Presiden Diharapkan Mengevaluasi Kinerja KPK
UU KPK yang baru memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengevaluasi KPK. Oleh karena itu, Presiden tidak bisa berdiam diri dengan situasi KPK yang kinerjanya masih kurang memuaskan publik.
JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpuasan publik yang tinggi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi mesti menjadi perhatian serius bagi Presiden Joko Widodo. Sebagai pimpinan tertinggi di rumpun eksekutif, Presiden diharapkan segera mengevaluasi kinerja KPK. Hal ini dinilai penting karena menyangkut warisan pemberantasan korupsi di era kepemimpinannya.
Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30/2002 tentang KPK menyebut, KPK merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan masuk ke rumpun eksekutif, artinya KPK berada di bawah tanggung jawab Presiden.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, saat dihubungi di Jakarta, Senin (21/3/2022), mengatakan, UU KPK yang baru telah memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengevaluasi KPK. Menurut dia, Presiden tidak bisa berdiam diri dengan situasi KPK yang kinerjanya masih dinilai jeblok oleh publik.
”Bukan dalam artian Presiden mengintervensi dalam perkara. Untuk perkara, clear (jelas), KPK independen. Tetapi, secara administrasi, Presiden punya tanggung jawab untuk mengevaluasi kinerja KPK. Presiden seharusnya aktif melihat kondisi KPK terkini,” ujar Kurnia.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 22-24 Februari 2022, 43,7 persen publik merasa puas, sedangkan 48,2 persen tak puas dengan kinerja KPK. Dari jajak pendapat yang melibatkan 506 responden di 34 provinsi itu diketahui ada sejumlah alasan publik menyampaikan ketidakpuasan atas kinerja KPK. Kinerja Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang tidak optimal menjadi alasan paling banyak (34,3 persen).
Baca juga: Jajak Pendapat "Kompas": 48,2 Persen Publik Tak Puas dengan Kinerja KPK
Selain itu, penurunan jumlah operasi tangkap tangan (26,7 persen), terlalu banyak kontroversi (18,7 persen), citra pimpinan KPK (11,1 persen), tidak transparan (5,2 persen), kinerja menurun (3,3 persen), sudah tidak independen (0,4 persen), dan pemberlakuan tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK (0,3 persen).
Jika Presiden mengabaikan kondisi KPK saat ini, maka potret penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di eranya akan dicap oleh masyarakat tidak berjalan sebagaimana ia janjikan. Padahal, kewenangan itu sudah ada di UU KPK yang baru.
Kurnia melanjutkan, Presiden sudah berulang kali menyatakan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dan penguatan KPK. Dari penyataan tersebut, masyarakat mendesak agar Presiden turut memikirkan perbaikan KPK ke depan dengan mengevaluasi kerja pimpinan lembaga antirasuah tersebut.
”Jika Presiden mengabaikan kondisi KPK saat ini, maka potret penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di eranya akan dicap oleh masyarakat tidak berjalan sebagaimana ia janjikan. Padahal, kewenangan itu sudah ada di UU KPK yang baru,” tutur Kurnia.
Ujung tanduk
ICW tidak kaget mendengar dan membaca hasil jajak pendapat Litbang Kompas. Sebab, kondisi lembaga antirasuah itu kini memang sudah dianggap berada di ujung tanduk, bahkan besar kemungkinan telah terjerumus ke arah yang keliru. Semua ini dinilai merupakan buah atas kinerja buruk semua komisioner KPK dan anggota Dewas.
Kondisi itu semakin diperparah dengan tidak dihiraukannya berbagai kritik yang selama ini disampaikan oleh masyarakat perihal kerja pemberantasan korupsi oleh pimpinan KPK. Alih-alih mendengar kritik, pimpinan KPK malah larut dengan berbagai tindakan kontroversinya.
”Berangkat dari kejadian tersebut, ICW berkesimpulan bahwa sedari awal pimpinan KPK yang memang menginginkan kondisi lembaga antirasuah itu lemah dan dijauhi oleh masyarakat,” ucap Kurnia.
Untuk Dewas, ICW juga melihat kinerjanya sangat minim dan terkesan selalu berpihak kepada pimpinan KPK. Dalam konteks persidangan etik, misalnya, masyarakat dapat melihat kualitas putusan Dewas selama ini, terutama pelanggaran yang melibatkan Ketua KPK Firli Bahuri dan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Sanksi yang dijatuhkan kepada mereka tergolong ringan.
Selain itu, regulasi yang tertuang dalam peraturan Dewas juga memiliki problematika serius. Misalnya, jika pimpinan KPK terbukti melanggar kode etik dengan kategori berat, sanksi yang bisa dijatuhkan hanya meminta pimpinan KPK tersebut untuk mengundurkan diri.
”Maka, pertanyaan lanjutan, jika pimpinan KPK tidak bersedia mengundurkan diri, lalu bagaimana? ICW mengusulkan regulasi itu diubah menjadi ’merekomendasikan kepada Presiden agar memberhentikan pimpinan KPK yang terbukti melanggar kode etik berat’. Ketentuan itu lebih jelas dan terukur,” kata Kurnia.
Kemunduran KPK
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, sependapat dengan Kurnia bahwasanya Presiden sebagai pimpinan tertinggi rumpun eksekutif mempunyai kewenangan besar. Namun, terkait buruknya kinerja KPK, menurut dia, Presiden tidak memiliki ruang intervensi.
”Hal yang bisa dilakukan Presiden adalah pada tahun depan memilih calon pimpinan KPK yang bersih dan berintegritas. Bebas dari catatan etik dan kepentingan politik praktis,” tuturnya.
Zaenur menjelaskan, kemunduran KPK dipicu beberapa hal. Pertama, konfigurasi pimpinan KPK. Sejak awal pimpinan KPK mendapat penolakan luas dari para aktivis antikorupsi. Alasannya, mereka memiliki banyak catatan etik di masa lalu. Namun, Presiden tetap meloloskan dan DPR akhirnya memilih mereka.
Kedua, banyaknya pelanggaran etik di KPK. Sebagai lembaga yang mengampanyekan integritas, KPK justru dirundung berbagai pelanggaran etik oleh para pimpinan KPK. Bahkan, seorang pimpinan KPK berkomunikasi dengan pihak beperkara.
”Ini merupakan pelanggaran sangat serius yang seharusnya berujung pemecatan,” ujar Zaenur.
Baca juga: Publik Tak Puas, Kinerja KPK Mendesak Diperbaiki
Ketiga, rendahnya kinerja penindakan KPK. Hampir tidak ada kasus strategis yang saat ini ditangani KPK. Kontribusi KPK dalam skema pemberantasan korupsi semakin tidak signifikan. KPK tidak lagi membongkar kasus besar dengan kerugian keuangan negara triliunan. KPK juga tidak lagi menjerat aparat penegak hukum kotor di level atas.
Keempat, publik juga kecewa dengan Dewas KPK. Meski diisi nama-nama besar, kinerja Dewas sangat buruk. Misalnya, dalam memutus perkara Lili Pintauli Siregar, putusan Dewas dianggap sangat ringan. Seharusnya, Dewas memecat Lili karena telah berkomunikasi dengan pihak beperkara.
”Saya tidak banyak berharap ada perubahan di dalam KPK. Kecil kemungkinan pimpinan KPK mau berubah. Satu-satunya harapan saya adalah tahun depan mereka tidak lagi terpilih menjadi pimpinan KPK,” kata Zaenur.
Optimisme pemberantasan korupsi
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, KPK tentu memberikan apresiasi positif terhadap pihak-pihak yang terus mendukung upaya pemberantasan korupsi, salah satunya melalui penilaian terhadap kinerja KPK. Penilaian tersebut akan menjadi masukan dalam upaya perbaikan yang terus-menerus terhadap kerja panjang pemberantasan korupsi.
”Terlebih, mengingat publik adalah stakeholder utama penerima manfaat atas hasil kerja KPK,” tutur Ali.
Di samping itu, lanjut Ali, KPK juga ingin memberikan tambahan pemahaman kepada masyarakat bahwasanya capaian kinerja pemberantasan korupsi tidak hanya soal seberapa banyak pelaku korupsi yang tertangkap tangan oleh KPK. Namun, keberhasilan pemberantasan korupsi juga penting diukur dari seberapa mampu KPK menutup titik-titik rawan korupsi dan seberapa mampu KPK menyadarkan masyarakat agar tidak melakukan korupsi.
”Oleh karena itu, KPK tak hanya mengandalkan strategi penindakan, tetapi secara simultan juga gencar melakukan upaya pencegahan dan pendidikan antikorupsi,” ujar Ali.
KPK juga secara kontinu mengukur capaian pemberantasan korupsi, salah satunya melalui Survei Penilaian Integritas (SPI). Bahkan, survei tersebut tidak berhenti sebagai alat ukur saja, tetapi juga dilengkapi dengan instrumen rekomendasi perbaikan upaya pencegahan korupsinya.
Dengan begitu, nantinya pengukuran SPI tersebut akan lebih berdampak pada upaya sistemik pencegahan korupsi, yang secara implementatif dapat diterapkan oleh setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
Berdasarkan hasil survei tersebut, KPK kemudian mendorong komitmen seluruh instansi agar serius menindaklanjuti rekomendasinya sebagai langkah perbaikan pemberantasan korupsi di Indonesia.
KPK beranggapan, publik patut optimistis atas kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebab, dari SPI yang melibatkan 250.000 responden lebih tersebut, menghasilkan skor indeks integritas sebesar 72,4 atau lebih tinggi dari target nasional berdasarkqn Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yakni sebesar 70.
Untuk itu, KPK terus mengajak seluruh pihak, mulai dari aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga seluruh elemen masyarakat agar solid dan bahu-membahu dalam upaya pemberantasan korupsi.
”Karena untuk mewujudkan Indonesia yang maju, makmur, sejahtera, dan bersih dari korupsi adalah tanggung jawab yang ada di pundak kita semua,” kata Ali.