Berbeda dengan Pimpinan DPR, Komisi II Tidak Mau Pemekaran Papua Ditunda
Jika rencana pemekaran Papua tetap dilanjutkan, pemerintah dan DPR harus meyakinkan masyarakat setempat agar menerima rencana tersebut. Pemekaran Papua harus dilandasi legitimasi sosial yang kuat.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbeda sikap dengan pimpinan DPR, pimpinan Komisi II berkukuh ingin melanjutkan pembahasan tiga rancangan undang-undang yang akan jadi payung hukum pembentukan tiga daerah otonom baru di Papua tanpa menunggu putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua. Jika rencana pembahasan tetap dilanjutkan, masyarakat setempat mesti diyakinkan agar bisa menerima pemekaran tanpa adanya paksaan.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, pihaknya akan konsisten melanjutkan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Papua Selatan, RUU Papua Tengah, dan RUU Pegunungan Tengah. Saat ini, Komisi II DPR sebagai inisiator ketiga RUU itu tengah menunggu surat presiden tentang penunjukan perwakilan pemerintah yang akan membahas ketiga RUU itu dengan DPR.
Sekalipun ada uji materi UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus Papua di Mahkamah Konstitusi, pihaknya menilai pembahasan mesti tetap dilanjutkan. Apalagi, proses pembahasan pemekaran di Papua diklaimnya sudah cukup panjang, bahkan sebelum ada revisi UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
”Buat kami, prosedur pembentukan UU terpenuhi kami jalan. Kalau soal uji materi sama dengan UU yang lain, tetap dijalankan dahulu. Selama belum diputuskan, UU Otsus tetap berlaku,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (27/4/2022).
Menurut dia, pemekaran daerah merupakan keniscayaan bagi bangsa yang terus berkembang. Oleh karena itu, pemerintah perlu merespons dengan membentuk pusat-pusat pelayanan publik baru,yakni dengan menghadirkan pusat pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemekaran menjadi solusi untuk mendekatkan pemerintah dengan masyarakat karena rentan kendali menjadi lebih pendek.
”Jadi agak aneh kalau menolak pemekaran berarti sama saja dengan menafikan adanya pertumbuhan dan perkembangan di negara kita,” kata Doli.
Berdasarkan Pasal 76 UU No 2/2021 tentang Otsus Papua, pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.
Pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.
Sekretaris Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada Arie Ruhyanto melihat, menunda atau melanjutkan pembahasan di situasi yang penuh pro dan kontra bukanlah pilihan yang mudah. Namun, jika pemekaran tetap dilanjutkan, pemerintah dan DPR diminta tidak melupakan legitimasi sosial dari masyarakat asli Papua yang direpresentasikan melalui Majelis Rakyat Papua (MRP). Sekalipun tetap sesuai prosedur, masyarakat mesti diyakinkan agar bisa menerima pemekaran tanpa adanya paksaan.
”Jika orientasinya adalah transformasi konflik dan kesejahteraan, maka jangan diawali dengan hal-hal yang problematik. Pemekaran harus memiliki fondasi legitimasi sosial yang kuat,” tutur Arie.
Ia menilai, dialog antara pemerintah, DPR, dan masyarakat Papua perlu terus dilakukan agar tidak ada kesan pemaksaan pemekaran Papua. Terlebih, MRP telah melakukan safari politik ke Presiden Joko Widodo, pimpinan DPR, dan sejumlah ketua umum partai politik untuk meminta penundaan pemekaran. Jika suara mereka diabaikan, dikhawatirkan potensi konflik kian membesar karena dibingkai dengan pemaksaan kehendak dari pembentuk UU.
”Pemekaran tidak bisa hanya dilihat dari legal formal, tetapi soal memenangkan hati dan pikiran orang asli Papua. Kalau MRP sebagai representasi orang asli Papua tidak mendukung, artinya ada problem penerimaan sosial,” ujar Arie.
Menurut dia, pemekaran memang dibutuhkan oleh masyarakat Papua, tetapi levelnya di tingkat kabupaten/kota. ”Sementara kalau provinsi tidak mengurusi pelayanan dasar itu secara langsung,” tuturnya.
Dalam media briefing bertajuk ”Perkembangan Pembentukan Daerah Otonom Baru Pasca-Pertemuan dengan Istana”, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan, pemekaran hanya akan membebani anggaran negara. Sebab, mayoritas daerah di Papua dan Papua Barat tidak memiliki pendapatan asli daerah yang tinggi sehingga belum mandiri secara fiskal.
Secara etika, ia menilai pembahasan mengenai pemekaran seharusnya menunggu putusan MK. Pemerintah tidak bisa memaksakan pemekaran dan mempercepat pembahasannya tanpa mendengarkan aspirasi dari akar rumput. ”Pembentukan daerah otonom baru harus melalui aspirasi masyarakat,” katanya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pihaknya berharap pelaksanaan UU Otsus ditangguhkan. Pemerintah mesti mendengarkan aspirasi masyarakat jika ingin mengimplementasikan pemekaran. Jika hal ini tidak diperhatikan, eskalasi konflik kekerasan dan hak asasi manusia di Papua dikhawatirkan meningkat.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani, mengatakan, pembentukan daerah otonom baru selalu memunculkan komando daerah militer. Namun, kehadirannya belum tentu bisa diterima dengan baik oleh masyarakat dan bisa menghadirkan ketakutan yang cenderung menimbulkan kesalahpahaman. ”Jika pemekaran tidak melalui konsultasi dan kesiapan daerah, bisa meningkatkan potensi kekerasan dan konflik yang baru,” katanya.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Cahyo Pemungkas, meminta pemerintah membuka metodologi survei yang menyatakan 82 persen rakyat Papua meminta pemekaran wilayah. Keterbukaan ini diperlukan agar tidak memunculkan kecurigaan publik bahwa survei dilakukan dengan tidak sesuai kaidah metodologi ilmiah.
Menurut dia, pemekaran belum tentu menjadi solusi selama tetap menggunakan cara pandang dari Jakarta. Maka, pemekaran tetap memerlukan dialog dan konsultasi publik dengan tujuh wilayah adat di Papua. ”Pemerintah dan DPR harus mendengarkan suara pro dan kontra dan mengakomodasi kepentingan mereka agar mendapatkan dukungan politik,” kata Cahyo.