DPR Manfaatkan Reses untuk Kebut Pembahasan RUU TPKS
DIM RUU TPKS kabarnya telah dituntaskan pemerintah dan dalam waktu dekat akan segera diserahkan ke DPR bersama surat presiden berisi penunjukan menteri yang akan membahas RUU TPKS dengan DPR.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
KOMPAS/Ferganata Indra Riatmoko
Mobil diparkir di depan mural berisi seruan untuk mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dibuat di tembok Stadion Kridosono, Yogyakarta, Senin (10/1/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mempercepat penyelesaian Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau RUU TPKS, DPR menyepakati untuk mengebut pembahasannya dalam dua bulan ke depan. Masa reses DPR pada 21 Februari hingga Maret mendatang akan dioptimalkan untuk membahas daftar inventarisasi masalah RUU TPKS, yang menurut rencana dikirim pemerintah paling lambat Senin (14/2/2022).
DPR menerima informasi terakhir dari pemerintah, daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TPKS telah dituntaskan oleh pemerintah, dan akan ditandatangani oleh empat menteri terkait, Jumat (11/2/2022). Selanjutnya, DIM akan dikirimkan oleh pemerintah bersama dengan surat presiden (Surpres) kepada DPR, sebagai jawaban atas RUU TPKS yang telah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR, pertengahan Januari lalu.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan, informasi terakhir dari komunikasi dengan pemerintah menyebutkan, surpres itu siap dikirim pada Jumat atau paling lambat Senin.
”Posisi kami saat ini menunggu saja Surpres dan DIM dari pemerintah. Segera setelah kami menerima DIM pemerintah, proses pembahasan akan dilakukan dengan cepat. Sebab, RUU ini telah menjadi kebutuhan dan tuntutan publik,” katanya di Jakarta, Jumat.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya
Data Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan, sepanjang 2020 hingga Juni 2021 tercatat ada 301.878 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Willy mengatakan, pimpinan DPR dalam rapat Badan Musyawarah juga telah menyetujui permintaan Baleg agar RUU TPKS itu dapat dibahas di masa reses. Sesuai dengan Tata Tertib DPR, masa reses menjadi kesempatan bagi anggota DPR untuk turun ke daerah pemilihan (dapil) dan menyerap aspirasi konstituen. Namun, dengan pertimbangan tertentu dan atas izin dari pimpinan DPR, rapat-rapat alat kelengkapan DPR tetap dapat digelar di masa reses.
”Sudah disepakati, Baleg yang akan membahas RUU TPKS ini di tingkat pertama. Pimpinan Baleg juga sudah bersurat kepada pimpinan dan diterima oleh pimpinan DPR usulan itu untuk dibahas di masa reses,” kata Willy.
DPR memasuki masa reses pada 20 Februari dan baru akan kembali memasuki masa persidangan tanggal 14 Maret. Willy mengatakan, jika pembahasan RUU TPKS itu dapat dituntaskan selama masa reses, DPR akan bisa mengesahkan RUU TPKS di pembukaan masa sidang mendatang.
Kompas/Hendra A Setyawan
Anggota DPR mengikuti rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (11/1/2022).
”Kalau pembahasannya ini bisa cepat dan tidak ada banyak perubahan yang signifikan, pada pembukaan masa sidang berikutnya, Maret ini, kami bisa ajukan untuk persetujuan tingkat dua,” ujarnya.
Konsultasi publik
Pekan lalu, dalam penyusunan DIM RUU TPKS, pemerintah melakukan konsultasi publik dengan berbagai pihak, termasuk elemen masyarakat sipil. Konsultasi publik dan konsinyasi yang difasilitasi oleh Tim Gugus Tugas Percepatan RUU TPKS dan Kantor Staf Presiden (KSP) itu digelar selama tiga hari.
Ketua Tim Gugus Tugas Percepatan RUU TPKS Eddy OS Hiariej mengatakan, pemerintah telah merumuskan 623 poin DIM sebagai respons atas penetapan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR. Banyak substansi baru di dalam DIM yang disusun pemerintah itu sehingga pemerintah mendengarkan masukan dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi. Masukan dari publik itu dimaksudkan untuk menyempurnakan substansi DIM yang akan menjadi lampiran surpres ke DPR.
Eddy, yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM, menjelaskan, substansi DIM RUU TPKS yang disusun pemerintah mencakup soal hukum acara pidana hingga penanganan dan rehabilitasi korban.
Kantor Staf Presiden RI
Ketua Tim Gugus Tugas RUU TPKS Eddy OS Hiariej (kiri) bersama Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko (kanan) dalam rapat koordinasi terkait Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Selasa (11/1/2022).
”Unggulan DIM RUU TPKS ada pada hukum acara yang sangat progresif dan advance (maju). Sebab, sebelumnya dari ribuan kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, penyelesaiannya hanya kurang dari 5 persen. Berarti ada masalah pada hukum acaranya. Nah, ini yang diperbaiki,” tutur Eddy.
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta semua pihak ikut mengawal RUU TPKS agar segera disahkan dengan pasal-pasal yang menjawab keadilan bagi korban. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi penting untuk merespons keadaan darurat kekerasan seksual di Indonesia.
”Kolaborasi semua pihak wajib dalam mendukung dan menyempurnakan RUU TPKS karena kedaruratan kekerasan seksual tidak sekadar angka, tetapi daya rusaknya terhadap fisik dan psikis korban perlu menjadi perhatian serius kita semua,” kata Moeldoko.
Pemerintah dalam menyusun DIM juga mempertimbangkan garis besar konstruksi hukum pidana Indonesia.
KANTOR STAF PRESIDEN RI
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memimipin rapat koordinasi tingkat menteri membahas percepatan RUU TPKS di Gedung Bina Graha, Jakarta, Selasa (11/1/2022).
Layanan untuk korban
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam keterangan tertulisnya mengatakan, berbagai masukan dari publik akan dipertimbangkan untuk memastikan DIM RUU TPKS itu lebih komprehensif.
Salah satu masukan, misalnya, ialah mengenai perlunya layanan terhadap korban kekerasan seksual yang bersifat satu atap dan terpadu.
“Layanan terhadap kekerasan seksual dalam RUU TPKS nantinya bersifat terpadu, satu atap atau one stop service. Korban cukup datang ke satu tempat dan mendapat layanan lengkap. Layanan satu atap ini menjadi concern kita semua sehingga penanganan korban kekerasan seksual dapat diselenggarakan secara prima dan berpihak pada kepentingan terbaik korban,” kata Darmawati.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati menerima masukan terkait RUU TPKS dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Rabu (2/2/2022) malam.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mengatakan, perlu adanya mekanisme victim trust fund atau bantuan dana korban yang diatur di dalam RUU TPKS. Hal itu pun telah disampaikan ICJR dalam konsultasi publik untuk penyempurnaan DIM dari pemerintah.
Negara perlu menyediakan mekanisme khusus untuk pemenuhan hak korban. Skema tersebut dapat hadir dalam bentuk mekanisme victim trust fund atau dana bantuan korban tindak pidana. Skema ini merupakan dana yang diterima negara dari penerimaan bukan pajak serta sanksi pidana finansial untuk diolah diberikan demi program pemenuhan hak korban. Skema ini adalah skema khusus yang bukan menyerap APBN, tetapi menuntut peran negara mengelola penerimaan bukan pajaknya untuk korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual.
Skema ini, menurut Maidina, menjadi penting karena skema ganti kerugian bagi korban serta pemberian layanan bagi korban harus dikembangkan ke arah yang lebih baik. Sebagai catatan, berdasarkan laporan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sepanjang 2020, penilaian restitusi yang dilakukan oleh LPSK berada di angka sekitar Rp 7 miliar, sedangkan angka yang dikabulkan oleh putusan pengadilan hanya Rp 1,3 miliar. Adapun pencapaian eksekusi restitusi untuk korban malah kurang dari 10 persen dari yang dijatuhkan pengadilan, yaitu sekitar Rp 101 juta.
”Nantinya dana itu benar-benar untuk korban. Ada dua basis yang bisa dijalankan, sebagaimana juga dipraktikkan di beberapa negara. Pertama, dana itu bisa diberikan kepada pengada layanan korban, atau kedua, dana itu dikeluarkan untuk menerima klaim kerugian dari korban,” katanya.