Dari Orbit 123 Bujur Timur yang Menjadi Dugaan Korupsi...
Kekosongan ruang usai satelit Garuda-1 di slot 123 Bujur Timur ditarik, Kemenhan dapat tugas mengisi kekosongan dengan menyewa satelit. Namun, tugas tak berjalan dengan benar. Kini berbuah dugaan korupsi. Siapa salah?
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
Slot orbit satelit di 123 Bujur Timur atau Orbit 123 BT di atas Sulawesi dinilai sangat strategis. Tidak saja posisinya yang ada di tengah Indonesia, tetapi juga karena spesifikasinya satelit untuk slot tersebut adalah L-band. L band sendiri sangat diperlukan oleh teknologi masa depan, seperti komunikasi mobile, telekomunikasi, dan pengindraan.
L-band juga sangat ekonomis dan praktis serta penting untuk pertahanan. Pasalnya, selain sinyalnya relatif bandel dan tahan dari gangguan cuaca, alat-alat yang menggunakan L-band bisa berukuran lebih kecil dari rentang frekuensi lainnya, seperti C-band, Ku-band, dan Ka-band. Apalagi L-band juga menjadi rentang frekuensi yang paling ideal untuk pengindraan maritim, termasuk komunikasi dengan pulau-pulau terluar dan kecil. Sejauh ini, jangkauan satelit L-band di 123 BT mencakup China dan India.
Saat ini, jumlah L-band juga paling sedikit. Saat ini hanya ada delapan negara yang memanfaatkan orbit satelit berspektrum L-Band. Selain Indonesia, ada Inggris, Uni Emirat Arab, Jepang, Mesir, Amerika Serikat, Australia, dan Rusia. Masalahnya, jika slot ini tidak diisi oleh Indonesia, slot tersebut akan diberikan ke negara lain.
Slot 123 BT kosong ketika tahun 2015 karena Satelit Garuda-1 milik sebuah perusahaan swasta Indonesia keluar orbit. Akibatnya, terjadi kekosongan pada orbit 123 derajat BT. International Telecommunication Union, badan di bawah PBB, mengatakan, negara yang bersangkutan wajib mengisi kembali dengan satelit lain dalam waktu tiga tahun.
Rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo pada 2015 menugaskan Kementerian Pertahanan agar mengisi slot kekosongan yang ditinggalkan Garuda-1 tersebut. ”Jika belum ada satelitnya, ya sewa,” kira-kira begitu instruksi Presiden Jokowi saat itu. Maka, pada tahun 2015 itu, Kemenhan pun mengisi slot tersebut dengan satelit militer. Anggaran Kementerian Pertahanan bertambah Rp 1,327 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) pada tahun 2016.
Namun, tampaknya pengadaannya tidak beres. Pengelola satelit yang kemudian disewa merasa dirugikan. Buntutnya, sewa pun tidak dibayar. Pemerintah RI tak hanya digugat di arbitrase, tetapi juga terendus adanya penyimpangan soal sewa-menyewa satelit. Pemerintah pun rugi, Jaksa Agung pun ditugaskan mengusutnya.
Diduga, penyelewengan pengadaan satelit untuk slot 123 BT bukan hanya terkait masalah keuangan, melainkan juga keuntungan teknologi dan ekonomi bahkan keamanan serta keselamatan negara. Saat ini, banyak negara dan perusahaan yang mengantre, siap masuk ke slot 123 kalau sampai Indonesia tidak mengisinya.
Diduga, penyelewengan pengadaan satelit untuk slot 123 BT bukan hanya terkait masalah keuangan, melainkan juga keuntungan teknologi dan ekonomi bahkan keamanan serta keselamatan negara. Saat ini, banyak negara dan perusahaan yang mengantre, siap masuk ke slot 123 kalau sampai Indonesia tidak mengisinya.
Penambahan ini, menurut Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan Marsekal Muda M Syaugi, disediakan untuk pengadaan satelit yang akan mengisi slot Garuda-1 pada 123 Bujur Timur (Kompas, 14 Juni 2016).
Kemenhan yang ditugaskan karena dinilai slot itu sangat penting diisi satelit militer untuk TNI. Untuk melengkapi alat utama sistem persenjataan (alutsista), TNI membutuhkan di antaranya teknologi satelit, yang bisa bentuk satu satelit utuh atau slot pada satelit komersial. Slot militer digunakan TNI untuk pengumpulan data intelijen, pengintaian, navigasi, dan komunikasi. Hal ini mengingat kebutuhan interoperabilitas antara TNI Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara yang membutuhkan data link dalam komando dan pengendalian.
Secara terpisah, Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan Laksamana Muda Leonardi awalnya mengatakan, pengadaan satelit akan dilakukan oleh Airbus Defense Space (Kompas, 19 Juni 2016). Pengadaannya memang kemudian bermasalah.
Dari hasil audit BPK, disebutkan bahwa pada 1 Desember 2015, Kementerian Pertahanan dan Airbus Defence and Space (SAS) menandatangani kontrak utama pembangunan satelit MMS dan Ground Segment senilai 669,5 juta dollar AS atau Rp 9,565 triliun. Namun, rupanya Kemenhan tidak bisa memenuhi kontrak karena tidak ada anggaran.
Dari hasil audit BPK, disebutkan bahwa pada 1 Desember 2015, Kementerian Pertahanan dan Airbus Defence and Space (SAS) menandatangani kontrak utama pembangunan satelit MMS dan Ground Segment senilai 669,5 juta dollar AS atau Rp 9,565 triliun. Namun, rupanya Kementerian Pertahanan tidak bisa memenuhi kontrak karena tidak ada anggaran.
Bermasalah dengan perusahaan TI Inggris
Salah satu perusahaan yang menuntut adalah Navayo International AG di Pengadilan Arbitrase Internasional Singapura. Dalam keputusan 22 April 2021, Kemenhan RI kalah dan harus membayar tagihan 16 juta dollar AS dan biaya perkara 1,85 juta dollar AS atau Rp 255 miliar.
Selain itu, Kemenhan RI juga bermasalah dengan Avanti, perusahaan komunikasi berbasis di Inggris. Kebetulan ada satelit Artemis milik Avanti yang akan habis bahan bakarnya pada 2019. Karena itu, Kemenhan menyewa satelit Artemis dengan nilai sewa 30 juta dollar AS. Avanti akan menempatkan satelit Artemis pada 12 November 2016 sambil menunggu satelit Airbus selesai 2019.
Namun, sejak 2017, Kemenhan juga tidak membayar sewa. Avanti kemudian menghentikan kontrak dan memperkarakan Pemerintah RI ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Inggris. Hingga 30 Juni 2017, total tagihan yang belum dibayar Kemenhan 16,8 juta dollar AS. ”Selama ini, tak ada bantahan dari Pemerintah RI dan kami yakin tuntutan ini bisa dipenuhi di arbitrase,” demikian laporan Avanti, Desember 2017 (Kompas, 6 April 2018).
Tahun 2018, Kemenhan lalu mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 BT ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sebagaimana disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD, Kamis (13/12/2018).
Selanjutnya, pada 10 Desember 2018, pengisian orbit itu diserahkan kepada PT Dini Nusa Kusuma (DNK). Namun, PT DNK rupanya tidak bisa menyelesaikan masalah yang tersisa dari Kemenhan yang menjadi ganjalan dalam pengadaan satelit komunikasi pertahanan.
Kemenhan RI juga bermasalah dengan Avanti, perusahaan komunikasi berbasis di Inggris. Kebetulan ada satelit Artemis milik Avanti yang akan habis bahan bakarnya pada 2019. Karena itu, Kemenhan menyewa satelit Artemis dengan nilai sewa 30 juta dollar AS. Avanti akan menempatkan satelit Artemis pada 12 November 2016 sambil menunggu satelit Airbus selesai 2019.
Masalah masih akan bertambah. Kemenhan juga telah menandatangani kontrak dengan Detente, Hogan Lovells, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016 yang anggarannya tahun 2015 juga belum tersedia. ”Tahun 2016, anggaran telah tersedia tetapi dilakukan self blocking oleh Kemenhan,” kata Mahfud.
Berkat berbagai putusan arbitrase, Mahfud merinci bahwa negara mengalami kerugian sekitar Rp 815 miliar. Kerugian akan terus bertambah karena masih ada tuntutan lainnya. Namun, lebih daripada kerugian uang pada saat ini, Indonesia mengalami kerugian strategis bahkan ancaman pelik di masa depan kalau sampai slot 123 BT diambil pihak lain.
Hal ini disebabkan oleh beberapa oknum korup, baik di kalangan sipil maupun militer, baik perwira menengah maupun perwira tinggi. Informasi yang diperoleh Kompas, telah ada beberapa calon tersangka. Karena itu, masyarakat mengharapkan kasus ini diusut hingga ke pelaku utama, tidak hanya di tingkat menengah saja yang dikorbankan.