Tak Hanya Kasus Bupati Bogor, Jual-Beli Status WTP Diduga Terjadi di Instansi Lain
KPK mengimbau setiap instansi pemerintah agar menghindari praktik suap dalam memperoleh opini WTP. KPK juga mengingatkan otoritas pemeriksa keuangan agar tak menyalahgunakan kewenangannya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus dugaan suap yang melibatkan Bupati Bogor Ade Yasin dan sejumlah pegawai Badan Pemeriksa Keuangan menjadi pintu masuk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengungkap dugaan praktik korupsi jual-beli status wajar tanpa pengecualian di instansi lain. Praktik korupsi yang berulang ini pun harus dijadikan momentum bagi BPK untuk ”bersih-bersih” internal lembaganya sehingga citra BPK di mata publik kembali membaik.
Dalam operasi tangkap tangan KPK pada Selasa (26/4/2022) hingga Rabu (27/4/2022), Ade Yasin ditangkap bersama dengan 11 orang dari kalangan pejabat dan aparatur sipil negara Pemerintah Kabupaten Bogor serta BPK Perwakilan Jawa Barat. Setelah melewati proses pemeriksaan, Kamis, KPK menetapkan delapan di antaranya menjadi tersangka.
Ade Yasin dan tiga pejabat Pemkab Bogor disangkakan sebagai penyuap, sedangkan empat petugas BPK Perwakilan Jabar ditetapkan sebagai penerima suap. Dalam perkara ini, Ade Yasin diduga menyuap auditor BPK Perwakilan Jabar senilai Rp 1,9 miliar untuk mengondisikan hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2021.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dihubungi di Jakarta, Kamis, mengatakan, modus jual-beli status wajar tanpa pengecualian (WTP) bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, KPK telah memenjarakan auditor utama BPK, Rochmadi S, karena menerima suap dari sejumlah pejabat di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) untuk memberikan opini WTP pada 2018. ”Modus-modus semacam itu saat ini kemungkinan besar masih terjadi pula pada kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah lain,” ujar Ali.
Untuk itu, KPK mengimbau kepada setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah agar menghindari praktik suap dalam memperoleh opini WTP pada proses pemeriksaan pengelolaan keuangannya. KPK juga mengingatkan otoritas pemeriksa keuangan agar tidak menyalahgunakan kewenangannya tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik-praktik korupsi.
”KPK prihatin masih adanya kepala daerah sebagai pejabat publik yang tidak memegang teguh amanah rakyat dalam mengelola anggaran negara. Pengelolaan anggaran seharusnya dimanfaatkan dan dilaporkan secara akuntabel sebagai bentuk pertanggungjawabannya,” tutur Ali.
KPK berharap kepada masyarakat agar mengadukan dan melapor ke KPK apabila mengetahui informasi dan data terkait praktik suap jual-beli status WTP semacam itu. Sebab, upaya pemberantasan korupsi membutuhkan peran seluruh pihak.
Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi mendorong KPK agar menjadikan kasus Ade Yasin ini sebagai pintu masuk untuk mengungkap praktik korupsi jual-beli predikat WTP di instansi lain. Hal ini penting diungkap secara tuntas agar memberikan efek jera bagi pejabat atau kepala daerah lain yang ingin mencoba melakukan praktik korupsi semacam itu.
”Jangan sampai modus ini hanya berlalu begitu saja atau tidak kemudian ditangani secara serius. Publik akan melihat komitmen KPK untuk mengusut sampai akar-akarnya agar juga menjadi pembelajaran untuk instansi lain,” kata Badiul.
Tak ada pembenahan serius
Badiul pun menyayangkan tidak ada upaya pembenahan yang serius dari BPK karena praktik korupsi jual-beli status WTP ini terus terjadi. Jika terus seperti itu, menurut dia, maka akan juga berdampak pada kepercayaan publik terhadap BPK.
”Ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagaimana BPK bersih-bersih di dalam lembaganya karena kita tahu memang potensi korupsinya sangat besar,” ujar Badiul.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, sependapat dengan Badiul. Menurut dia, BPK perlu melakukan perbaikan mendasar dengan terkuaknya praktik ini kembali. Bukan sekadar dalam bentuk jargon-jargon, yang paling penting adalah perbaikan kultur di BPK agar BPK menjadi lembaga negara yang independen, mandiri, dan tidak mudah dibeli dengan sejumlah uang.
Perbaikan kultur ini salah satunya dengan memperkuat pengawasan. Pengawasan di internal BPK harus dapat menjamin agar para auditornya tidak bermain mata atau tidak mudah menerima iming-iming uang dari auditan.
Ironisnya, sejumlah tersangka dari BPK masih berusia muda. Artinya, bibit-bibit muda pun sudah masuk dalam lingkaran suap. Ini merupakan ada persoalan serius yang harus segera diatasi.
”Harus ada perubahan mendasar. Kalau tidak, ya, kita ke depan masih akan terus melihat lagi kemungkinan auditor-auditor dari BPK tersangkut kasus suap karena menerima suap dari para penyelenggara negara khususnya,” ujar Zaenur.
Selain itu, Zaenur juga mendorong KPK untuk memperketat pengawasan di seluruh perwakilan BPK, tak hanya di Jawa Barat. Kantor-kantor perwakilan itu perlu diawasi secara ketat karena diduga praktik korupsi jual-beli predikat WTP masif terjadi di daerah.
”Jual-beli predikat condong dilakukan untuk menjaga gengsi atau membohongi publik bahwa institusi yang dipimpinnya bersih dari korupsi. Padahal belum tentu demikian. Jangan sampai publik keliru memahami itu,” ujar Zaenur.
Sementara itu, Ketua BPK Isma Yatun menyampaikan bahwa pihaknya dan KPK akan selalu bersinergi dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan lebih akuntabel dengan bersama-sama menjadi garda terdepan sebagai combating corruption agency di negara ini.
Untuk itu, pihaknya mendukung upaya-upaya penegakan integritas, independensi, dan profesionalisme. BPK telah berkoordinasi dengan KPK berkaitan dengan peristiwa yang melibatkan auditor BPK Perwakilan Jabar agar menjadi efek gentar bagi siapa pun yang melanggar nilai-nilai dasar tersebut.
”Kami merasa sangat prihatin dengan kejadian terkini yang turut melibatkan pegawai BPK. Hal ini merupakan pukulan berat bagi BPK sekaligus sebagai advance warning bagi institusi kami,” kata Isma.
Sejalan dengan hal tersebut, kata Isma, pihaknya sudah menonaktifkan kepala perwakilan BPK Jabar, begitu pula beberapa staf yang menjadi tim pemeriksa untuk kasus ini. Ia akan memproses seluruh pegawai yang diduga terlibat dalam peristiwa ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku melalui majelis kode etik di BPK.