Hakim MK Meminta Pisahkan Uji Formil dan Materiil UU IKN
Mahkamah Konstitusi kembali menyidangkan perkara permohonan uji formil dan uji materiil UU Ibu Kota Negara. Kali ini sidang digelar untuk permohonan yang diajukan cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra, dan lainnya.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hakim panel Mahkamah Konstitusi menilai permohonan uji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Ibu Kota Negara yang diajukan oleh Azyumardi Azra dan 20 orang lainnya kabur dan tidak jelas dalam petitumnya. Pemohon diminta untuk memperbaiki format permohonan dengan memisahkan pengujian formil dengan materiil atau menggabungkannya, tetapi dengan menggunakan model alternatif.
”Kalau petitum seperti ini, MK bisa mengatakan permohonan kabur. Karena Saudara sendiri tidak yakin dengan permohonan Saudara. Kalau yakin (uji) formil, mestinya betul-betul merugikan pemohon dan bahwa undang-undang dibentuk tidak berdasarkan aturan perundang-undangan. Tapi Anda ragu, makanya Anda lapis dengan uji materiil. Kalau tidak menggunakan alternatif, kabur permohonannya. (Sebab) Di satu sisi, minta dibatalkan karena proses pembentukannya, tapi pada sisi lain mengakui proses pembuatannya dengan minta koreksi beberapa pasal. Jadi, tidak konsisten,” ujar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto, yang menjadi ketua panel pemeriksaan pendahuluan, dalam sidang di MK, Kamis (24/3/2022).
Permohonan yang diregistrasi dengan nomor 34/PUU-XX/2022 tersebut diajukan, antara lain, oleh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra; Nurhayati Djamas; dan Didin S Damanhuri. Mereka didampingi oleh kuasa hukum Ibnu Sina dan kawan-kawan. Perkara itu disidangkan oleh majelis panel yang terdiri dari Aswanto, Manahan MP Sitompul, dan Daniel Yusmic P Foekh.
Menurut kuasa hukum pemohon, Ibnu Sina, kliennya merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas pembentukan UU IKN. Proses pembentukan UU tersebut menafikan hak konstitusional pemohon untuk memperoleh akses informasi yang bermakna.
Pemohon mengutip putusan 91/PUU-XVIII/2020 yang mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningfulparticipation) dalam suatu pembentukan undang-undang. Tiga prasyarat yang harus dipenuhi agar sebuah partisipasi disebut bermakna adalah hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Diakui oleh para pemohon bahwa pembentuk undang-undang telah meminta masukan dari berbagai pihak, baik pakar hukum tata negara, pakar hukum lingkungan dan tata kota, pakar pemerintahan, maupun lainnya. Menurut Ibnu Sina, beberapa narasumber yang dihadirkan itu nyatanya mempersoalkan agar pembentukan UU IKN disusun secara tidak berburu-buru, perlu partisipasi publik khusus bagi yang terdampak, dan bahkan perlu studi kelayakan yang cukup.
Namun, pendapat narasumber tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kriteria pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Sementara hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan mendapatkan pejelasan atau jawaban atas pendapatnya tidak mampu dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Pendapat narasumber tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kriteria pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya ( right to be heard). Sementara hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan mendapatkan pejelasan atau jawaban atas pendapatnya tidak mampu dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Pemohon mencatat setidaknya ada sembilan pendapat ahli yang disebutkan tidak dipertimbangkan, di antaranya pendapat Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia Arief Anshory Yusuf yang disampaikan 12 Desember 2021. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, itu mengemukakan, ”Naskah akademik (RUU IKN) bisa jauh lebih kredibel jika lebih banyak referensinya dan mengacu pada studi-studi ilmiah kredibel (peer-reviewed journals). Terutama dampaknya terhadap tujuan pemerataan pembangunan (atau lainnya). Perlu lebih jelas, pemerataan pembangunan apa yang ingin dicapai. Vertikal? Antar-regional? Perlu analisis mendalam tentang potensi peningkatan pemerataan tersebut. Saat ini masih lemah.”
Ada pula pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto yang disampaikan pada 11 Desember 2021. Ia mengungkapkan, ”Terkesan adanya semacam disparitas antara substansi naskah akademik (NA) dan RUU. Misalnya, dalam NA ada peninjauan historis sehingga bisa didapatkan potret permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta yang selama ini menjalankan fungsi ganda, yaitu sebagai daerah otonom provinsi dan sebagai ibu kota negara, di mana hal ini antara lain bersumber pada kebiasaan dalam sejarah kolonialisme di Nusantara. Namun, dalam naskah RUU belum ditemukan suatu penegasan bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut….”
Sementara itu, dalam permohonan uji materiil, para pemohon mempersoalkan Pasal 1 Ayat (2) UU IKN yang mengatur bahwa IKN adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi. Namun, dalam Pasal 4 UU IKN diatur bahwa otorita IKN sebagai lembaga setingkat kementerian. Pasal 5 Ayat (4) mengatur kepala otorita IKN berkedudukan setingkat menteri, ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.
KOMPAS/SUCIPTO
Berbagai material untuk membangun Jalan Lingkar Sepaku tertumpuk di salah satu sudut jalan di lahan yang akan dibangun menjadi IKN Nusantara di kawasan PT ITCI Hutani Manunggal, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (16/2/2022).
Menurut Ibnu Sina, format demikian bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan provinsi dibagi atas kabupaten/kota. UU IKN menyebut Nusantara sebagai satuan pemerintah daerah khusus yang setingkat provinsi. ”Adanya frasa setingkat provinsi menunjukkan bahwa format ibu kota negara menurut UU IKN bukan provinsi,” katanya.
Ia juga mempertanyakan otorita IKN yang dinyatakan sebagai lembaga setingkat kementerian. ”Hal ini bertentangan dengan nomenklatur jabatan kepala daerah menurut Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menggunakan nomenklatur jabatan gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang dipilih secara demokratis. Maka dengan demikian, apakah ibu kota Nusantara adalah satuan pemerintah daerah atau satuan pemerintah pusat?” tanya Ibnu Sina.
Untuk itu, selain minta MK membatalkan UU IKN, para pemohon juga meminta agar pasal-pasal yang mengatur format otorita IKN dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Permohonan dipisah
Tiga hakim panel yang memeriksa perkara tersebut, yaitu Aswanto, Manahan MP Sitompul, dan Daniel Yusmic P Foekh, meminta pemohon untuk mempertimbangkan kembali format permohonan yang diajukan. Mereka menyarankan agar permohonan uji formil dan uji materiil tersebut dipisah atau kalaupun digabung harus dibuat secara alternatif. Artinya, apabila MK menolak uji formil, sebagai alternatifnya MK diminta menguji beberapa pasal yang dipersoalkan dalam UU IKN tersebut.
”Kalau ini diajukan paralel, konsekuensinya kita tidak bisa menjangkau pemeriksaan materiil itu. Kalau mau digabung atau diparalelkan, tentu di sini harus pakai alternatif. Andai pengujian formil tidak dikabulkan, maka kami menguji materiil. Untuk apa Anda minta sama-sama. Kalau sudah dikabulkan formilnya, unlogic-lah kalau minta dikabulkan materiilnya. Karena untuk apa lagi,” kata Manahan.
Terkait uji materiil, Manahan meminta pemohon juga menguraikan model desentralisasi pemerintahan yang memang tidak seragam. Sebab, ada model otonomi seperti Provinsi Aceh, Papua, dan DI Yogyakarta yang memiliki hak otonomi khusus untuk mengelola dengan cara-cara tersendiri. Yogyakarta, misalnya, rajanya langsung menjadi gubernur tanpa ada pemilihan gubernur.
”Apakah itu tidak bisa diinterpretasikan atau disamakan dengan daerah pembentukan ibu kota baru. Perlu dielaborasi, kenapa tidak boleh,” kata Manahan.
Sementara itu, Daniel Yusmic P Foekh menyoroti soal nomenklatur IKN yang memang tidak dikenal dalam Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945. Ia menyarankan pemohon memberikan perbandingan dengan negara lain atau menggali perspektif historis dan filosofis, selain yuridis, mengenai hal tersebut.