Menteri yang Ingin Maju di Pilpres 2024 Diingatkan untuk Jaga Etika Politik
Belum ada regulasi yang khusus mengatur aktivitas politik menteri, terutama sebelum kampanye pemilu, sehingga penting bagi setiap menteri mengutamakan etika politik dan tak lupa menjalankan tugas utama sebagai menteri.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS – Para menteri yang berniat maju di Pemilu Presiden 2024 diingatkan untuk tidak melupakan tugas utama sebagai menteri. Etika politik juga harus diutamakan. Etika politik ini penting karena belum ada regulasi yang mengatur ketat aktivitas politik pejabat publik, terutama sebelum masa kampanye pemilu dimulai.
Sejumlah figur potensial calon presiden (capres) yang menjabat menteri terlihat aktif bersafari dalam beberapa hari terakhir. Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, misalnya, intens menemui sejumlah ulama pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Ia juga sempat menemui Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang juga kerap disebut dalam sejumlah survei capres. Setiap pertemuan itu disebut sebagai pertemuan untuk silaturahmi Lebaran. Tidak ada pembicaraan politik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Selain Prabowo, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menerima Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, di rumah dinas Airlangga, Sabtu (7/5). Meski pertemuan untuk silaturahmi Lebaran, baik Airlangga ataupun Agus seusai pertemuan sama-sama menyampaikan bahwa kedua partai terbuka peluang untuk berkoalisi pada Pemilu 2024.
Figur lain yang kerap disebut dalam survei capres dan intens bersafari adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Ia kerap mempromosikan UMKM di berbagai daerah, membuka operasi pasar murah minyak goreng dan gula di Pasuruan serta sowan ke sejumlah ulama pengasuh pondok pesantren di Pasuruan, Kamis lalu, selain spanduk bergambar dirinya yang bertebaran di sejumlah ruas jalan.
Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pertahanan dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan, Minggu (8/5/2022), dirinya cukup mengamati safari dari sejumlah menteri tersebut. Jaleswari mengatakan, ada beberapa dimensi untuk melihat posisi menteri, yaitu dimensi hukum dan dimensi politik dan etika.
Roy Abimanyu dari Daksa Adi Data yang mencermati komunikasi politik juga menyoroti hal ini. Menurut dia, saat ini belum ada regulasi yang mengatur kiprah elite politik yang ada di dalam pemerintahan sebelum masa kampanye. Oleh karena itu, para elite ini harus menjaga etikanya demi perkembangan etika politik dan konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Tidak bisa dimungkiri, lanjutnya, bahwa menteri bukan hanya pejabat publik, melainkan juga pejabat politik. Ia melihat adalah kewajaran ketika seorang politisi menjadi pejabat, ambisi politiknya meningkat. Akan tetapi, Roy menggarisbawahi bahwa tugas menteri adalah memastikan visi dan misi presiden terus berjalan. Apalagi, saat ini banyak asumsi rencana pembangunan yang terganggu oleh pandemi Covid-19 dan situasi geopolitik akibat invasi Rusia ke Ukraina. ”Yang harus diperhatikan adalah apakah pejabat-pejabat politik ini akan terus menjalankan perintah presiden, atau pecah, atau ambigu,” kata Roy.
Ia mengatakan, memang tidak tertutup kemungkinan terjadi loyalitas baru, apalagi dengan adanya kemungkinan-kemungkinan koalisi. Oleh karena itu, Presiden harus bisa memastikan soliditas politik dari sisi kebijakan. Dengan demikian, visi, misi, dan janji politik Presiden Joko Widodo bisa dipenuhi. ”Saya melihat, soliditas pasti akan berkurang di akhir 2022, mungkin ada yang bisa menyeimbangkan antara agenda politik dan kerja, tetapi belum tentu,” kata Roy.
Dari sisi hukum, posisi menteri cukup jelas didefinisikan. Jaleswari mengatakan, bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, menteri dapat dipahami sebagai pembantu presiden. Pengangkatan dan pemberhentiannya pun dilakukan oleh Presiden dan dalam derajat tertentu bergantung sepenuhnya pada prerogatif Presiden. ”Oleh karena itu, sudah sepatutnya menteri patuh dan tegak lurus untuk disiplin dalam menjalankan agenda-agenda presiden,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa merujuk UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menteri juga dapat dipahami kapasitasnya sebagai pejabat pemerintahan. Dalam konteks ini, terdapat koridor yang harus dipatuhi menteri dalam menjalankan kewenangannya, termasuk larangan menetapkan, melakukan keputusan, tindakan jika terdapat potensi konflik kepentingan, di mana spektrumnya latar belakangnya pun cukup luas, termasuk terkait kepentingan pribadi.
Masalahnya, di Indonesia belum ada regulasi yang mengatur ketat aktivitas politik pejabat publik. Roy mengatakan, di beberapa negara, fasilitas negara seperti pesawat kepresidenan dan rumah dinas tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik pribadi atau partai.
Oleh karena itu, Jaleswari menggarisbawahi aspek selain hukum yaitu etika. Ia mengatakan, dari sisi etika politik, sudah sepatutnya posisi menteri dipergunakan semaksimal mungkin untuk membantu jalannya agenda presiden demi kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat. ”Posisi Menteri etikanya bukan untuk kepentingan yang sifatnya pragmatis dan personal bahkan mengarah ke konflik kepentingan,” kata Jaleswari.
Roy melihat, ketiadaan regulasi itu harus diatasi dengan mengandalkan etika politik para elite. Meski demikian, bisa juga Presiden Joko Widodo mengeluarkan keputusan untuk mengatur. Akan tetapi, dalam praktek politik sehari-hari para elit politik yang menjadi menteri ini seharusnya menjaga etika politik dengan atasannya.
”Di depan publik, elite harus bisa menunjukkan etika di mana dia sebagai pejabat publik, di mana dia adalah aktor politik. Ini susah memang,” kata Roy.
Ia mencontohkan, realitanya ada keterbatasan waktu yang dihadapi para elite ini sehingga mereka tergoda untuk menggunakan fasilitasnya. Hal ini semoga bisa dibatasi karena tidak baik untuk spendidikan politik aktor-aktor politik muda. Apalagi dengan adanya teknologi konferensi jarak jauh, ruang dinas tidak perlu digunakan sebagai ruang rapat politik. Di sisi lain, pertemuan di ruang-ruang partai juga malah membuat mesin politik partai bergerak.
“Kalau misalnya rapat dengan penasihat politik bisalah, tapi kalau misalnya, buka bersama politik, bagusnya jangan di rumah dinas,” kata Roy.