Dinilai cacat formil karena tak sesuai dengan ketentuan di UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Mahkamah Konstitusi diminta membatalkan UU IKN. Pemerintah menyatakan siap menghadapi uji formil itu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Poros Nasional Kedaulatan Negara meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang sudah disetujui pemerintah dan DPR menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR, 18 Januari 2022. Mereka menilai, pembentukan undang-undang yang terdiri dari 11 bab dan 44 pasal tersebut tidak sesuai dengan asas formil pembentukan undang-undang yang harus dipenuhi sesuai dengan yang diatur di Pasal 5 UU No 12/2011.
Dalam catatan Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN), ada lima dugaan pelanggaran formil dalam proses pembentukan UU IKN. Hal tersebut ialah, bertentangan dengan asas kejelasan tujuan, asas kesesuaian antara jenis hirarki dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta asas keterbukaan.
“Saya optimistis (dikabulkan) dengan adanya 5 dugaan pelanggaran formil,” ujar kuasa hukum para pemohon, Viktor Santoso Tandiasa, Rabu (2/2/2022).
Adapun permohonan diajukan mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua, Marwan Batubara (anggota DPR RI periode 2004-2009), Muhyiddin Junaidi (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI), Letnan Jenderal TNI (Purn) Suharto, Mayjen TNI (Purn) Soenarko, dan lain-lain. Mereka tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN). Permohonan uji formil tersebut didaftarkan ke MK Rabu.
Dalam permohonannya, mereka mendalilkan bahwa dalam proses pembentukan UU IKN, pembentuk undang-undang menggunakan cara yang menunjukkan tidak dilaksanakannya mandat rakyat secara terbuka, fair, jujur, dan bertanggung jawab.
Menurut Viktor, UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan. Ini terbukti dari hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) pada 19 Desember 2021 yang menunjukkan 61,9 responden tidak setuju ibu kota negara pindah. Alasan yang dikemukakan di antaranya, pemindahan ibu kota merupakan sebuah pemborosan anggaran, lokasi tidak strategis, menyebabkan utang negara bertambah, dan pemindahan ibu kota mengubah sejarah atau nilai historis.
Asas kejelasan tujuan, menurut Viktor, pun terlanggar. Dari hasil pengkajian PKPN, rencana pemindahan ibu kota tidak pernah disinggung dalam Rencana Pembangunan Nasional jangka panjang seperti tercantum dalam UU No 17/2007 yang memuat rencana pembangunan 2005-2025. Rencana pemindahan ibu kota juga tidak tercantum di rencana pembangunan jangka menengah lima tahunan masa pemerintahan presiden Joko Widodo di periode pertama.
“Secara tiba-tiba rencana pemindahan IKN muncul dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Perencanaan perindahan IKN muncul tanpa melalui proses perencanaan yang berkesinambungan dengan dokumen perencanaan yang ada dalam Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. Hal ini menggambarkan minimnya kesinambungan pada dua dokumen perencanaan program yang disusun pemerintah,“ ujar Viktor.
Pemohon juga mendalilkan bahwa asas keterbukaan terlanggar dalam proses pembentukan UU IKN. Menurut Viktor, hal itu terlihat dari sulitnya mengakses dokumen dan informasi agenda pembahasan RUU oleh publik. Dalam cacatan PKPN, dari 28 tahapan atau agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya tujuh agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses publik.
Hal tersebut dinilai menggambarkan fakta bahwa representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangatlah parsial dan tidak holistik. Padahal, IKN merupakan perwujudan bersama ibu kota negara RI yang seharusnya dalam pembahasannya melibatkan partisipasi publik secara luas. Produk legislasi ini juga dimasukkan dalam daftar undang-undang yang dibuat dengan metode fast track legislation, dibuat dengan cara cepat oleh pemerintah dan DPR.
Dalam kesempatan terpisah, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu ini, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menyampaikan, pihaknya siap menghadapi gugatan yang diajukan oleh Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN). Namun, ia belum bisa berkomentar lebih jauh karena masih harus mempelajari isi gugatan tersebut.
“Kami tentu akan mempelajarinya, apa yang dikemukakan di sana, apakah cacat formil dan cacat materiil. Nanti kami periksa. Saya belum membaca petitum yang diajukan,“ ujar Suharso.