Sidang Uji Materi UU Otsus Papua Masuki Babak Akhir
Mantan hakim konstitusi Laica Marzuki menilai, pengaturan pemekaran daerah di UU Otsus Papua tidak merugikan sama sekali penduk asli. Sebab, partisipasi, kepentingan, dan keterlibatan dari OAP tetap diperhatikan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses persidangan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang perubahan kedua UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diajukan oleh Majelis Rakyat Papua atau MRP memasuki babak akhir. MRP dan kuasa hukumnya, pemerintah, dan DPR diminta untuk menyerahkan kesimpulan akhir dalam tujuh hari kerja ke depan, setelah itu tinggal menunggu pembacaan putusan.
Dalam sidang pembuktian terakhir kalinya, Selasa (17/5/2022), pemerintah mengajukan dua ahli untuk mempertahankan norma-norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh MRP, yakni mantan hakim konstitusi Laica Marzuki dan ahli hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahmi Bachmid. Sidang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Sebelumnya, MRP yang diwakili oleh Ketua MRP, Timotius Murib, Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait, dan Wakil Ketua II MRP Debora Mote mempersoalkan setidaknya tujuh pasal yang dinilai merugikan orang asli Papua (OAP) di dalam UU No 2/2021. MRP merupakan representasi kultural OAP yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak asli orang Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan Budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama.
MRP mendalilkan, UU No 2/2021 secara faktual dan/berpotensi merugikan MRP. Adapun kerugian faktual MRP di antaranya, adanya frasa ”Partai Politik dapat meminta pertimbangan dan/atau konsultasi kepada MRP” dalam Pasal 28 Ayat (4) dinilai telah mematikan, memandulkan, dan mengebiri kewenangan Lembaga tersebut dalam seleksi dan perekrutan politik oleh parpol. Ini mengakibatkan orang asli Papua (OAP) terpinggirkan dalam pemenuhan hak-hak politik.
Selain itu, norma Pasal 76 Ayat (1), (2), dan (3) UU No 2/2021 terkait dengan pemekaran daerah. Pasal 76 Ayat (1) mengatur pemekaran daerah dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Lalu, ayat (2) mengatur pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan OAP. Norma tersebut dinilai telah mematikan, memandulkan, mengebiri kewenangan MRP dalam memberikan persetujuan pemekaran provinsi-provinsi dan kabupaten/kota. Tanpa melibatkan MRP dalam memberikan persetujuan pemekaran provinsi, kabupaten/kota, hal itu pasti akan memecah belah kebutuhan kearifan local adat dan Budaya tradisional masyarakat Papua.
Begitu pun MRP menilai kewenangannnya dimandulkan ketika tidak dilibatkan dalam proses dan pembuatan usulan perubahan UU Otsus. Ini akibat pemberlakuan Pasal 77 UU No 2/2021 khususnya dalam frasa ”dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP”. Kata ”dapat” yang bermakna opsional dan tidak mutlak itulah yang dinilai mematikan seluruh kewenangan MRP dalam mengusulkan perubahan UU Otsus Papua.
Selain itu, MRP juga menguji sejumlah pasal lain seperti Pasal 6 Ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) UU No 2/2021 yang dinilai merugikan OAP karena untuk menjadi anggota DPRD akan dipilih melalui pemilu. Penghapusan Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Otsus lama menghilangkan/menghambat/membatasi hak-hak politik OAP untuk memiliki parpol lokal.
Pemberlakuan Pasal 38 Ayat (2) UU 2/2021 yang memberi jaminan kepastian hukum bagi pengusaha dinilai berpotensi adanya diskriminasi dalam memberikan perlindungan dan perlakuan antara rakyat dengan pemilik modal. Demikian pula dengan klausul Pembentukan badan khusus yang merepresentasikan pemerintah pusat (Pasal 68A Ayat (2) UU No 2/2021) juga dinilai berpotensi merugikan OAP.
Pemekaran daerah
Dalam keterangannya, Laica Marzuki mengatakan, terkait pemekaran daerah, dirinya setuju dengan pemerintah bahwa Pasal 76 Ayat (1) bermakna MRP bukan pihak satu-satunya dalam memberikan persetujuan pemekaran di daerah. Norma tersebut juga tidak mengurangi atau menafikkan kewenangan MRP, melainkan memperluas kewenangan MRP dalam memberikan persetujuan pemekaran daerah di Papua yang sebelumnya hanya pada tingkat provinsi. UU No 2/2021 justru memperluas kewenangan tersebut dengan memberikan persetujuan pemekaran untuk tingkat kabupaten/kota.
Pasal 76 Ayat (1) bermakna MRP bukan pihak satu-satunya dalam memberikan persetujuan pemekaran di daerah. Norma tersebut juga tidak mengurangi atau menafikkan kewenangan MRP, melainkan memperluas kewenangan MRP dalam memberikan persetujuan pemekaran daerah di Papua yang sebelumnya hanya pada tingkat provinsi.
Sementara itu, Fahmi Bachmid mengungkapkan, secara ketatanegaraan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UUD 1945. Hal ini bermakna bahwa Presiden merupakan satu-satunya Lembaga yang memegang kekuasan pemerintah. Ini sejalan dengan UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang menegaskan bahwa pembentukan daerah dapat dilakukan berdasarkan kepentingan strategis nasional. Dengan begitu, membentuk suatu daerah dengan memperhatikan pertimbangan yang matang dan baik merupakan kekuasaan presiden dan pemerintah pusat.
”Hal ini berkorelasi bahwa UU Otsus Papua merupakan derivasi dari pelaksanaan konstitusi tersebut,” kata Fahmi.
Kuasa hukum pemerintah, Fiqi Nana Kania, meminta penegasan kepada Laica Marzuki apakah Pasal 76 Ayat (1) UU Otsus Papua benar-benar menghilangkan kewenangan MRP dalam pembentukan sebuah daerah baru.
Menurut Laica, pengaturan mengenai pemekaran daerah di UU Otsus Papua tidak merugikan sama sekali penduduk asli daerah. Sebab, partisipasi, kepentingan, dan keterlibatan dari OAP tetap diperhatikan.
Ia juga mengungkapkan bahwa suatu daerah otonomi khusus secara konstitusional adalah bagian dari Negara Kesatuan RI. Sehingga, suatu daerah otonomi khusus tidak boleh secara konstitusional dipahami sebagai daerah tertutup (closing area). Setiap orang bisa membangun di daerah otonomi khusus tersebut dengan catatan tidak membuat kepentingan ekonomi, sosial, Budaya dari penduduk asli tergerus.