Publik Tak Puas, Kinerja KPK Mendesak Diperbaiki
Jajak pendapat Litbang Kompas, akhir Februari lalu, menunjukkan lebih banyak responden yang tidak puas dengan kinerja KPK. Kinerja Dewan Pengawas yang tak optimal menangani pelanggaran etik di internal KPK jadi sebab.
JAKARTA, KOMPAS – Kontroversi dan dugaan pelanggaran kode etik yang tidak ditangani secara optimal menjadi penyebab masih tingginya ketidakpuasan publik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Perbaikan kinerja perlu segera dilakukan untuk mengembalikan citra dan kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah tersebut.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 22-24 Februari 2022, 43,7 persen publik merasa puas, sedangkan 48,2 persen tak puas dengan kinerja KPK. Dari jajak pendapat yang melibatkan 506 responden di 34 provinsi itu diketahui ada sejumlah alasan publik menyampaikan ketidakpuasan atas kinerja KPK. Kinerja Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang tidak optimal menjadi alasan paling banyak (34,3 persen).
Selain itu, penurunan jumlah operasi tangkap tangan (26,7 persen), terlalu banyak kontroversi (18,7 persen), citra pimpinan KPK (11,1 persen), tidak transparan (5,2 persen), kinerja menurun (3,3 persen), sudah tidak independen (0,4 persen), dan pemberlakuan tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK (0,3 persen).
Responden juga mengungkapkan sejumlah hal terkait hal-hal yang perlu diperbaiki dari KPK. Misalnya, penindakan tegas bagi pemimpin atau pegawai yang melanggar kode etik (32,7 persen), penegakan hukum atau meningkatkan OTT (21,1 persen), kerja sama antar-lembaga penegak hukum (20,3 persen), serta proses seleksi pemimpin dan pegawai yang lebih berintegritas (13,5 persen).
Baca juga : Jajak Pendapat "Kompas": 48,2 Persen Publik Tak Puas dengan Kinerja KPK
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Susi Dwi Harijanti, Minggu (20/3/2022), mengatakan, kinerja KPK sangat dipengaruhi oleh kinerja organ-organ di dalamnya. Organ-organ yang dimaksud terutama adalah pimpinan KPK dan Dewas KPK.
Pimpinan KPK berperan penting karena di tangan merekalah fungsi-fungsi KPK akan ditentukan. Dewas juga memiliki peran fundamental karena berdasarkan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, mereka bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
Tidak ada cara lain, pimpinan KPK dan Dewas harus segera melakukan perbaikan
Ketentuan mengenai tugas Dewas juga telah dirinci dalam Pasal 37B UU KPK, di antaranya menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang.
Namun, Susi menilai tugas-tugas itu tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal ini di antaranya terlihat dari laporan masyarakat mengenai pemanfaatan SMS blast demi kepentingan pribadi serta pembuatan mars dan himne KPK oleh istri Ketua KPK Firli Bahuri belum ada lanjutannya. Selain itu, hasil sidang pelanggaran kode etik yang dilakukan Dewas juga dipandang tidak sepadan dengan pelanggaran etik yang dilakukan komisioner KPK.
Oleh karena itu, masih tingginya ketidakpuasan publik terhadap KPK bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab, publik selama ini juga bertanya-tanya, bagaimana mungkin KPK dipimpin komisioner yang telah dinyatakan melanggar etika, entah itu pelanggaran ringan atau berat.
”Tidak ada cara lain, pimpinan KPK dan Dewas harus segera melakukan perbaikan,” kata Susi.
Baca juga: Menyelamatkan KPK dari Titik Nadir
Pelanggaran etik di tubuh KPK yang melibatkan unsur pimpinan telah terjadi beberapa kali. Pada September 2020, pucuk pimpinan lembaga tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri, terbukti melanggar etik karena menggunakan helikopter untuk perjalanan pribadi. Atas pelanggaran tersebut, Firli diberikan teguran tertulis II.
Selanjutnya, pada akhir Agustus 2021, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar terbukti melanggar etik karena telah menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi serta berkomunikasi dengan berkomunikasi dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, yakni bekas Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial. Atas pelanggaran tersebut, Lili dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun.
Tak berhenti di situ, belakangan ini publik juga diramaikan oleh tiga dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Firli dan Lili. Firli dilaporkan ke Dewas atas dugaan pelanggaran etik terkait pemanfaatan fasilitas SMS blast demi kepentingan pribadi, serta pembuatan mars dan himne KPK oleh istrinya. Sedangkan, Lili dilaporkan kembali atas dugaan pembohongan publik karena sempat menepis komunikasi antara dirinya dengan Syahrial.
Susi menjelaskan, kinerja yang tidak memuaskan dan persoalan yang membelit dua organ utama lembaga antirasuah, yaitu Dewas dan komisioner KPK, mengakibatkan runtuhnya kepercayaan publik. Akibat lebih jauh adalah pemberantasan korupsi yang dipandang sebagai kejahatan luar biasa tidak lagi berjalan dengan baik. KPK sebagai lembaga luar biasa juga terancam hanya tinggal nama.
Respons positif
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron merespons positif masyarakat yang telah memberikan penilaian terhadap KPK dalam upaya memberantas korupsi. Penilaian masyarakat itu akan dijadikan bekal KPK untuk terus memperbaiki kinerja pemberantasan korupsi.
Hasil jajak pendapat juga akan menjadi bahan evaluasi bagi KPK agar dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa korupsi tidak akan selesai hanya dengan penindakan berupa penangkapan, sementara faktor yang mengakibatkan korupsi masih tak pernah terselesaikan. Pemahaman perlu diberikan mengingat publik melihat keberhasilan pemberantasan korupsi hanya dari penindakan. Padahal, pencegahan korupsi juga merupakan upaya untuk menanggulangi rasuah.
”KPK kini secara seimbang menindak dan menyelesaikan faktor yang mengakibatkan korupsi,” kata Ghufron.
Sementara terkait dengan kontroversi seperti tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam alih status pegawai KPK, Ghufron mengatakan, hal itu pun merupakan sebuah keniscayaan. Siapa pun pimpinan KPK pasti akan dihadapkan dengan persoalan itu karena alih status pegawai KPK merupakan perintah undang-undang. “Kami wajib melaksanakannya, yang hasilnya tidak populer, bahkan kontroversi tersebut. Padahal, kami melakukan berdasarkan sistem rekrutmen dan dilakukan oleh pihak yang berkompeten dalam urusan ASN di Republik ini. Tidak dilakukan oleh KPK sendiri, namun semua sorotan dan pertanggungjawabannya kepada kami. Kami terima ini semuanya,” ujar Ghufron.
Secara terpisah, anggota Dewas KPK, Harjono, menegaskan, selama ini Dewas bekerja sesuai dengan aturan. Setiap putusan terkait pelanggaran etik komisioner KPK, baik sanksi ringan maupun berat, sudah sesuai dengan aturan dan bukti yang ada.
Selain itu, setiap pelanggaran pun diputus jika terdapat bukti yang kuat. Apabila bukti belum kuat, proses pencarian alat bukti akan terus dilakukan. ”Kan, belum semua selesai diproses. Enggak bisa ada aduan, lalu terus diputus. Ada prosesnya, saksi dua harus diklarifikasi. Ini tetap perlu waktu. Sidang dibuka. Hak dua terperiksa kami berikan, lalu baru bisa diputus. Itu semua harus dijalani,” ujar Harjono.