Audit BPKP Perkuat Dugaan Pelanggaran Hukum di Kasus Satelit Orbit 123
Hasil audit tujuan tertentu yang dilaksanakan BPKP menunjukkan kerugian negara pada penyewaan dan pengadaan satelit oleh Kementerian Pertahanan. Berdasarkan audit itu, pengadaan tersebut menggunakan barang selundupan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam keterangan resmi, Senin (17/1/2022), mengatakan, sebelum menempuh langkah hukum, pemerintah telah melalui pertimbangan mendalam dan komprehensif. BPKP melakukan audit tujuan tertentu yang hasilnya ditemukan dugaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelanggaran itu merugikan keuangan negara dan berpotensi akan terus merugikan keuangan negara.
”Saya minta agar semua pihak menunggu proses hukum yang sedang berlangsung di kasus pengadaan Satelit Slot Orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan tahun 2015-2016,” ujar Mahfud.
Kerugian yang dimaksud adalah pemerintah diharuskan membayar gugatan perdata dari pihak ketiga PT Avanti sebesar Rp 515 miliar berdasarkan putusan pengadilan arbitrase internasional di London, Inggris, tahun 2019. Pada tahun 2021, pemerintah juga kembali menerima tagihan sebesar 21 juta dollar AS dari PT Navayo berdasarkan putusan arbitrase Singapura.
”Padahal, berdasarkan hasil audit yang dilakukan BPKP, barang yang diterima dari Navayo sebagian besar diduga selundupan karena tidak ditemukan dokumen pemberitahuan impor barang di Bea Cukai,” terang Mahfud.
Baca juga :Kejagung Usut Dugaan Korupsi Pengelolaan Satelit Orbit 123
Menurut Mahfud, berdasarkan catatan BPKP, barang yang dilengkapi dengan dokumen hanya bernilai sekitar Rp 1,9 miliar atau sekitar 132.000 dollar AS.
Terkait dengan pro kontra pendapat yang disuarakan oleh berbagai pihak, Mahfud mengimbau agar semua pihak mengikuti proses hukum yang sedang berlangsung. Proses hukum diminta diikuti sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sebab, untuk sampai pada tahapan penyelidikan di Kejaksaan Agung (Kejagung), pemerintah sudah membahas dengan berbagai pihak terkait berkali-kali.
Mahfud menegaskan, pemerintah akan tetap melakukan upaya hukum maksimal untuk menyelamatkan satelit orbit komunikasi pertahanan itu untuk kepentingan pertahanan negara. Saat ini, pemerintah telah berhasil memperpanjang masa berlaku orbit satelit pada tahun 2018 dalam sidang International Telecommunication Union (ITU). Hal itu dilakukan selama proses penyelesaian kontrak-kontrak dengan berbagai pihak. Pemerintah juga mengklaim telah mendapatkan perpanjangan kontrak dari ITU sampai tahun 2024.
”Dengan catatan harus ada kepastian bahwa tahun 2024 slot orbit tersebut sudah benar-benar terisi dengan satelit,” kata Mahfud.
Pemerintah akan tetap melakukan upaya hukum maksimal untuk menyelamatkan satelit orbit komunikasi pertahanan itu untuk kepentingan pertahanan negara.
Dalam waktu dekat ini, lanjut Mahfud, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate juga akan diundang lagi ke ITU untuk memastikan bahwa pemerintah masih akan memanfaatkan dan mengisi slot orbit tersebut. Pemerintah tetap berkomitmen untuk mempertahankan slot Orbit 123 Bujur Timur di depan sidang ITU.
”Masalah ini harus dibawa ke ranah hukum setelah melalui pembahasan yang mendalam dan berkali-kali. Sampai tiba saatnya kami berhenti membahas secara berputar-putar tanpa ujung dan meminta BPKP melakukan audit. Hasilnya, ya memang harus dibawa ke ranah hukum,” tegas Mahfud.
Alat bukti
Sementara itu, seusai rapat kerja antara Komisi III DPR dan Jaksa Agung di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (17/1/2022), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Febrie Adriansyah menyampaikan, pihaknya masih terus mengumpulkan alat bukti terkait dugaan korupsi dalam kasus sewa satelit untuk slot Orbit 123. Pengumpulan alat bukti ini bertujuan untuk mengejar pihak yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut.
”Ini, kan, kepentingan untuk penyidikan, masih pengumpulan dokumen dan alat bukti. Setelah itu baru digelar, baru tahapan siapa yang bertanggung jawab,” ujar Febrie.
Baca juga : Dari Orbit 123 Bujur Timur yang Menjadi Dugaan Korupsi...
Febrie melanjutkan, dalam proses pengumpulan alat bukti, penyidik juga memanggil sejumlah saksi. Mereka berasal dari pihak swasta dan Kementerian Pertahanan.
Saat ditanyakan, apakah Kejagung akan memanggil mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu berkaitan dengan kasus ini, menurut Febrie, masih terlalu jauh untuk sampai ke sana.”Belum sampai situlah. Yang jelas kami lihat dari materiil perbuatan,” ucapnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menambahkan, setidaknya tiga saksi telah diperiksa pada Senin ini. Ketiga saksi tersebut berasal dari PT Dini Nusa Kusuma. Perusahaan tersebut merupakan pemegang hak pengelolaanfilingsatelit Indonesia untuk dapat mengoperasikan satelit atau menggunakan spektrum frekuensi radio di orbit satelit tertentu.
Ketiga saksi yang telah dipanggil ialah PY selaku Senior Account Manager PT Dini Nusa Kusuma, RACS selaku Promotion Manager PT Dini Nusa Kusuma, dan AK selaku General Manager PT Dini Nusa Kusuma.
”Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam pengadaan satelit slot Orbit 123 Bujur Timur di Kemenhan,” ujar Leonard.
Putusan arbitrase
Secara terpisah, melalui keterangan tertulis, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, jika ada indikasi tindak pidana korupsi, hal tersebut perlu untuk terus diproses. Namun, itu seharusnya tidak digunakan sebagai strategi untuk menghindari eksekusi atas putusan arbitrase.
Sebagaimana diketahui, pihak penyedia satelit untuk mengisi kekosongan sementara slot Orbit 123 adalah Avanti Communication Limited. Dalam kasus ini, Kemenhan digugat atas dasar kekurangan pembayaran sewa di arbitrase yang berkedudukan di London, Inggris.
Kasus lain adalah pengadaan satelit untuk mengisi slot Orbit 123 secara permanen. Penyedia satelit secara permanen ini adalah Navayo, Airbus, Detente, Hogan, Lovel, dan Telesa. Dalam kasus kedua ini, Kemenhan digugat karena wanprestasi atas kontrak di arbitrase yang berkedudukan di Singapura.
Untuk dua kasus yang telah diputus, baik di London maupun Singapura, menurut Hikmahanto, ada dua upaya hukum yang bisa dilakukan. Pertama, proses pembatalan putusan arbitrase. Inti dari proses hukum ini bukanlah banding sehingga tidak memasalahkan substansi yang diperkarakan. Proses hukum ini terkait dengan prosedural dalam berarbitrase.
”Upaya hukum ini harus dilakukan di pengadilan di mana putusan arbitrase diputus. Jika arbitrase diputus di London, harus diajukan ke pengadilan London. Alasan untuk membatalkan pun harus berdasarkan hukum Inggris,” ucap Hikmahanto.
Baca juga :Menguasai Teknologi Satelit, Merengkuh Kesejahteraan
Upaya hukum kedua adalah penolakan untuk melaksanakan putusan arbitrase yang dibuat. Penolakan ini dilakukan oleh pengadilan di mana aset pihak yang kalah berada. Untuk diketahui, dalam perkara perdata, baik di pengadilan maupun arbitrase, sebuah putusan hanya memiliki makna menang di atas kertas.
Dalam perkara pengadaan satelit untuk slot Orbit 123, jika Kemenhan tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, pihak penyedia satelit akan meminta pengadilan di mana Kemenhan memiliki aset untuk melakukan eksekusi.
”Secara logika pihak-pihak yang menang perkara akan membawa putusan arbitrase tersebut ke pengadilan Indonesia. Dalam konteks ini mungkin proses tindak pidana korupsi di Indonesia dimulai,” kata Hikmahanto.
Di sini, strateginya adalah pengadilan Indonesia akan menolak putusan arbitrase yang diminta untuk dilaksanakan karena terindikasi korupsi. Strategi seperti ini bisa saja berhasil atas dasar putusan yang hendak dieksekusi melanggar ketertiban umum di Indonesia.
Tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan adalah adanya delik korupsi yang dilakukan oleh penyedia satelit atau kontrak pengadaan satelit terindikasi ada delik korupsinya.
Namun, tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan adalah adanya delik korupsi yang dilakukan oleh penyedia satelit atau kontrak pengadaan satelit terindikasi ada delik korupsinya. Apabila delik korupsi yang hendak dibuktikan lebih ke masalah pengadaan internal di Kemenhan, upaya ini tidak terlalu banyak membantu.
”Strategi untuk melakukan penolakan bisa gagal karena pihak penyedia satelit tidak pergi ke pengadilan di Indonesia untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase yang mereka menangkan. Penyedia satelit bisa saja pergi ke pengadilan-pengadilan di luar negeri di mana Pemerintah Indonesia memiliki aset sepanjang bukan aset milik kantor perwakilan Indonesia di luar negeri, seperti kedutaan besar atau konsulat jenderal,” tutur Hikmahanto.
Dari sini, pemerintah harus lebih fokus dalam mengambil langkah agar putusan arbitrase tidak dilaksanakan atau dibatalkan. Pemerintah perlu mengundang ahli, bahkan pengacara berkaliber internasional yang memahami seluk-beluk tentang upaya pembatalan putusan, baik di London maupun Singapura, dan pengacara yang memahami upaya penolakan putusan arbitrase di luar Indonesia.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berharap Kejagung segera menetapkan tersangka dalam kasus ini jika ditemukan dua alat bukti yang cukup. Ia juga meminta kepada Kejagung dan Kemenhan agar memperketat pengawasan pengadaan lain pascakasus ini.
”Prinsipnya, kami mendukung pengadaan-pengadaan itu karena demi pertahanan, tetapi yang penting jangan sampai ada yang melakukan korupsi lagi. Pelajaran pertama terkait proyek satelit seharusnya menjadikan semua cermat dan cerdas sehingga tak terulang lagi,” tutur Boyamin.