Pemerintah Sebut Survei Menunjukkan 82 Persen Rakyat Papua Meminta Pemekaran Wilayah

Dalam pertemuan Presiden Jokowi dengan Majelis Rakyat Papua dan MRP Papua Barat disampaikan bahwa 82 persen warga Papua setuju adanya pemekaran wilayah. Masyarakat sipil mempertanyakan metodologi survei itu.

RUSMAN - BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md dalam keterangannya selepas pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 25 April 2022.

JAKARTA, KOMPAS — Dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo, pimpinan Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat menyampaikan aspirasi terkait sejumlah hal, mulai dari otonomi khusus atau otsus hingga pemekaran wilayah di Papua. Pemerintah kemudian memaparkan hasil survei lembaga kepresidenan yang menyebutkan bahwa 82 persen rakyat Papua meminta pemekaran wilayah.

”Materi yang dibicarakan menyampaikan aspirasi terkait dengan Undang-Undang Otsus, dengan pemekaran, dan sebagainya. Itu tadi sudah disampaikan, dijawab oleh Presiden, misalnya Undang-Undang Otsus, undang-undangnya sudah jalan, sudah disahkan,” ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dalam keterangan selepas pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (25/4/2022).

Mahfud juga menyebut bahwa pemerintah menghargai proses hukum pengujian materi terkait UU Otsus Papua yang saat ini masih berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK). ”Kita hargai proses hukum itu dan kita akan ikuti terus perkembangannya dan tentu saja pada akhirnya akan dirujuk kepada vonis Mahkamah Konstitusi nantinya,” ujar Mahfud yang memberikan keterangan dengan didampingi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani.

Terkait dengan daerah otonomi baru (DOB) di Papua atau pemekaran, Mahfud menilai adanya pihak yang pro dan kontra merupakan hal yang biasa. ”Presiden menjelaskan berdasarkan data bahwa sebenarnya untuk minta pemekaran di berbagai daerah itu rebutan. Ada 354 permohonan pemekaran. Dan berdasarkan kepentingan di Papua, kita mengabulkan untuk tiga provinsi. Papua Barat justru minta juga agar dimekarkan. Nah kalau ada yang setuju, tidak setuju, ya biasa,” ungkapnya.

Baca juga: Upaya Pembentukan Tiga Provinsi Baru di Papua Bergulir di DPR

Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi juga diundang Majelis Rakyat Papua untuk berkunjung ke kantor MRP, baik di Papua maupun Papua Barat. Mahfud menjelaskan bahwa Presiden menyatakan kesiapannya dan akan berkunjung pada saat datang ke Papua. Terlebih, Presiden Jokowi menaruh perhatian besar kepada Papua, yang terlihat dari seringnya Presiden melakukan kunjungan ke provinsi tersebut.

”Papua itu memang bagian yang menjadi perhatian khusus dari Presiden. Ke provinsi lain Presiden itu mungkin hanya dua kali atau tiga kali paling banyak setiap provinsi, tetapi ke Papua sudah 14 kali dan Presiden langsung ke daerah-daerah terpencil, kabupaten-kabupaten, bukan ke ibu kota provinsi saja,” katanya.

Menurut Mahfud, pimpinan MRP juga menyampaikan beberapa usulan lain terkait perpanjangan penjabat gubernur dan perpanjangan jabatan MRP. Mahfud mengatakan, pemerintah akan melihat secara komprehensif dari undang-undang yang berlaku.

”Karena tidak cukup kita hanya mendengar dari Papua, juga melihat secara komprehensif undang-undang yang berlaku bagaimana. Jangan sampai Papua disikapi begini, daerah lain nanti juga minta hal yang sama karena merasa mempunyai undang-undang yang secara umum sama meskipun secara khusus berbeda,” katanya.

Baca juga: Revisi UU Disahkan, Otonomi Khusus Papua Diperkuat

Pelibatan MRP

KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA

Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib di Jayapura pada Kamis (26/11/2020).

Dihubungi seusai pertemuan, Ketua MRP Timotius Murib menyebut bahwa aspirasi pro atau kontra tentang pemekaran Papua itu memang sesuatu yang biasa. ”Namun Papua adalah wilayah khusus makanya kalau mau pemekaran atau DOB harus mengunakan mekanisme pertimbangan dan persetujuan MRP, kalau tidak maka itu ilegal,” ujar Timotius.

Pada 12 April 2022, DPR RI mengesahkan tiga RUU usul inisiatif berupa RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Papua Tengah, dan RUU Pegunungan Tengah. MRP menyesalkan pembentukan DOB yang tidak melibatkan MRP sesuai ketentuan Pasal 76 UU Otsus yang menyatakan bahwa pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. ”Ini artinya tanpa persetujuan MRP dan DPRP, tidak boleh ada DOB,” tegasnya.

Selain itu, pemekaran juga hanya bisa dilakukan setelah pemerintah mempertimbangkan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang. Kesatuan sosial budaya penting karena Papua memiliki 250 suku yang sangat beragam.

MRP juga meminta pemerintah memperhatikan faktor kesiapan sumber daya manusia (SDM) di Papua karena saat ini banyak kantor pemerintahan provinsi yang kekurangan SDM, terutama orang asli Papua, belum lagi situasi keamanan. Faktor kemampuan ekonomi juga penting diperhatikan dalam pemekaran wilayah. Alasan ekonomi, seperti pendapatan asli daerah (PAD), adalah salah satu alasan pemerintah pusat memberlakukan moratorium pemekaran provinsi.

MRP juga menyesalkan proses perubahan UU yang tidak melalui usul rakyat Papua melalui MRP dan DPRP, sebagaimana diamanatkan Pasal 77 UU Otsus. ”Substansinya pun banyak merugikan hak-hak orang asli Papua sehingga kami mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata Timotius.

Timotius menjelaskan, banyak pasal yang berubah tidak sesuai isi surat Presiden tertanggal 4 Desember 2020 yang mengamanatkan perubahan terbatas tiga pasal: ketentuan umum, keuangan daerah, dan pemekaran wilayah. Akan tetapi, setelah dibahas DPR RI justru terdapat 19 pasal yang berubah. Menurut kajian MRP, terdapat sembilan pasal merugikan hak-hak orang asli Papua. Karena itulah, MRP Papua dan MRP Papua Barat mengajukan uji materi ke MK.

Data Survei

Saat menerima delegasi MRP dan MRPB, Presiden didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menko Polhukam Mahfud, Mendagri Tito, dan Deputi V KSP Jaleswari. Selain Timotius, hadir dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi adalah Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I MRP), Benny Sweny (Ketua Panitia Musyawarah MRP), Joram Wambrauw (tenaga ahli MRP), dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Dari MRP Papua Barat, hadir antara lain Maxsi Nelson Ahoren.

KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Deputi V Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Strategis Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardhani di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (25/4/2019).

Jaleswari menegaskan, pembentukan daerah otonomi baru (DOB) merupakan isu strategis pemerintahan, yang bertujuan menjawab masalah kemiskinan, percepatan pembangunan kesejahteraan rakyat, dan pembangunan di daerah. Kebijakan DOB juga untuk memperpendek jangkauan pelayanan publik, mempercepat pembangunan, memotong kemahalan, dan menyelesaikan kesulitan akses pelayanan publik dari kabupaten ke tingkat provinsi.

”Dalam konteks pembangunan Papua dan Papua Barat, kebijakan ini untuk menjamin pemerataan kesejahteraan dan pembangunan Papua dengan mempertimbangkan kondisi geografis,” kata Jaleswari.

Dihubungi terpisah, Usman membenarkan bahwa memang Presiden menyampaikan soal survei yang menunjukkan 82 persen orang di Papua setuju pada pemekaran wilayah. Namun, Usman mempertanyakan soal siapa yang melakukan survei dan bagaimana metodologinya. ”Itu menjadi pertanyaan, kami tidak sempat mempertanyakan itu karena dalam forum resmi tadi cukup terbatas, tapi dalam pertemuan informal kami sampaikan,” kata Usman.

Usman meminta pemerintah untuk memperjelas data survei yang tidak tecermin dalam realitas sosial di Papua yang mayoritas menunjukkan penolakan. ”Saya kurang sependapat dengan Pak Mahfud bahwa banyak yang mendukung pemekaran daripada yang menolak. Penolakan begitu masif bahkan telah disampaikan secara resmi oleh DPR Papua kepada DPR RI. Bahwa hampir seluruh lapisan masyarakat di Papua menolak pemekaran provinsi, bukan karena menolak langsung tapi karena tidak melalui persetujuan MRP,” tambahnya.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Usman Hamid

Menurut Usman, Presiden Jokowi mengatakan masih sangat terbuka untuk masalah pemekaran provinsi dan mempersilakan MRP melanjutkan pembicaraan dengan menteri terkait. ”Jika masih ada ketidakpuasan, saya (Presiden) masih membuka diri untuk membicarakan masalah ini dan kami (pemerintah) sangat menghormati putusan MK dan kami akan patuh pada MK. Begitu kata Presiden,” ujar Usman.

Terkait data 354 permohonan pemekaran, Usman menyebut bahwa Presiden mengatakan permintaan itu tidak dikabulkan oleh pemerintah karena pemekaran provinsi bukanlah perkara yang mudah. Pemekaran provinsi harus memperhitungkan APBD setempat dan jangan sampai menjadi beban dari APBN.

”Itu konteks pernyataan Presiden. Memang pernyataan dan data masih menyisakan pertanyaan mengapa seluruh pemerintahan provinsi di Indonesia ditolak oleh pemerintah karena alasan ekonomi karena kurangnya dana fiskal negara untuk membiayai, tapi justru Papua seperti dipaksakan,” tambahnya.

Usman juga mengapresiasi pernyataan Presiden yang akan menghormati keputusan MK. ”Karena sebelum bertemu Presiden ada kesan para pembantu Presiden mengatasnamakan Presiden bahwa pemekaran harus jalan terus. Dengan pernyataan Presiden maka sebaiknya pemekaran ditangguhkan, itu sebenarnya sesuatu yang baru karena kita tidak pernah dengar ucapan langsung dari Presiden apakah DOB ini benar benar putusan Presiden begitu,” ucapnya.

Seusai pertemuan, Usman juga menyampaikan secara langsung kepada Presiden tentang laporan terbaru Amnesty yang menunjukkan memanasnya situasi di Papua, khususnya Intan Jaya. ”Saya utarakan juga kepada Presiden tentang meningkatnya kehadiran pasukan militer seiring dengan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di Intan Jaya, Papua,” katanya.