Ide Perpanjangan Jabatan Presiden Terus Bergulir, Perlu Kolaborasi untuk Menghentikannya
Tidak adanya ketegasan presiden dan sikap pemerintah yang ambigu menyebabkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu terus bergulir. Padahal, wacana itu bertentangan dengan konstitusi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Spanduk yang mengkritisi wacana perpanjangan masa jabatan presiden terpasang di pinggir Jalan Deplu Raya, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Minggu (20/3/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Terus bergulirnya wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden memperlihatkan tipisnya semangat konstitusional dari sejumlah elite politik. Untuk menghentikan wacana tersebut, diperlukan kolaborasi berbagai elemen masyarakat untuk menyuarakan penolakan secara masif.
Yang terbaru, wacana perpanjangan masa jabatan presiden kembali mencuat dalam pertemuan ratusan kepala desa dan tokoh daerah di kediaman Mulyadi Jayabaya, Bupati Lebak (2003-2013), di Lebak, Banten, Kamis lalu. Dalam acara yang diikuti tokoh masyarakat, tokoh agama, camat, dan kepala desa dari 340 desa di Lebak tersebut, hadir pula Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut termasuk tokoh yang menggulirkan penundaan Pemilu 2024. Penundaan pemilu berarti bisa berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Firman Noor, ketika dihubungi, Sabtu (2/4/2022), mengatakan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dibutuhkan semangat untuk menghargai hukum dan konstitusi, alih-alih kebebasan berpendapat dan berekspresi. Konstitusi layaknya sebuah sumber mata air yang tidak dapat digali atau ditutup sembarangan. Pun ketika konstitusi diubah, hal itu memerlukan dasar dan pertimbangan yang kuat dari berbagai sisi, baik historis, filosofis, nilai kebangsaan, serta terkait semangat reformasi yang menjiwai konstitusi saat ini.
”Jadi, yang mengkhawatirkan adalah hilangnya semangat konstitusionalisme kita sebagai bangsa dalam kehidupan berpolitik. Kalau semangat konstitusionalisme itu tipis dan hilang, menjadi berbahaya karena akan mudah melakukan tindakan untuk mengganti konstitusi sekehendak kepentingan pribadi,” kata Firman.
Aliansi Mahasiswa Indonesia berunjuk rasa menolak perpanjangan masa jabatan presiden di Jakarta, Jumat (1/4/2022).
Menurut Firman, pernyataan segelintir elite politik, termasuk pernyataan presiden dalam menanggapi wacana perpanjangan masa jabatan presiden, memperlihatkan semangat konstitusional yang salah kaprah. Bahkan, pernyataan Presiden Joko Widodo pada 4 Maret lalu yang menyatakan bahwa harus tunduk, patuh, dan taat pada konstitusi dinilai sebagai tikaman dari belakang. Sebab, pernyataan itu menyiratkan pesan bahwa melanggar konstitusi itu boleh sejauh dilakukan secara konstitusional melalui amendemen konstitusi. Padahal, amendemen terhadap konstitusi tidak boleh sembarangan.
Di sisi lain, kata Firman, pemerintah seolah tidak punya posisi yang jelas ketika dihadapkan pada dua ekspresi politik, antara yang mendukung wacana perpanjangan masa jabatan dengan yang menolaknya. Respons pemerintah hingga saat ini tampak ambigu dan menempatkan wacana itu sebagai bagian dari kebebasan berpendapat. Jika wacana itu menguat, hal itu bisa dianggap sebagai yang benar. Dampak lainnya, hal itu akan menimbulkan potensi konflik.
”Sebenarnya, kalau semangat konstitusional pemerintah itu kuat, wacana perpanjangan masa jabatan presiden itu dapat dengan mudah ditolak. Pemerintah punya peran memberikan ruang chaos ke depan akibat kebijakan dan sikapnya yang justru memicu perdebatan di masyarakat,” tutur Firman.
Menurut Firman, terus digulirkannya wacana tersebut perlu direspons dengan wacana penolakan melalui cara-cara yang konstitusional dan demokratis. Hingga saat ini, banyak elemen di negeri ini yang telah menyatakan penolakan, seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), beberapa partai politik, lembaga swadaya masyarakat, para akademisi, masyarakat sipil, hingga mahasiswa. Elemen-elemen tersebut perlu berkolaborasi untuk mewacanakan penolakan sekaligus membongkar alasan wacana perpanjangan masa jabatan presiden hanya berujung pada kepentingan segelintir orang.
KOMPAS/INGKI RINALDI
Firman Noor
”Terus saja mengemukakan wacana penolakan dengan lebih masif dan menggelora dan menyampaikan deklarasi umum yang menyatakan penolakan,” ujar Firman.
Melihat tahapan pemilu
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati berpandangan, selama tidak ada ketegasan dari presiden untuk memberikan teguhan kepada bawahannya dan meluruskan wacana yang menabrak konstitusi itu, maka wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu akan terus muncul. Terlebih, presiden menempatkan wacana itu sebagai bagian dari demokrasi, yakni siapa pun boleh menyuarakan aspirasi.
Di sisi lain, meskipun Pemilu 2024 sudah disepakati untuk dilaksanakan pada 14 Februari 2024, hingga kini anggaran penyelenggaraan pemilu bagi Komisi Pemilihan Umum beserta sejumlah peraturan KPU sebagai acuan penyelenggaraan Pemilu 2024 belum tersedia. Padahal, tahapan pemilu akan dimulai 20 bulan sebelum Pemilu 2024, yakni pada Juni mendatang.
”Tahapan pemilu belum ada kepastian, lalu anggaran pemilu belum dialokasikan, dan itu membuat publik beropini, jangan-jangan ada arah penundaan. Kalau sampai Juni soal anggaran dan PKPU tahapan belum ada kepastian, kita patut khawatir dengan kelanjutan tahapan pemilu,” tutur Khoirunnisa.
Warga memasukkan surat suara ke kotak suara di Tempat Pemungutan Suara 30 Kelurahan Cibodasari, Cibodas, Tangerang, Banten dalam Pemilu 2019, Rabu (17/4/2019).
Dalam situasi saat ini, Khoirunnisa berharap agar publik terus bersuara untuk menolak wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan. Selain itu, perlu diingat kembali alasan pemilu di konstitusi telah diamanatkan untuk dilakukan dalam lima tahun sekali dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode. Sebab, berkaca dari pengalaman masa lalu, jika kekuasaan tidak dibatasi, akan menjadi tidak terkontrol.
Sementara itu, Ketua Majelis Syura Partai Ummat Amien Rais, melalui akun media sosialnya, menyatakan, duet Joko Widodo dengan Luhut Binsar Pandjaitan telah menjadi simbol dan substansi rezim yang berkuasa saat ini. Rezim ini harus berakhir pada Oktober 2024.
”Jadi, setelah itu, tidak boleh lagi dua oknum ini lantas menggerakkan berbagai macam cara, kumpulkan tekad ala Orde Baru dulu. Kita masih terngiang-ngiang bagaimana rakyat kita kadang-kadang dibodohi, tapi juga ditekan, diancam untuk mengegolkan sebuah tujuan politik yang sebetulnya jahat,” tutur salah satu tokoh Reformasi 1998 ini.
Menurut dia, karena ambisi terhadap kekuasaan tersebut, rezim saat ini disebutnya sebagai rezim paranoid. Salah satu cirinya adalah tidak pernah merasa aman dan berupaya menutupi kelemahannya dengan cara menggertak, mengancam, mengerahkan massa secara masif, hingga merasa menjadi satu-satunya pihak yang dapat menyelamatkan bangsa ini.