Istana Tegaskan Tak Ada Anggaran untuk Isu Jokowi Tiga Periode
Sejumlah anggota Komisi II DPR mempertanyakan munculnya wacana Presiden Jokowi tiga periode ataupun penundaan Pemilu 2024. Tiga instansi pembantu utama presiden diminta tidak menggelontorkan anggaran negara untuk itu.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan tidak ada anggaran, baik di Kementerian Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, maupun Kantor Staf Presiden, untuk kegiatan-kegiatan terkait isu tiga periode jabatan presiden ataupun penundaan Pemilu 2024. Pernyataan Presiden Joko Widodo yang disampaikan berulang kali terkait isu tersebut pun dinilai sudah cukup jelas ditangkap publik.
”Pertama, tidak ada anggaran, baik di Setneg, Setkab, maupun KSP (Kantor Staf Presiden) mengenai hal ini, sehingga dengan demikian clear terhadap hal itu. Presiden telah empat kali menyampaikan kepada publik, yang terakhir tanggal 30 Maret (2022) di Borobudur. Saya yakin apa yang disampaikan oleh Presiden sudah cukup jelas ditangkap oleh publik,” kata Pramono Anung dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, di Jakarta, Senin (4/4/2022). Selain Pramono, rapat kerja Komisi II ini juga dengan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, KSP, dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dalam pernyataannya yang terakhir di Borobudur, Presiden menekankan pentingnya konstitusi ditaati dan dipatuhi. Konstitusi mengatur pembatasan dua periode jabatan presiden. Selain itu, pemilu harus digelar setiap lima tahun sekali.
Pramono juga menyampaikan bahwa mengamendemen konstitusi tidaklah mudah. ”Bahwa kemudian masih ada yang mencoba, namanya juga mencoba. Tetapi, kan kami tahu, untuk mengubah, apalagi melakukan amendemen Undang-Undang Dasar tidak mudah. Dan itu akan membuka kotak pandora ke mana-mana. Saya yakin ini menjadi pelajaran karena saya termasuk menjadi bagian di tahun 1999 ketika amendemen itu dilakukan,” ujarnya.
Ihwal harapan agar tidak ada anggaran negara, apalagi dari tiga instansi di lingkaran Presiden, yakni Kemensetneg, Sekretaris Kabinet, dan KSP, untuk isu Presiden Jokowi tiga periode atau penundaan pemilu, menjadi salah satu poin yang dilontarkan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera.
”Untuk Pak Pram (Pramono Anung), Pak Pratik (Pratikno), sama Pak Moeldoko ini saya barusan baca Kompas, ya, tentang (artikel berjudul) Sesepuh Bangsa. Profesor William Liddle ini mengatakan akan ada sidang umum untuk perpanjangan masa jabatan presiden,” kata Mardani sembari menunjukkan koran Kompas yang terbuka di lembar Opini halaman 7.
Mardani pun menyampaikan hal terkait Apdesi yang juga ditanyakan anggota Komisi II DPR lainnya. ”Kemarin, saya baca Kompas, full cerita tentang kronologisnya Apdesi tanggal 28 Maret diundang malam, acara tanggal 29. Pertanyaan saya kepada tiga pembantu utama Presiden, mudah-mudahan tidak ada anggaran digunakan untuk kegiatan-kegiatan isu tiga periode atau penundaan karena itu sangat-sangat bertentangan dengan konstitusi. Kalaupun isu itu ada, biarkan jadi isu elite yang akan diputuskan oleh para pimpinan partai,” jelasnya.
Mardani meminta jawaban dari tiga pembantu utama Presiden tersebut sehingga dirinya bisa menyampaikan kepada masyarakat bahwa tidak ada gerakan untuk tiga periode Presiden Jokowi. ”Ini penting karena Whatsapp-nya masuk terus nih Mas Pram. Di sini ada deklarasi, di sini ada deklarasi. Saya yakin tidak ada kaitan dengan tiga mitra utama kita di Komisi II untuk hal ini. Karena kemarin Kompas juga mendetailkan berapa banyak dana diperlukan untuk mengumpulkan sedemikian banyak orang dan lain-lain. Sehingga saya bisa dengan tegas menyampaikan kepada masyarakat,” kata Mardani.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ihsan Yunus, pada rapat kerja tersebut juga mempertanyakan soal deklarasi dukungan tiga periode yang dilakukan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesai (Apdesi) di bawah pimpinan Surta Wijaya.
”(Hal) Ini harus kami tanyakan karena salah satu dari fungsi Setneg adalah dukungan teknis, administrasi, dan analisis dalam penyelenggaraan hubungan dengan lembaga daerah. Ini berarti di tempat Bapak (Pratikno). Apakah ini memang sudah pernah dibahas? Bagaimana Bapak melihat isu ini? Bagaimana kemudian lembaga daerah bisa seolah-olah melaksanakan politik praktis seperti yang sudah dipertontonkan kepada kita semua?” kata Ihsan.
Terkait acara Apdesi, Pratikno menjelaskan bahwa saat acara tak ada deklarasi dukungan Presiden Jokowi tiga periode. Ia tahu persis karena turut hadir mendampingi Presiden saat itu.
”Bapak Presiden hadir di acara tersebut. Jadi, Bapak Presiden menerima undangan. Sebagai apresiasi terhadap desa, Pak Presiden hadir. Dan, perlu kami tegaskan, waktu Pak Presiden ada di ruang tersebut tidak ada pernyataan deklarasi apa pun. Jadi, kalaupun ada deklarasi, itu di luar pengetahuan kami, karena kami memang statusnya diundang dan deklarasi yang dilakukan, yang kami baca di media itu, dilakukan belakangan setelah kami meninggalkan tempat,” katanya.
Kerja bawah tanah
Secara terpisah, pakar kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat melalui rilis tertulis, Senin, menuturkan, ada kemungkinan acara seperti dilakukan Apdesi tersebut akan marak. ”Berbagai deklarasi elemen masyarakat diprediksi bermunculan untuk menyukseskan kampanye tiga periodenya presiden. Deklarasi tersebut adalah hasil kerja bawah tanah pembantu-pembantu presiden yang bekerja saat ini,” katanya.
Hidayat mengatakan, apabila propaganda tiga periode tersebut terus dilanjutkan, akan berbahaya untuk ekonomi, sosial, dan politik Indonesia. Indonesia akan memasuki krisis baru, yaitu krisis politik dan kepemimpinan. Manuver gerakan bawah tanah tersebut akan berdampak tiga hal.
Pertama, pemerintah akan kehilangan fokus kerja mengatasi persoalan ekonomi dan pemulihan kesehatan akibat Covid-19. ”Kedua, pemerintah akan memasuki social unrest terbaru dari kalangan sipil demokrasi yang menentang cita-cita otoritarian tersebut. Protes sosial seperti protes BEM, gerakan mahasiswa, dan LSM sudah bermunculan di sejumlah daerah,” kata Hidayat.
Pemerintah akan memasuki social unrest terbaru dari kalangan sipil demokrasi yang menentang cita-cita otoritarian tersebut. Protes sosial seperti protes BEM, gerakan mahasiswa dan LSM sudah bermunculan di sejumlah daerah.
Ketiga, pemerintah mengundang kontroversi politik di kalangan pimpinan partai politik koalisinya dan para menteri dari kalangan profesional. Hal ini membuat pemerintahan koalisi tidak solid dan rawan pecah kongsi.
Persoalan ekonomi, sosial, dan politik tersebut, menurut Hidayat, tidak mendukung stabilitas yang diperlukan untuk pemulihan akibat Covid-19. Ketiga persoalan tersebut berujung pada instabilitas yang akan menyusahkan rakyat.