Soal Dukungan Perpanjangan Jabatan Presiden, Istana Meminta agar Publik Tak Merespons Berlebihan
Pihak Istana meminta agar publik tak panik jika ada kelompok masyarakat mendukung perpanjangan masa jabatan Presiden. Namun, pengamat politik menilai tetap perlu ada ketegasan dari Presiden untuk hentikan wacana itu.
JAKARTA, KOMPAS — Istana meminta masyarakat tidak memberikan respons yang berlebihan terhadap dukungan perpanjangan jabatan presiden/wakil presiden. Respons berlebih dikhawatirkan justru membuat gerakan-gerakan tersebut kian berkembang. Istana pun kembali menolak gerakan-gerakan itu dikaitkan dengan Presiden Joko Widodo.
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin, yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (3/4/2022), mengatakan, publik tidak usah panik jika ada kelompok masyarakat yang memberikan dukungan atau pendapatnya di ruang publik terkait perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden. Sebab, respons yang berlebihan justru akan membuat dukungan-dukungan itu terus berkembang.
”Tidak usah panik, tidak usah kebakaran jenggot, biasa-biasa saja. Karena kalau semakin ditekan dan ditentang begitu keras, mereka justru akan terus berkembang, tersebar ke mana-mana,” katanya.
Dalam sepekan terakhir, wacana perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden masih terus digulirkan di kalangan kepala desa dan perangkat desa. Dukungan itu muncul dalam Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia atau Apdesi di Jakarta pada Selasa (29/3/2022).
Dua hari berselang, Kamis (31/3/2022), sekitar 3.000 orang yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, camat, dan kepala desa dari 340 desa di Lebak hadir dalam pertemuan ratusan kepala desa dan tokoh daerah di Lebak, Banten. Dalam pertemuan tersebut, mengemuka ide menunda Pemilu 2024 yang berimbas pada perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden.
Di kedua acara tersebut dihadiri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang pernah melontarkan wacana penundaan pemilu. Pada Jumat (11/3/2022) lalu, dalam perbincangan di siniar (podcast) yang diunggah di akun Youtube Deddy Corbuzier, Luhut mengklaim telah menangkap suara publik yang meminta penundaan pemilu.
Baca Juga: Ide Perpanjangan Jabatan Presiden Terus Bergulir, Perlu Kolaborasi untuk Menghentikannya
Menurut Ngabalin, publik tidak perlu mengkhawatirkan dukungan perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden. Sebab, konstitusi sudah mengatur masa jabatan dibatasi dua periode dan hingga saat ini tidak ada amendemen terhadap aturan tersebut. Dukungan perpanjangan masa jabatan melalui deklarasi maupun pemasangan spanduk di beberapa daerah merupakan bentuk kebebasan berekspresi di negara demokrasi yang dilindungi undang-undang.
”Jangan ada yang menghalangi setiap orang berpendapat di ruang publik karena bisa jadi senjata makan tuan,” tuturnya.
Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini mengatakan, keinginan masyarakat untuk perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden sebaiknya tidak dikaitkan dengan Presiden Joko Widodo. Apalagi Indonesia telah memiliki konstitusi yang menjadi acuan dalam bernegara, termasuk pembatasan masa jabatan presiden hanya maksimal dua periode.
”Masalah isu perpanjangan, jangan semuanya dikaitkan dengan maunya Presiden. Kita punya sistem dan ketatanegaraan yang berjalan,” ujarnya.
Menurut Faldo, dukungan sebagian masyarakat terhadap perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden sebaiknya dibiarkan menjadi dinamika dalam demokrasi. Sebab, sikap dan opini setiap orang harus dilindungi oleh negara. ”Sikapnya sejalan atau tidak dengan pemerintah, itu urusan lain. Tugas negara melindungi hak berpendapat setiap warga negara,” kata Faldo.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Andreas Hugo Pareira menilai, gerakan dukungan perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden yang terus mengalir menguatkan dugaan ada kekuatan elite tertentu dalam lingkaran kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi yang terlibat.
Ada kekuatan elite
Sementara itu, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Andreas Hugo Pareira menilai, gerakan dukungan perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden yang terus mengalir menguatkan dugaan ada kekuatan elite tertentu dalam lingkaran kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi yang terlibat. Mereka menggunakan pola-pola rekayasa mobilisasi dukungan untuk memberi legitimasi perpanjangan masa jabatan kekuasaan.
”Gerakan-gerakan rekayasa mobilisasi seperti ini tidak akan mendapat dukungan rakyat. Saya kira akan mati dengan sendirinya, selama publik tidak merespons,” tutur Andreas.
Baca Juga: Luhut Kembali Terlihat Saat Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Disuarakan di Lebak
Politikus PDI-P Andreas Hugo Pareira saat ditemui di ruangannya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Jika ada elite di lingkaran kekuasaan terlibat, namun di luar tugas, pokok, dan fungsinya, lanjutnya, seharusnya pimpinan menegur tindakan tersebut. Sebab, gerakan-gerakan itu justru kontraproduktif dalam membangun proses politik yang demokrastis konstitusional. Elite pun diharapkan tetap bekerja sesuai tugas yang diamanatkan masing-masing.
Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti mengingatkan agar Menko Maritim Luhut tidak meneruskan polemik penundaan pemilu 2024 dan gerakan dukungan perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden. Sebab, polemik tersebut berpotensi memicu peningkatan kemarahan publik. Apalagi, sentimen publik sedang dipengaruhi persoalan ekonomi karena harga sejumlah komoditas naik.
”Demi kebaikan bangsa dan negara, saya ingatkan agar Menko Luhut tidak meneruskan polemik ini. Selain melanggar aturan benegara, polemik ini membahayakan bangsa Indonesia. Indikasi kemarahan publik mulai terlihat jika ini diteruskan,” ujarnya.
La Nyalla mengklaim, dukungan perpanjangan masa jabatan presiden yang dilakukan oleh beberapa kepala desa pekan lalu justru menurunkan tingkat kegembiraan masyarakat. Berdasarkan analisis mahadata yang dimilikinya, kecenderungan masyarakat yang senang dengan deklarasi Jokowi tiga periode turun dari 28 persen menjadi 23 persen.
”Bulan Maret lalu saya sudah ingatkan Luhut soal klaim 110 juta pengguna media sosial membahas penundaan Pemilu 2024 dan adanya potensi kemarahan publik. Saat itu, skor emosi marah publik mencapai angka 8 persen dan saat ini skor marah publik meningkat menjadi 12 persen. Jika skor potensi kemarahan publik ini terus meningkat, tidak tertutup kemungkinan aksi turun ke jalan akan meluas,” tuturnya.
Baca Juga: Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Picu Perpecahan
Kuncinya di Presiden
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan, kunci menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan presiden ataupun presiden tiga periode sebenarnya ada pada Presiden Joko Widodo.
Presiden perlu secara tegas dan hitam putih bahwa dirinya tidak menolak tiga periode, serta akan memecat oknum di pemerintahan yang terlibat dalam pengguliran isu atau wacana tersebut.
”Sebenarnya kegaduhan ini bakal selesai kalau Presiden
ngomong
hitam putih dan menegur orang-orang yang punya indikasi mendukung Gerakan tiga periode ini. Kalau dibiarkan, akan liar. Yang sekarang terjadi ini kan pembiaran,” ujarnya.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan, kunci menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan presiden ataupun presiden tiga periode sebenarnya ada pada Presiden Joko Widodo.
Presiden Jokowi memang sudah menegaskan bahwa dirinya taat dan patuh pada konstitusi. Pernyataan tersebut diungkapkan pada 30 Maret lalu. Hal itu disampaikan setelah Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menyerukan dukungannya untuk Jokowi menjabat tiga periode dan akan mendeklarasikan dukungan itu setelah Lebaran.
Menurut Adi, pernyataan Presiden tersebut tidak jelas. ”Kalau taat konstitusi, tegak lurus pada konstitusi, ya itu jawaban anak kuliahan. Dan bukan jawaban itu yang diinginkan rakyat,” tambahnya.
Baca Juga: PDI-P Minta Wacana Penundaan Pemilu 2024 Distop, Presiden Jokowi Tekankan Konstitusi Harus Dipatuhi
Wacana jabatan presiden/wakil presiden tiga periode yang dilontarkan oleh Apdesi atau disampaikan oleh elemen masyarakat lain, seperti ulama, pengusaha, dan lain-lain, menurut Adi, sebenarnya tak perlu ditanggapi dengan terlampau serius. Sebab, gerakan presiden tiga periode bisa bilang sebagai gerakan politik yang setengah-setengah atau gerakan amatiran. Elite yang mengusung tiga periode tidak menampakkan diri, bersembunyi di balik layar, tetapi bergerilya menggerakkan orang.
”Meski orang sebenarnya tahu siapa elite ini, tetapi kalau emang gentlemen tunjukkan dong jenis kelamin politiknya. Tunjukkan batang hidungnya, menyampaikan gagasan tiga periode dengan argumen-argumen yang masuk akal. Bukan argumen sampah. Kan jabatan tiga periode ini argument sampah, tingkat kepuasanlah. Kelanjutan pembangunan. Itu argumen sampah. Setiap presiden bisa bangun narasi dan argumen itu,” katanya.
Yang perlu diwaspadai adalah ketika wacana tersebut disampaikan oleh partai politik. Sebab, partai inilah yang memiliki kekuatan melalui wakilnya di DPR/MPR untuk melakukan amendemen konstitusi.
Meskipun demikian, hal tersebut menimbulkan instabilitas politik yang dapat menimbulkan kekhawatiran para investor yang datang ke Indonesia. Seharusnya, pemerintah belajar dari fakta bahwa terdapat beberapa investor yang hengkang dari IKN. ”Saya yakin salah satu faktornya adalah instabilitas politik yang tidak menentu. Kalau terus-menerus ada wacana tiga periode, siapa yang mau investasi dan menanam duitnya di Indonesia,” tambahnya.
Selain itu, ia menengarai mulai adanya sentimen negatif terhadap pemerintah saat ini. Tekanan ekonomi yang parah pasca-pandemi Covid-19, kemudian disusul dengan persoalan minyak goreng yang langka kemudian ada kembali, tetapi harganya mahal, solar yang langka disusul dengan kenaikan harga pertamax, masyarakat semakin sebal. ”Apalagi, misalnya, ada sejumlah oknum menteri yang berdakwah dan mengampanyekan tiga peridoe semau-maunya, publik sangat marah,” katanya.
Andaipun wacana tiga periode berhasil, Adi Prayitno bahkan tidak yakin Jokowi bisa memenangi Pemilu 2024.
Baca Juga: Publik Menolak Usulan Penundaan Pemilu 2024
Sementara itu, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, wacana perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode tidak akan mungkin terlaksana. Sebab, selain ide tersebut melanggar amanat reformasi, mayoritas partai politik dan juga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pasti menolak gagasan tersebut.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 tersebut juga menyarankan agar presiden memberi arahan kepada Menko Polhukam untuk memastikan Menteri Dalam Negeri dan Kepolisian Negara RI beserta seluruh jajarannya untuk melarang semua jenis kegiatan seperti deklarasi tiga periode. Larangan tersebut bisa dilakukan dengan alasan sebagai kegiatan yang menjerumuskan Presiden.
Agar Presiden memberi arahan kepada Menko Polhukam untuk memastikan Menteri Dalam Negeri dan Kepolisian Negara RI beserta seluruh jajarannya untuk melarang semua jenis kegiatan seperti deklarasi tiga periode.
Terkait dengan elite pemerintahan yang diduga mendukung tiga periode, Jimly punya pandangan sendiri. Menurut dia, pejabat-pejabat tersebut tidak bermaksud untuk mengupayakan masa jabatan presiden saat ini menjadi tiga periode. ”Kecuali omongan lepas, ceplas-ceplos saja. Tapi, karena dinilai sangat dekat dengan orang nomor satu, maka yang jarang ketemu Bos menafsir sendiri, lebih-lebih massa di bawah yang carmuk (cari muka),” ujarnya.
Oleh karena itu, agar wacana tidak menjadi semakin liar, Jimly mengusulkan perlunya melembagakan kegiatan bernegara dalam tindakan dan keputusan oleh pejabat berwenang untuk itu. Pemilu adalah urusan politik hukum dan keamanan, bukan yang lain.