Konsistensi Parpol yang Menolak Penundaan Pemilu Harus Dikawal
Konsistensi parpol yang menolak penundaan pemilu harus dikawal. Sebab, sebagai makhluk politik, parpol juga memiliki kepentingan masing-masing, yang bagaimanapun harus berjalan di dalam koridor konstitusi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dengan mayoritas partai politik tidak mendukung penundaaan Pemilu 2024, wacana penundaan pemilu harus diakhiri segera. Sebab, wacana penundaan pemilu yang digaungkan terus-menerus justru merugikan elektabilitas parpol bersangkutan karena mendapatkan penolakan dari mayoritas publik.
Dari sisi konstelasi politik, kini parpol yang menolak wacana penundaan pemilu pun bertambah setelah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyatakan pendapatnya dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid secara tersirat mendukung Pemilu 2024. Sebelumnya, ada lima parpol yang menolak penundaan pemilu, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Adapun wacana penundaan pemilu ini pertama kali disuarakan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar, pekan lalu. Wacana itu pada mulanya didukung oleh Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) meskipun kemudian Nurdin Halid menyatakan belum pernah ada diskusi atau rapat di internal partai membahas usulan tersebut.
Menanggapi fenomena ini, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, Rabu (2/3/2022) di Jakarta, mengatakan, hasil kajian dan survei sejumlah pihak menunjukkan mayoritas publik tidak menghendaki penundaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan presiden. Dengan situasi ini, parpol justru harus berhati-hati untuk tidak menggulirkan isu ini. ”Sebab, secara elektoral, ini akan buruk buat mereka,” ucapnya.
Persetujuan publik ini menjadi penting karena kini muncul wacana untuk memuluskan rencana perpanjangan masa jabatan itu melalui amendemen konstitusi. Namun, untuk melakukan itu ada prasyarat ketat yang harus dipenuhi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
”Tetapi, kan, semua survei mengatakan mayoritas masyarakat menolak perubahan konstitusi. Jadi, suara siapa yang diklaim untuk dijadikan landasan argumentasi dalam mengubah konstitusi. Tidak ada satu argumentasi yang dapat diterima dalam wacana, dari alasan pandemi sampai krisis Ukraina-Rusia,” katanya.
Saat ini belum ada jaminan konsistensi parpol-parpol itu karena mereka memiliki wakil-wakilnya di DPR dan MPR, yang bisa saja berbeda suara satu sama lain. Oleh karena itu, jangan ada panggung depan dan panggung belakang yang berbeda sikapnya. (Yunarto Wijaya)
Tes ombak
Dengan mayoritas parpol tidak mendukung penundaan pemilu, menurut Yunarto, wacana penundaan pemilu harus diakhiri karena lebih banyak keburukannya daripada manfaatnya. Elite parpol pun sebaiknya tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan untuk ”cek ombak” kepada publik, sekaligus ”menggoda” Presiden.
Setidaknya ada dua hal yang dapat dilihat dari wacana penundaan pemilu itu. Pertama, keinginan perpanjangan masa jabatan gratis bagi eksekutif ataupun legislatif. Kedua, ada kekuatan politik yang tidak percaya diri untuk bertarung di Pemilu 2024 karena hasil survei yang masih kecil.
Di sisi lain, konsistensi parpol yang menolak penundaan pemilu juga harus dikawal. Sebab, sebagai makhluk politik, parpol juga memiliki kepentingan masing-masing, yang bagaimanapun harus berjalan di dalam koridor konstitusi. ”Saat ini belum ada jaminan konsistensi parpol-parpol itu karena mereka memiliki wakil-wakilnya di DPR dan MPR, yang bisa saja berbeda suara satu sama lain. Oleh karena itu, jangan ada panggung depan dan panggung belakang yang berbeda sikapnya,” kata Yunarto.
Sementara itu, dari diskusi yang digelar Paramadina Public Policy Institute bertajuk ”Wacana Penundaan Pemilu: Membaca Motif Ekonomi-Politik dan Dampaknya pada Demokrasi di Indonesia”, sejumlah pembicara menyoroti informasi yang berkembang di media massa tentang keterlibatan pihak pemerintah atau Istana dalam wacana ini.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, mengatakan, banyak inkonsistensi yang ditemui dalam rezim pemerintahan saat ini. Oleh karena itu, konsistensi sikap pemerintah ditagih. Informasi yang beredar mengenai keterlibatan salah seorang menteri untuk melobi sejumlah parpol menyiratkan situasi yang berkebalikan atau tidak sesuai dengan sikap Presiden Joko Widodo sebelumnya yang menolak perpanjangan masa jabatan ataupun tiga periode jabatan.
Untuk menetralisasi hal ini, menurut Azyumardi, masyarakat sipil harus memiliki ketegasan sikap dalam mendukung demokratisasi dan semangat reformasi. Masyarakat sipil, termasuk Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sama-sama memiliki peran penting untuk mengawal isu ini.
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Paramadina, A Khoirul Umam, mengatakan, Indonesia harus belajar dari pengalaman terdahulu. Presiden Soekarno akhirnya jatuh setelah berkuasa selama 21 tahun dan Presiden Soeharto juga jatuh setelah berkuasa selama 32 tahun. Situasi ini jangan sampai terulang. Semuanya jatuh melalui proses politik yang menyakitkan dan ditandai dengan konflik sosial-politik.
Secara terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu 2024 menilai alasan memundurkan jadwal pemilu adalah hal yang tidak masuk akal, merosot jauh dari esensi demokrasi dan amanat konstitusi, serta hanya akan menjadi preseden buruk untuk demokrasi. Hal ini secara fundamental menunjukkan kegagalan parpol dalam menghidupi nilai paling utama yang sepatutnya dijunjung tinggi, yakni fairness dalam proses elektoral.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Ihsan Maulana, mengatakan, dari segi pertumbuhan ekonomi, berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik, perekonomian Indonesia triwulan II-2021 terhadap triwulan II-2020 mengalami pertumbuhan sebesar 7,07 persen (year on year) dan berpotensi naik pada 2022. Dengan data ini, menjadi tidak relevan jika Pemilu 2024 ditunda karena alasan stabilitas ekonomi.
Secara fundamental, wacana penundaan Pemilu 2024 inkonstitusional, melecehkan konstitusi (contempt of the constitution), dan merampas hak rakyat. (Ihsan Maulana)
Di lain sisi, pilkada serentak tahun 2020 yang telah terselenggara di 270 daerah juga dapat dijalankan dengan baik. Peserta dan pemilih mampu menerapkan protokol kesehatan dengan tertib sehingga tidak ditemukan ”kluster pilkada” seperti yang dikhawatirkan sebelum pelaksanaan. Bahkan, tingkat partisipasi pada pilkada serentak 2020 mencapai angka 76,09 persen, naik 7,03 persen dibandingkan dengan pelaksanaan pilkada sebelumnya.
”Secara fundamental, wacana penundaan Pemilu 2024 inkonstitusional, melecehkan konstitusi (contempt of the constitution), dan merampas hak rakyat. Gagasan penundaan Pemilu 2024 juga mencerminkan inkonsistensi partai atas keputusan politik yang sudah dibuat,” kata Ihsan mewakili koalisi.