemekaran Papua. Sebab, pada kenyataannya, unsur demografis ini sangat sensitif, terutama dengan semakin banyaknya warga pendatang di Papua. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini dikhawatirkan akan memicu munculnya konflik baru dan tidak justru menyelesaikan persoalan yang ada.
Selain itu, menurut Mardyanto, titik berat pembahasan RUU pemekaran Papua, seharusnya juga memperhatikan mengenai kesiapan daerah dan kesiapan birokrasi untuk tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Kemandirian fiskal, perbaikan infrastruktur dasar, adalah beberapa hal yang harus diperhatikan agar tidak memunculkan persoalan dalam pemekaran Papua.
Kesiapan tata kelola pemerintahan juga menjadi penting karena dalam pemekaran Papua tidak didahului dengan pembentukan daerah persiapan. Untuk mengantisipasi itu semua agar tidak menjadi persoalan, semua harus dipersiapkan dengan matang. ”Jangan sampai buru-buru seperti pembentukan UU lainnya, yang kemudian justru memicu konflik merebak semakin besar. Itu yang perlu dihindari dalam pembahasan ini,” katanya.
Sementara itu, pihak-pihak yang kontra terhadap pemekaran, menurut Mardyanto, harus pula didengarkan suaranya. Majelis Rakyat Papua (MRP) selaku perwakilan dan simbol dari orang asli Papua (OAP) harus dilibatkan dalam pembahasan dan didengarkan suaranya.
”Pendekatan yang digunakan ialah persuasi, yakni untuk meyakinkan mereka bahwasanya memang pemekaran ini penting dilakukan. Kalaupun mereka tetap menolak pemekaran, itu juga harus dihargai. Namun, sebagai simbol masyarakat Papua, mereka tentu harus diperhatikan,” kata Mardyanto.
Tidak melibatkan MRP dalam pembahasan justru dinilai akan kontraproduktif. Sebab, itu menguatkan kesan politis dan mengurangi legitimasi pemekaran di mata orang asli Papua. ”Sebagai respresentasi masyarakat, tentu MRP ini perlu untuk disertakan dalam proses pembahasan. Bahkan, tidak hanya MRP, tetapi juga kelompok masyarakat lainnya yang kontra dengan pemekaran. Ini perlu dilihat secara utuh,” kata Mardyanto.