Upaya Pembentukan Tiga Provinsi Baru di Papua Bergulir di DPR
Tiga RUU daerah otonom baru di Papua akan segera dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk mendapat persetujuan menjadi RUU inisiatif DPR. Namun, upaya pemekaran wilayah ini dinilai tak tepat dilakukan saat ini.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kebijakan moratorium pemekaran daerah, DPR mengusulkan pembentukan tiga provinsi baru di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. Mayoritas fraksi di DPR meminta agar pemekaran ini tetap harus menjamin hak-hak orang asli Papua. Sementara itu, Majelis Rakyat Papua menolak usulan tersebut karena tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan.
Rencana pembentukan tiga daerah otonom baru (DOB) Papua diatur di RUU tentang Papua Selatan, RUU tentang Papua Tengah, dan RUU tentang Papua Pegunungan Tengah. Ketiga RUU ini disetujui untuk diusulkan menjadi RUU inisiatif DPR setelah melewati tahapan harmonisasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama dengan pengusul RUU, yakni Komisi II DPR, Rabu (6/4/2022).
Selanjutnya, ketiga RUU tersebut akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk mendapat persetujuan dari seluruh anggota DPR. Setelah itu, akan diserahkan kepada presiden untuk dibahas lebih lanjut bersama pemerintah.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi saat dihubungi di Jakarta, Kamis (7/4/2022), mengatakan, sebenarnya ada tujuh usulan daerah yang akan dimekarkan. Namun, sejauh ini baru tiga daerah terlebih dahulu yang akan dibentuk sesuai dengan usulan Komisi II DPR.
”Jadi, pelan-pelan, step by step. Lagi pula, persoalannya kemudian, Baleg menyelesaikan harmonisasi tiga RUU, dua RUU, atau satu RUU, itu sesuai proses dinamika politik. Kemampuan kami juga ada batasnya karena juga harus menyelesaikan RUU-RUU lain,” ujar Baidowi.
Baca juga: Revisi UU Disahkan, Otonomi Khusus Papua Diperkuat
Dari tujuh usulan RUU pembentukan DOB di Papua, enam di antaranya diusulkan oleh Komisi II DPR. Enam RUU berkaitan dengan Provinsi Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan Tengah, Papua Barat, dan Papua Barat Daya. Kemudian, satu usulan RUU dari anggota Baleg adalah RUU Kepulauan Papua Utara.
Sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemekaran daerah diputuskan untuk dihentikan. Situasi keuangan negara yang tidak memungkinkan kerap diutarakan sebagai dasar moratorium.
Menjamin hak orang asli Papua
Anggota Baleg dari Fraksi Gerindra, Yan Permenas Mandenas, menyampaikan, tujuan pemekaran ini guna mempercepat kesejahteraan masyarakat dengan mengoptimalkan potensi keunggulan masing-masing daerah. Hal ini mengingat sejumlah permasalahan yang muncul, yakni belum terwujudnya kesejahteraan masyarakat Papua sebagaimana provinsi lain di Indonesia.
Selain itu, pembentukan tiga DOB ini juga diharapkan dapat memperpendek jarak antara penduduk dan pusat pemerintahan. Dengan begitu, penduduk di masing-masing provinsi akan lebih diperhatikan, seperti diberikan kemudahan pelayanan publik, percepatan pembangunan, sarana-prasarana berkelanjutan, serta peningkatan program-program kesejahteraan rakyat.
Ia berharap, pembentukan provinsi tersebut tidak membebani keuangan dari kabupaten-kabupaten yang menjadi bagian dari wilayahnya. Keberadaan pemerintah kabupaten merupakan ujung tombak pembangunan di wilayahnya masing-masing sehingga akan berkurang kapasitasnya jika diharuskan memberikan dukungan dana kepada pemerintah provinsi selama dua tahun berturut-turut.
”Sebaiknya, pemerintah pusat yang mencukupi pendanaannya melalui penyelenggaraan pemerintahan provinsi baru tersebut melalui peningkatan dana alokasi otonomi khusus Papua,” katanya.
Yan juga mengingatkan, pembentukan dan pemekaran provinsi tersebut harus menjamin dan memberi ruang bagi orang asli Papua dalam aktivitas politik, pemerintahan, ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini juga diungkapkan oleh anggota Baleg dari Fraksi Demokrat, Santoso.
Santoso menambahkan, pembangunan di Papua harus berbasis kebudayaan orang asli Papua. Dengan begitu, persoalan-persoalan di Papua dapat diatasi dengan memperbaiki komunikasi antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua bersama pemerintah daerahnya.
Baca juga: Tunda Rencana Pemekaran Wilayah Papua
”Jangan sampai penentuan pemekaran wilayah dilakukan dengan tergesa-gesa yang menyebabkan kebijakan pembangunan di wilayah baru tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, pemekaran wilayah harus direncanakan secara matang,” katanya Santoso.
Melanggar hak
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengatakan, pemerintah pusat terkesan memaksakan kehendaknya untuk pemekaran Papua menjadi tiga daerah otonom baru. Padahal, aksi penolakan pemekaran oleh masyarakat di Papua marak terjadi sejak awal tahun ini.
Ia menilai, pemaksaan penetapan tiga daerah otonom baru ini akan berdampak besar bagi situasi keamanan di tanah Papua. Masyarakat yang menolak kebijakan tersebut akan menyuarakan aspirasinya sehingga dapat memicu terjadi konflik.
”Seharusnya, pemerintah pusat membuka ruang dialog dengan masyarakat Papua yang menolak kebijakan pemekaran. Terkesan kebijakan ini demi kepentingan para elite politisi lokal demi mendapatkan jabatan gubernur,” tutur Timotius.
Timotius juga meminta pemerintah pusat menunda pembahasan pemekaran Papua. Sebab, MRP tengah mengajukan gugatan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Salah satu poin revisi yang digugat MRP adalah Pasal 76 Ayat 2 yang berbunyi ”pemerintah dapat melakukan pemekaran daerah provinsi menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”.
”Saksi ahli dari pemerintah pusat akan menyampaikan pendapatnya dalam persidangan di MK pada tanggal 20 April. Kemungkinan sidang dengan agenda putusan atas gugatan kami akan terlaksana pada bulan depan," ucap Timotius.
Dari hasil pantauan terjadi penolakan pemekaran Papua secara masif di beberapa kabupaten dan kota seperti Jayapura, Nabire, Jayawijaya, Merauke Yahukimo, hingga Lanny Jaya. Aksi ini juga terjadi di daerah Papua Barat yakni Manokwari dan Kota Sorong.
Unjuk rasa penolakan daerah otonom baru di Distrik Deikai, ibu kota Kabupaten Yahukimo, berujung pada kerusuhan. Massa membakar 20 ruko dan dua kantor milik Pemda Yahukimo. Pihak kepolisian pun melepaskan tembakan yang menewaskan dua pendemo bernama Yakob Deal (30) dan Erson Weipsa (22). Sementara seorang anggota polisi yang terluka di bagian kepala adalah Briptu Muhammad Aldi.
Unjuk rasa penolakan di Nabire pada 31 Maret 2022 juga berakhir ricuh. Dua warga yang sedang melintas di lokasi unjuk rasa menjadi korban penganiayaan 20 orang. Para pelaku juga merampas sepeda motor dan telepon seluler milik korban.
Menimbulkan polarisasi
Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, berpendapat, ada sejumlah hal yang membuat pemekaran wilayah Papua saat ini tidak tepat. Pertama, saat ini uji materi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2021 sedang berlangsung di MK. Alhasil, jika Papua tetap dimekarkan dan MK nanti memenangkan gugatan MRP, maka pemekaran wilayah itu menjadi ilegal atau tidak memiliki kekuatan hukum.
Kedua, situasi Papua saat ini masih konflik. Artinya, kata dia, ada masalah yang belum selesai di Papua. Seharusnya, pemekaran dilakukan setelah konflik selesai. Penyelesaian itu bisa melalui dialog damai antara pemerintah dan masyarakat Papua.
”Jadi, kalau pemekaran tetap dilakukan di situasi sekarang, itu justru disebut pemaksaan. Pemerintah memaksakan pemekaran, sehingga akan menimbulkan polarisasi di grassroot, demo-demo di daerah, itu polarisasi. Polarisasi ini tidak akan optimal jika dipaksakan bahkan cenderung menimbulkan konflik baru dan distrust terhadap pemerintah pusat akan semakin menguat,” kata Cahyo.
Ketiga, pemekaran tidak tepat karena hingga saat ini moratorium pemekaran daerah belum dicabut. Seharusnya, kebijakan ini dicabut terlebih dahulu. Jika pemekaran dipercepat, hal ini justru akan menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat Papua bahwa ada motivasi politik dan ekonomi di balik pemekaran tersebut. ”Motivasi politik ini tentu akan memecah konsolidasi gerakan politik di Papua,” katanya.
Untuk itu, Cahyo menyarankan pemerintah dan DPR untuk menuntaskan ketiga persoalan tersebut terlebih dahulu sebelum memekarkan wilayah Papua. Ia juga mengingatkan, sebelum dilakukan pemekaran, perlu juga konsultasi publik di tujuh wilayah adat Papua. Pemerintah harus datang di rumah-rumah adat Papua atau disebut honai untuk menghadirkan suara tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh gereja setempat.
”Pemerintah dan DPR harus mau mendengar aspirasi dari yang mendukung dan menolak pemekaran. Semua suara harus didengar. Jadi sebelum RUU itu disahkan, perlu konsultasi publik. Jangan sampai seperti sekarang ini, tidak pakai konsultasi publik, sehingga akhirnya pemekaran ditolak,” ucap Cahyo.