MK Diminta Perintahkan Presiden Menunda Pemberlakuan UU IKN
MK telah menerima setidaknya sembilan permohonan uji formil UU No 3/2022 tentang Ibu Kota Negara. Pemohon uji formil juga meminta MK untuk memerintahkan penundaan keberlakuan UU IKN.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta memerintahkan Presiden RI untuk menunda keberlakuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara sampai ada putusan atas uji formil terhadap proses pembentukan undang-undang tersebut. Sebagian kalangan menilai proses pembentukan UU IKN cacat formil.
Permintaan penundaan keberlakuan UU IKN tersebut penting agar apabila produk hukum tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, tidak ada anggaran negara yang sia-sia karena telah dipergunakan untuk pembangunan.
Permintaan tersebut tercantum dalam berkas permohonan uji formil UU IKN yang didaftarkan Walhi dan AMAN, serta dibenarkan oleh salah satu kuasa hukum mereka, Muhammad Amran, Jumat (1/4/2022).
Berbarengan dengan pendaftaran Walhi dan AMAN, seorang guru di Jakarta Pusat, Anah Mardianah, juga mengajukan uji formil UU IKN ke MK. Dengan demikian, hingga Jumat, MK telah menerima setidaknya sembilan permohonan uji formil UU IKN. Adapun tujuh permohonan lainnya diajukan antara lain oleh Poros Nasional Kedaulatan Negara (Abdullah Hehamahua dkk), Azyumardi Azra dan kalangan akademisi lainnya, serta sejumlah perorangan, seperti Sugeng, Herifuddin Daulay, Mulak Sihotang, Damai Hari Lubis, dan Phiodias Marthias.
Dalam berkas permohonan yang disampaikan, AMAN dan Walhi di antaranya mempersoalkan tentang pembentukan UU IKN yang tidak mengakomodasi partisipasi publik dalam arti sesungguhnya atau meaningfull participation. Adapun partisipasi publik yang bermakna merupakan amanat dari putusan nomor MK 91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian formil UU Cipta Kerja.
Ada tiga prasyarat suatu partisipasi bermakna, yaitu terpenuhinya hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapatnya. Ini khususnya untuk kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap RUU yang dibahas.
Menurut para pemohon, partisipasi dalam arti sesungguhnya tidak terpenuhi dalam pembentukan UU IKN karena tidak ada pelibatan kelompok masyarakat yang terdampak langsung, yaitu masyarakat adat yang tinggal wilayah calon IKN. Di dalam naskah akademik RUU IKN disebutkan, setidaknya terdapat tujuh suku asli di wilayah calon IKN, yaitu suku Paser, suku Kutai, suku Bajau, suku Dayak Basap, suku Dayak Kenyah, suku Dayak Benuaq, dan suku Dayak Tunjung.
Suku-suku tersebut berpotensi mengalami dampak sosial ekonomi, yaitu hilang mata pencarian dan tempat tinggal. Selain itu, di wilayah IKN terdapat 17 komunitas masyarakat adat di Kabupaten Penajam Paser Utara, 33 komunitas masyarakat adat di Kabupaten Kutai Kertanegara, dan komunitas masyarakat adat lainnya.
AMAN dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panitia Khusus RUU IKN mengusulkan perlunya konsultasi publik secara lebih luas kepada masyarakat-masyarakat adat tersebut. Namun, hingga RUU IKN disahkan menjadi UU pada 18 Januari 2022, hal itu tidak dilaksanakan. Tidak ada satu pun masyarakat adat dari beberapa suku tersebut yang diundang ataupun terlibat dalam pembahasan RUU.
”Hal ini menunjukkan bahwa derajat partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU IKN adalah derajat semu (degrees of tokenism), yakni pengambil kebijakan hanya sekadar berjanji melaksanakan aspirasi publik, tetapi pihak berkuasa tidak mempertimbangkan apalagi mengakomodasi aspirasi publik, bukan meaningful participation,” kata Amran.
UU tersebut juga dinilai bertentangan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Bangsa ini tengah fokus pada penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi akibat pandemi. Tidak ada sebuah kegentingan yang memaksa perlunya pemindahan ibu kota negara, tidak adanya partisipasi publik yang bermakna serta tidak terpenuhinya asas kedayagunaan dan kehasilgunaan juga menjadi salah satu alasan diajukannya uji formil UU IKN oleh beberapa pemohon lain.
Pendidikan politik
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas saat dihubungi secara terpisah mengungkapkan, ia membersamai aktivis lingkungan dan pihak yang punya kepedulian terhadap masyarakat adat sebagai sebuah kesadaran simbolik bahwa kelompok masyarakat sipil tersebut punya peran yang besar dalam prospek keadaban. Ia turut mengajukan uji formil UU IKN sebagai pribadi, bukan sebagai salah satu pimpinan ormas Islam Muhammadiyah.
Ia memang tidak terlalu optimis terhadap pengajuan uji formil UU IKN tersebut. Ia bahkan tidak terlampau percaya dengan MK pada saat ini. ”Ini semata sebagai keterpanggilan untuk pendidikan politik terhadap rakyat sebagai sapi perah politik agar tidak menyerah pada rezim serakah,” ungkapnya.
Ketua Tim Komunikasi IKN Sidik Pramono mengungkapkan, pemerintah melakukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk mempersiapkan bahan dan argumentasi guna disampaikan di hadapan MK. Khususnya keterangan bahwa proses dan substansi UU IKN tersebut telah sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait dengan permintaan penundaan keberlakuan UU IKN, Sidik mengungkapkan bahwa UU tersebut merupakan produk hukum yang sah. Karena itu, pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan UU IKN, dan terutama terkait dengan pembangunan IKN yang terus dilakukan.