Menguasai Teknologi Satelit, Merengkuh Kesejahteraan
Wilayah Indonesia yang luas, berpulau, dan jumlah penduduk yang besar membuat teknologi satelit berperan penting dalam pemantauan wilayah dan menghubungkan masyarakat.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Selama pandemi Covid-19, sebagian besar urusan hidup terpaksa harus dilakukan dari rumah. Masyarakat dilarang berkumpul di dunia nyata demi mencegah penularan virus korona. Akibatnya, ”kerumunan” manusia itu banyak berpindah ke dunia maya. Teknologi informasi dan komunikasi yang menyatukannya dan satelitlah yang menghubungkannya.
Di masa lalu, bekerja, belajar, hingga bersosialisasi menggunakan internet hanya bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu. Namun, pandemi Covid-19 memaksa semua orang harus melakukannya. Tak peduli mereka tinggal di mana, termasuk di daerah pelosok, dan dari kelompok ekonomi apa pun, dituntut untuk terikat di dunia maya.
Di awal pengembangannya, satelit banyak dimanfaatkan untuk keperluan militer. Satelit buatan manusia yang pertama diluncurkan keluar angkasa adalah Sputnik milik Uni Soviet pada 1957. Kini, pemanfaatan satelit berkembang luas seiring makin lebarnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Satelit telah menjadi bagian dari kehidupan kita. (Thomas Djamaluddin)
”Satelit telah menjadi bagian dari kehidupan kita,” kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dalam webinar Pekan Antariksa Dunia 2020, Rabu (7/10/2020).
Satelit dimanfaatkan untuk pemotretan rupa Bumi, pantauan cuaca, telekomunikasi, penyiaran, layanan medis jarak jauh (telemedicine), pengamatan lingkungan, pengendalian transportasi, militer, dan berbagai keperluan ilmiah lain. Namun, satelit juga digunakan untuk pembelajaran jarak jauh, memesan makanan, penunjuk jalan, deteksi lokasi kemacetan, hingga bermain gim video.
Tak hanya itu, satelit juga berperan dalam pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Untuk mencapai tujuan kedua dari SDGs, yaitu Tanpa Kelaparan, satelit bisa dioptimalkan untuk perencanaan tanam dan pemantauan hasil pertanian, pemandu traktor, penentuan lokasi tangkapan ikan di laut, dan memprediksi cuaca.
Dengan satelit, proses pertanian dan perikanan tangkap menjadi lebih efisien. Produk yang dihasilkan pun bisa lebih dipastikan kuantitas dan kualitasnya. ”Data satelit bisa digunakan untuk meningkatkan efisiensi produksi pertanian hingga membantu mengurangi kelaparan,” kata analis orbit satelit BRISat Pratiwi Kusumawardani.
Makin masifnya pemanfaatan satelit menuntut Indonesia harus bisa menguasai teknologi perancangan, pengoperasian, hingga peluncuran satelit. Meskipun Indonesia adalah negara ketiga di dunia yang menggunakan satelit telekomunikasi setelah Amerika Serikat dan Kanada pada 1976, hingga kini Indonesia masih bergantung pada negara lain untuk membuat dan meluncurkan satelit.
”Di era industri 4.0, inovasi teknologi, termasuk teknologi keantariksaan, adalah keniscayaan dan keharusan untuk bisa menguasai dan mengembangkan ilmu dan teknologi keantariksaan di dalam negeri, khususnya satelit,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam.
Belum lagi, luasnya wilayah Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau dengan banyaknya potensi bencana yang dimiliki, jumlah penduduk yang saat ini mencapai 270 juta jiwa, hingga prediksi menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia pada 2024, membuat Indonesia harus segera menguasai semua lini teknologi satelit. Namun, keterbatasan dana membuat berbagai proyek pengembangan satelit Indonesia terhambat.
”Indonesia perlu mengembangkan teknologi yang tepat sesuai luas wilayahnya,” kata profesor di Pusat Penginderaan Jauh Lingkungan Universitas Chiba, Jepang, Josaphat Tetuko Sri Sumantyo.
Meski memiliki penduduk dua kali lipat penduduk Jepang dan luas wilayah lima kali luas Jepang, jumlah satelit yang dimiliki Indonesia tertinggal jauh. Karena itu, ekonomi Indonesia yang makin membaik dan terus tumbuhnya ekonomi seharusnya kian mendorong pengembangan banyak teknologi, termasuk teknologi antariksa.
Thomas menambahkan, pentingnya Indonesia menguasai teknologi satelit adalah karena umur satelit pendek. Satelit mikro yang ada di orbit rendah Bumi, termasuk tiga satelit riset punya Lapan, berumur antara 3-6 tahun. Sementara satelit telekomunikasi yang ada di orbit geostasioner bisa berumur 15-20 tahun.
Tantangan
Menurut Nizam, minat siswa dan mahasiswa Indonesia untuk menguasai teknologi antariksa sangat besar. Namun, pusat riset teknogi keantariksaan, khususnya terkait pengembangan satelit, belum berkembang. Kemampuan Lapan sebagai penggerak riset dan pengembangan satelit di Indonesia pun terbatas hingga sulit mengakomodasi semua siswa yang ingin magang, riset, atau praktik tentang satelit.
Di sisi lain, peran industri swasta juga sangat terbatas. Menurut Josaphat, Indonesia perlu mendorong peran lebih besar industri swasta dalam penguasaan teknologi keantariksaan. Tren industri keantariksaan dunia saat ini adalah makin besarnya peran swasta, khususnya untuk peluncuran satelit, dan makin berkurangnya peran lembaga negara.
Selain industri, kerja sama berbagai pihak itu juga perlu dilakukan dengan peneliti dan perekayasa dari berbagai bidang. Terlebih setelah satelit Lapan A4 diluncurkan pada 2021, menurut peneliti Pusat Teknologi Satelit Lapan Wahyudi Hasbi, Lapan ingin menguasai teknologi konstelasi satelit komunikasi yang akan ditempatkan di orbit rendah Bumi.
”Program pengembangan satelit komunikasi itu membutuhkan kerja sama banyak pihak,” katanya. Kerja sama itu diharapkan akan mempercepat pengembangan satelit di Indonesia, baik dari penyiapan fasilitas riset dan produksinya maupun pengembangan sumber daya manusianya.
Selain penguasaan teknologi pembuatan, pengoperasian, dan peluncuran satelit, Indonesia juga perlu mengembangkan sejumlah kemampuan pendukung agar satelit yang dimiliki mampu beroperasi baik. Karena itu, penguasaan pemantauan cuaca antariksa juga menjadi kemampuan penting agar satelit Indonesia bisa bekerja sesuai umur hidup satelit yang dirancang.
”Cuaca antariksa harus dipahami karena bisa menganggu operasional satelit,” kata peneliti di Pusat Sains Antariksa Lapan, Rhorom Priyatikanto.
Besarnya pemanfaatan satelit itu membuat penguasaan teknologi satelit dan berbagai kemampuan pendukungnya harus segera dilakukan. Terlebih, sejumlah negara dengan ukuran ekonomi lebih kecil, bahkan negara-negara kecil pun berlomba menguasai teknologi satelit.
Indonesia tidak boleh terus-menerus bergantung pada negara lain dan menjadi penonton yang selalu terkagum-kagum akan kemajuan teknologi bangsa lain. Jika itu yang terus terjadi, cita-cita pendiri bangsa untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia akan sulit dicapai.