Duo Bupati Bogor Ade Yasin dan Rachmat Yasin, Balada Politik Dinasti dan Perilaku Koruptif
Peneliti ICW menyebut politik kekerabatan cenderung selalu mendorong praktik-praktik korupsi karena kehadiran alaminya adalah untuk berkuasa dan melayani dirinya sendiri. Otomatis, kepentingan publik akan terpinggirkan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
Bupati Bogor Ade Yasin pada Kamis (28/4/2022) dini hari telah diumumkan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi salah satu dari delapan tersangka kasus dugaan suap untuk mengkondisikan hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor tahun 2021. Uang Rp 1,9 miliar digelontorkan bertahap kepada para auditor Badan Pengawas Keuangan Perwakilan Jawa Barat untuk "menyulap" status buruk "disclaimer" menjadi wajar tanpa pengecualian.
Dari 12 orang yang ditangkap tim KPK pada Selasa (26/4) hingga Rabu (27/4) pagi, ada delapan orang menjadi tersangka dan ditahan penyidik KPK. Selain Ade Yasin, ada tiga orang pejabat Pemkab Bogor yang disangkakan sebagai penyuap, dan ada empat orang petugas BPK Perwakilan Jabar yang ditetapkan sebagai penerima suap.
Terjaringnya Bupati Bogor Ade Yasin dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi, Selasa (27/4/2022), kembali menunjukkan lekatnya politik kekerabatan dengan perilaku koruptif, kendati bentuknya bisa bermacam-macam.
Ade adalah adik dari bekas Bupati Bogor dua periode, Rachmat Yasin yang pada tahun 2014 ditangkap KPK karena kasus suap izin lahan di Kabupaten Bogor. Rachmat Yasin divonis 5,5 tahun penjara atas perbuatan itu dan baru mendapat cuti menjelang bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, pada 8 Mei 2019. Namun, dia kembali jadi tersangka penerimaan uang digunakan untuk membiayai operasional bupati dan biaya kebutuhan kampanye Pilkada 2013 dan Pileg 2014 (Kompas, 26/6/2019).
Politik kekerabatan
Selain Ade Yasin dan Rachmat Yasin, sepanjang 2019-2021, setidaknya sudah ada tiga kepala daerah yang terjerat kasus korupsi yang berasal dari politik kekerabatan. Mereka adalah Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari. Puput ditangkap bersama suaminya Hasan Aminuddin yang merupakan anggota DPR. Sebelumnya, Hasan juga Bupati Probolinggo. Selain itu, juga ada Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin yang merupakan anak dari mantan Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha mengatakan, politik dinasti memang akan selalu mendorong praktik-praktik korupsi karena kehadiran alaminya adalah untuk berkuasa dan melayani dirinya sendiri. Otomatis, kepentingan publik akan terpinggirkan.
Selain itu, umumnya para pelaku dinasti politik ini juga sudah berkuasa tidak dalam waktu sebentar. Mereka memiliki akses terhadap sumber daya publik, seperti menguasai anggaran. Penguasaan sumber daya itu akan lebih mudah untuk disalahgunakan, misalnya modal untuk pilkada ataupun mengerahkan suara aparatur sipil negara (ASN).
“Contoh dinasti politik yang bertahun-tahun melakukan aktivitas koruptifnya tidak hanya di satu kabupaten atau kota, tetapi juga di provinsi adalah Provinsi Banten dari keluarga Ratu Atut Chosiyah,” kata Egi.
Politik dinasti memang akan selalu mendorong praktik-praktik korupsi karena kehadiran alaminya adalah untuk berkuasa dan melayani dirinya sendiri. Otomatis, kepentingan publik akan terpinggirkan (Egi Primayogha)
Permasalahan kedekatan dinasti politik dengan perilaku koruptif ini, kata Egi, seharusnya menjadi perhatian publik. Apalagi, sebentar lagi akan memasuki tahun politik 2024. Masyarakat harus semakin peka dan tidak mudah untuk melanggengkan dinasti politik.
Sebab, dari sisi hukum, ada kekosongan regulasi yang mengatur dinasti politik. Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 melegalkan politik kekerabatan di Indonesia. Putusan MK itu justru menjadi landasan legal formal dinasti politik dengan alasan untuk mencegah diskriminasi dalam pilkada. MK juga dinilai melegalkan keluarga petahana dalam pilkada sehingga memperkuat praktik politik dinasti.
“Karena ada kekosongan hukum, dari sisi pendidikan publik harus ditekankan bahwa politik dinasti memiliki kecenderungan untuk melahirkan praktik-praktik koruptif. Publik harus mawas diri pada praktik-praktik seperti itu,” kata Egi.
Sementara itu, pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra mengatakan, tertangkapnya Ade Yasin oleh KPK menambah jumlah deretan tren keluarga yang masuk di pusaran korupsi. Ini dinilai menunjukkan idealisme pejabat yang korup. Selain itu, juga ada pola korupsi yang dilakukan dalam lingkup keluarga selain pola suami-istri yang menjadi pelaku korupsi. Kasus Bupati Bogor ini menambah deretan korupsi berupa adik-kakak yang korupsi.
Dinasti politik yang gila kekuasaan mengompromikan idealisme serta integritas keluarga. Seolah, penyakit korupsi dapat menular atau diturunkan antargenerasi. Seharusnya, belajar dari korupsi keluarga, harus ada upaya sistematis untuk mengatasinya (Azmi Syahputra)
“Seolah para pelaku korupsi ini tidak kapok. Semestinya keluarga yang pernah korupsi jadi garda utama dan punya motivasi besar, komitmen dengan membuat tembok kuat, sehingga apabila mulai goyah mengarah pada tindakan-tindakan menyimpang semestinya menghindari, menolak,” kata Azsmi.
Menurut Azmi, dinasti politik yang gila kekuasaan mengompromikan idealisme serta integritas keluarga. Seolah, penyakit korupsi dapat menular atau diturunkan antargenerasi. Seharusnya, belajar dari korupsi keluarga, harus ada upaya sistematis untuk mengatasinya.
“Korupsi keluarga ini berdampak kerusakan bagi masyarakat. Uang negara terus digerogoti. Karenanya, ke depan perlu mendorong semua lapisan masyarakat untuk semakin cerdas memilih pemimpin pada saat pemilu,” kata Azmi.