Menilik Arah Koalisi di Sebalik Silaturahmi Bernuansa Politik
Silaturahmi para elit politik membuka ruang penjajakan koalisi, yang berbasis gagasan dan mendorong Indonesia bersih dari politik SARA. Hal ini diharapkan dapat mencegah berulangnya polarisasi di Pilpres 2024 mendatang.
Dua tahun menjelang 2024, silaturahmi Lebaran yang dilakukan figur-figur utama politik negeri ini menarik perhatian publik. Ragam tafsir pun menyertai sehingga silaturahmi, aktivitas yang lazim dilakukan saat Idulfitri, kemudian dibaca dan dimaknai sebagai lobi-lobi, manuver atau langkah politik, hingga penjajakan koalisi untuk pemilu pada dua tahun kurang lagi.
Seperti diketahui, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada hari pertama Idulfitri 1443 Hijriah, Senin (2/5/2022) lalu, bersilaturahmi dengan Presiden Joko Widodo yang merayakan Lebaran di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Selanjutnya, Prabowo kembali ke Jakarta untuk bersilaturahmi dengan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sehari kemudian hingga Jumat (6/5/2022) Prabowo melakukan safari silaturahmi lebaran ke sejumlah ulama pimpinan pondok pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dia pun sempat bersilaturahmi dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Berikutnya, pada Sabtu (7/5/2022) Prabowo bersilaturahmi dan menjenguk mantan atasannya di TNI Angkatan Darat, yaitu Jenderal (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo serta Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X.
Pada akhir pekan, 7 Mei 2022, itu pun Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau kerap disapa AHY mengunjungi Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Pertemuan keduanya berlangsung di rumah dinas menteri yang ditempati Airlangga, yakni di Jalan Widya Chandra 3 Nomor 6, Jakarta. Kamis (12/5/2022) malam ini, Ketua Umum Partai GolkarAirlangga Hartarto, Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hassan juga bertemu.
Baca juga: Setelah Presiden Jokowi, Safari Silaturahmi Prabowo Berlanjut ke Megawati
Salah satu ungkapan populer di ranah politik adalah tiada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Tak urung, berbagai kemungkinan koalisi pun masih mungkin terjadi. Lantas, akankah silaturahmi para elit politik tersebut berujung koalisi? Hal itu dibahas dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk “Silaturahmi Politik dan Arah Koalisi” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (11/5/2022) malam.
“Jadi, kalau ditarik, pertama ke Jogja ketemu Pak Jokowi, setelah itu datang ketemu Bu Megawati Soekarnoputri, tentu, di sini, Pak Prabowo menempatkan Presiden Jokowi dan Bu Megawati Soekarnoputri sebagai figur penting yang menjadi prioritas, yang diberikan penghormatan,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono yang hadir langsung di studio pada diskusi tersebut.
Pada diskusi hibrida yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo tersebut hadir pula secara daring Ketua DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya, Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, dan Wakil Direktur Eksektutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah.
Jaga hubungan
Saat ditanya terkait kemungkinan akan adanya koalisi antara Gerindra dan PDI-P, Ferry menuturkan bahwa Prabowo sangat menjaga hubungan dengan Megawati. Selain dengan PDI-P, Partai Gerindra pun tetap menjaga hubungan silaturahmi dengan parpol-parpol lain. Oleh karena itu dia merasa masih terlalu jauh kalau silaturahmi kali ini dikaitkan dengan Pemilihan Presiden (pilpres) 2024.
“Apalagi Pak Prabowo sebenarnya belum menjawab dukungan dari Partai Gerindra. Kalau dukungan internal keluarga Partai Gerindra, sih, pengin kembali Pak Prabowo (bersedia maju di Pilpres 2024). Tapi sampai dengan hari ini Pak Prabowo belum memberikan jawaban. Jadi, menurut saya, Pak Prabowo belum memprioritaskan soal 2024,” kata Ferry.
Baca juga: Prabowo Belum Pasti Maju di Pilpres 2024, Kader Gerindra Sudah Ajukan Cawapres
Sementara itu Herzaky menuturkan bahwa AHY, mewakili Partai Demokrat, terus membangun silaturahmi dan komunikasi politik dengan parpol-parpol dan tokoh atau figur lainnya. Tidak semua silaturahmi atau komunikasi politik tersebut terbuka dan terlihat di media.
“Kebetulan yang terbuka adalah (silaturahmi) dengan Pak Airlangga. Intinya, kami ingin mengetahui lebih jauh sebenarnya kesamaan visi ke depan antarpartai politik. (Hal ini) Karena, bagaimana pun, buat maju untuk Pilpres 2024 tentunya butuh koalisi sesama partai politik dan mencapai ambang batas,” ujar Herzaky.
Menurut Ace, merujuk penyampaian Airlangga Hartarto dalam pertemuan tersebut, sebagai sesama partai yang pernah bersama sebagai bagian dari koalisi pemerintahan dalam periode sebelumnya, berbagai kemungkinan dapat terjadi. Sehubungan dengan kemungkinan koalisi antara Partai Demokrat dan Golkar, komunikasi itu harus dibuka antara keduanya karena pernah berada dalam satu perahu pemerintahan.
Baca juga: Partai Golkar Buka Peluang Berkoalisi dengan Demokrat
“Dan, tentu, jika memang ada kesamaan persepsi, pemahaman, perjuangan, itu kan dirajut dalam konteks bagaimana memajukan Indonesia. Jadi, saya kira, antara Pak Airlangga dan AHY itu memang memiliki pertemanan yang cukup panjang. Jadi, pertemuan itu bukan semata soal pertemuan politik, tapi ini pertemuan kekeluargaan. Kunjung-mengunjungi itu, kan, sesuatu yang sangat biasa,” ujar Ace.
Adapun Partai Nasdem melihat proses koalisi harus dibangun dari awal. Capres pun mesti ditentukan dari awal. “Itu, baguslah kalau terjadi koalisi sedari dini biar chemistry-nya terbangun. Daripada kawin paksa, ujug-ujug, injury time, karena enggak ada tiket lagi (lalu) dikawinkan, kayak Siti Nurbaya – Datuk Maringgih, kan, enggak enak,” kata Willy.
Pembangunan koalisi dan penentuan capres dari awal tersebut, menurut Willy, merupakan pembelajaran politik. Kejelasan capres akan menjadikan orang, istilahnya, tidak membeli kucing dalam karung. Terkait hal ini, Nasdem pada 15-17 Juni 2022 mendatang akan menggelar rapat kerja nasional untuk kemudian mengusulkan tiga nama capres.
Pembangunan koalisi dan penentuan capres dari awal merupakan pembelajaran politik. Kejelasan capres akan menjadikan orang, istilahnya, tidak membeli kucing dalam karung.
Potret awal
Hurriyah menuturkan bahwa hasil survei dari sejumlah lembaga terkait capres dan cawapres selama ini setidaknya dapat memperlihatkan potret awal menyangkut popularitas dan juga elektabilitas para calon. Dalam konteks politik elektoral Indonesia, banyak sosok yang mau menjadi presiden meskipun kendalanya juga berat.
Baca juga: Ambang Batas Pencalonan Presiden 20 Persen Terus Dipersoalkan
Pertama, mereka harus menghadapi tantangan terkait desain sistem pemilu di Indonesia yang mengunci partai-partai politik dengan ketentuan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden). Sehingga, siapapun yang mau jadi capres harus melakukan safari politik ke partai-partai.
"Kedua, ini juga berkaitan dengan tiket pencalonan yang eksklusif hanya dimiliki oleh partai politik. Ini kenapa kita bisa melihat sekarang ini banyak sekali safari politik yang dilakukan oleh para calon,” ujar Hurriyah.
Bagi partai politik, menurut Hurriyah, faktor seperti popularitas dan elektabilitas calon tidak melulu menentukan apakah partai kemudian akan mendukung calon tersebut. “Tetapi, jika calon tersebut juga punya penguasaan terhadap sumber daya politik, sumber daya finansial, dan mereka mampu mengelola mesin politik nonpartai, ini akan menjadi nilai tambah bagi partai politik,” katanya.
Sebagai aktor elektoral, partai politik dan para politisi mempunyai kepentingan yang jelas berkaitan dengan Pilpres 2024. “Dan, saat ini, hampir semua partai, termasuk PDI-P sekalipun yang punya kursi paling banyak, masih merasa penting untuk menggalang dukungan politik dan juga menjajaki peluang koalisi. Dan ini masih sangat cair,” tutur Hurriyah.
Baca juga: Menteri yang Ingin Maju di Pilpres 2024 Diingatkan untuk Jaga Etika Politik
Apabila melihat preseden-preseden sebelumnya, sifat koalisi pencapresan tidak selalu party based (berbasis partai, berdasarkan kedekatan partai atau ideologi partai). “Tetapi, lebih condong kepada candidate based, jadi melihat betul bagaimana faktor figur, yakni apakah figur yang akan dicalonkan ini memang bisa membawa peluang kemenangan yang besar, baik untuk partai maupun untuk pencapresan,” katanya.
Bicara soal politik identitas atau polarisasi politik, Hurriyah mengatakan bahwa hal ini imbas dari konsensus politik yang dibuat partai pada saat itu dengan memaksakan presidential threshold 20 persen. Ruang kontestasi seharusnya lebih terbuka, namun desain sistem pemilu telanjur ditutup atau dibatasi oleh partai politik.
Baca juga: Pilpres 2024 Bisa Lebih dari Dua Capres
Terlihat pula problema partai politik di Indonesia, di mana tuntutan demokrasi tidak bisa dibarengi dengan kinerja lembaga demokrasi seperti parpol. “Akhirnya, tuntutan tersebut berubah menjadi ekspresi antidemokrasi yang berbasis SARA, identitas, yang lagi-lagi, kalau kita lihat, user-nya itu adalah aktor-aktor elektoral. Munculnya buzzer-buzzer ini, kan, bukannya mereka organik, muncul secara tiba-tiba, voluntary based. Tapi, mereka adalah mesin yang digunakan oleh aktor-aktor elektoral untuk mendorong kemenangan di dalam kontestasi pemilu,” katanya.
Munculnya buzzer-buzzer ini, kan, bukannya mereka organik, muncul secara tiba-tiba, voluntary based. Tapi, mereka adalah mesin yang digunakan oleh aktor-aktor elektoral untuk mendorong kemenangan di dalam kontestasi pemilu.
Menurut Hurriyah, parpol harus bertanggungjawab atas kerusakan politik yang terjadi di pemilu 2019 dan pascapemilu 2019. Dalam konteks itu, menjadi sangat penting untuk mendorong koalisi berbasis gagasan. Hal yang dibutuhkan hari ini bukan gagasan yang men-dakik-dakik (terlampau tinggi, melangit, susah dipahami) atau dibungkus dengan berbagai jargon.
“Menurut saya, koalisi berbasis gagasan paling riil yang dapat dilakukan parpol hari ini adalah mendorong Indonesia bersih dari politik SARA. Ini yang harus menjadi komitmen bagi semua aktor elektoral, partai politik maupun juga kandidat,” ujar Hurriyah.
Baca juga: Intensitas Komunikasi Elite Parpol Buka Kans Lebih Banyak Capres di 2024
Koalisi berbasis gagasan paling riil yang dapat dilakukan parpol hari ini adalah mendorong Indonesia bersih dari politik SARA. Ini yang harus menjadi komitmen bagi semua aktor elektoral, partai politik maupun juga kandidat.
Adalah merupakan hak partai untuk ikut pemilu, berharap dapat memenangkan pemilu, menggunakan berbagai sumber daya yang dimiliki, mencalonkan figur-figur terbaik, dan membangun koalisi dengan siapa saja. Namun, partai juga memiliki kewajiban untuk menjadi institusi demokrasi yang demokratis.
Partai pun memiliki kewajiban menjadi institusi yang berkomitmen membangun kompetisi nan demokratis. “Dan, kalau kita tanya, mana yang harus didahulukan antara hak dan kewajiban, saya yakin kita tahu jawabannya,” kata Hurriyah.