MRP Ingin Didengarkan Suaranya Terkait Pemekaran Wilayah Papua
Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua mengkritik langkah Baleg DPR yang menyetujui pengusulan tiga RUU terkait pemekaran daerah otonom baru di Papua untuk menjadi RUU inisiatif DPR.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Rakyat Papua (MRP) berharap pembentuk undang-undang menyerap aspirasi mereka dalam pembahasan rancangan UU pemekaran provinsi di Papua. Kebijakan sepihak dinilai hanya akan menuai resistensi di lapangan dan tidak mendapatkan legitimasi dari orang asli Papua.
Wakil Ketua I MRP Yoel Luiz Mulait saat dihubungi, Minggu (10/4/2022), mengatakan, pihaknya kecewa atas keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR yang menyetujui RUU tentang Papua Selatan, RUU tentang Papua Tengah, dan RUU tentang Papua Pegunungan Tengah untuk menjadi RUU inisiatif DPR. Pembentukan daerah otonom baru (DOB) itu dinilai sepihak karena tak melibatkan partisipasi dan konsultasi MRP. Padahal, MRP lembaga representasi kultural OAP yang diakui legalitasnya di UU No 2/2021 tentang Otsus Papua.
Sebelumnya, Baleg DPR bersama Komisi II DPR, Rabu (6/4/2022), telah menyetujui tiga RUU pembentukan daerah otonom baru untuk dibawa ke rapat paripurna untuk disetujui oleh semua anggota DPR. Setelah itu, RUU akan diserahkan kepada presiden untuk dibahas lebih lanjut bersama pemerintah. Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi mengatakan, dari tujuh usulan daerah yang akan dimekarkan, baru tiga daerah yang akan dibentuk sesuai dengan usulan Komisi II DPR (Kompas, 8 April 2022).
”Sejak awal proses pembahasan RUU Pemekaran Wilayah MRP tidak dilibatkan. Padahal, legitimasi UU Otsus Papua itu kan melalui MRP sebagai lembaga representasi kultural OAP. MRP tidak hanya terdiri dari perwakilan adat, agama, tetapi juga perempuan asli Papua,” kata Yoel.
Yoel mengatakan, legitimasi dari UU Otsus Papua sendiri sebenarnya juga masih dipertanyakan oleh MRP. MRP saat ini sedang menguji materi UU Otsus Papua tersebut di Mahkamah Konstitusi. MRP di antaranya mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 Ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76, dan Pasal 77 UU Otsus Papua. Delapan pasal itu dinilai melanggar hak konstitusional OAP.
”Tiga RUU Pemekaran Wilayah Provinsi Papua itu didasari pada UU No 2/2021 yang materinya kami anggap cacat substansial dan sedang kami uji di MK. Jika pembentuk UU menghargai suara OAP, seharusnya pemekaran ditunda sampai putusan MK,” kata Yoel.
Yoel menambahkan, RUU terkait pemekaran wilayah Provinsi Papua seharusnya disosialisasikan dan menyerap aspirasi warga Papua. Terlebih, di wilayah yang ingin dimekarkan, yaitu Pengunungan Tengah, terus-menerus terjadi konflik. Ada resistensi yang sangat tinggi dari warga terkait revisi UU Otsus. Resistensi itu belum teratasi sudah ditambah lagi dengan permasalahan baru, yaitu pemekaran wilayah.
”Kondisinya rakyat Papua masih menolak. Banyak demo penolakan pemekaran wilayah yang sampai menelan korban seperti di Yahukimo kemarin itu. Semestinya, pemekaran wilayah jika memang untuk kesejahteraan rakyat, dengarkan dulu apa yang diinginkan oleh rakyat. Jika tidak, pemekaran untuk siapa sebenarnya?” kata Yoel.
Ketidakpercayaan
Peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan, jika tidak diatasi secara benar, kebijakan pemekaran Papua justru akan mendorong ketidakpercayaan (distrust) Papua terhadap pemerintah pusat. Ini juga berdampak pada semakin sulitnya pemerintah mengatasi konflik bersenjata di Papua.
Cahyo menerangkan, seperti mengulang sejarah, pemekaran Provinsi Papua oleh pemerintah pusat telah ditolak oleh orang asli Papua pada tahun 1999. Namun, kebijakan itu tetap dilanjutkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2003. Hal serupa kembali terulang di tahun 2022, dengan dasar amanat revisi UU Otsus Papua.
”Program pemekaran wilayah yang bersifat top down atau sepihak dari pemerintah pusat ini seolah mengulangi model tata kelola pemerintah kolonial Belanda untuk terus melakukan eksploitasi sumber daya alam dan menguasai tanah Papua,” ujar Cahyo.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid membenarkan bahwa pemekaran di Papua seharusnya melibatkan MRP sebagai representasi kultural OAP. Hal itu, menurut dia, diatur dalam UU Otsus sebagai bentuk perlindungan hak-hak orang asli Papua.
”Dalam beberapa waktu terakhir ini muncul demonstrasi tolak pemekaran yang sangat besar dan melahirkan korban jiwa. Pemekaran Papua mendorong situasi yang tidak kondusif bagi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Papua,” kata Usman.
Usman menambahkan, dengan latar belakang situasi itu, Koalisi Kemanusiaan untuk Papua mendesak DPR dan pemerintah untuk terlebih dahulu mengatasi situasi konflik bersenjata di Papua. Pembentuk UU juga diharapkan segera mengundang MRP dan Gubernur Papua untuk membicarakan kebijakan pemekaran wilayah tersebut.