Kejagung Usut Dugaan Korupsi Pengelolaan Satelit Orbit 123
Akibat kasus pengelolaan satelit untuk Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur pada 2015, Kemenhan harus membayar 20,9 juta dollar AS serta berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Détente, Hogan Lovells, dan Telesat.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/Edna C Pattisina
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Instruksi Presiden Joko Widodo sejak 2018 untuk menguak dugaan pelanggaran hukum yang merugikan keuangan negara dalam pengelolaan satelit untuk Slot Orbit 123 menjumpai titik terang. Dalam waktu dekat, Kejaksaan Agung yang menyelidiki kasus tersebut berjanji akan meningkatkan kasus tersebut ke tahap penyidikan.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin saat jumpa pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kamis (13/1/2022), mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir, pihaknya telah meneliti dan mendalami kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan satelit untuk Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur pada 2015.
Fakta-fakta yang didapatkan oleh Kejagung disebut sudah hampir mengerucut. Menurut Burhanuddin, di tahapan penyelidikan, Kejagung juga sudah menemukan cukup bukti untuk meningkatkan perkara ke tingkat penyidikan. Namun, ia enggan menyebutkan detailnya karena masih tahapan penyelidikan.
”Insya Allah dalam waktu dekat akan naik (ke tingkat) penyidikan. Dalam satu atau dua hari ini, kami akan tindak lanjuti,” ujar Burhanuddin.
Saat ditanya terkait pelanggaran hukum apa yang terjadi dalam perkara itu, Burhanuddin enggan merinci. Dia menyatakan kasus masih pendalaman di tingkat penyelidikan. Terkait dengan nilai kerugian negara yang dialami juga akan dikaji oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kontrak melanggar hukum
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pengungkapan dan penegakan hukum dalam kasus itu menjadi atensi, bahkan perintah langsung dari Presiden Jokowi. Hal itu disampaikan Presiden dalam sidang kabinet tanggal 21 Agustus 2018.
Setelah dipelajari selama tiga tahun dengan tim dari Kejaksaan Agung, akhirnya kasus tersebut bisa dibuka ke publik. ”Presiden memerintahkan langsung Kemenko Polhukam untuk mempelajari ini dan kami terus berkoordinasi dengan Kejagung sampai hasilnya sekarang ini,” kata Mahfud.
Kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara itu bermula dari kekosongan pengelolaan Satelit Garuda-1 yang telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT).
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang mendapat hak pengelolaan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan Slot Orbit 123 derajat BT itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Dalam perjalanannya, kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit dialihkan dari Kemenkominfo ke Kemenhan walaupun tidak ada dasar hukumnya. Setelah itu, Kemenhan membuat kontrak sewa Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited (Avanti) pada 6 Desember 2015 meskipun persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kemenkominfo baru diterbitkan, 29 Januari 2016.
Dua tahun kemudian, tepatnya 25 Juni 2018, hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT dikembalikan dari Kemenhan kepada Kemenkominfo.
Kemudian, pada 10 Desember 2018, Kemenkominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun, PT DNK juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan pengadaan Satkomhan tersebut.
”Dugaan pelanggaran hukum ini telah menyebabkan kerugian negara karena oleh pengadilan, negara diwajibkan untuk membayar uang yang sangat besar. Padahal, kewajiban itu lahir dari sesuatu yang secara prosedural salah, yaitu kontrak kerja antara Kemenhan dan perusahaan Avanti di tahun 2015. Dia sudah melakukan kontrak, padahal anggaran belum ada,” kata Mahfud.
Di 2015, saat melakukan kontrak dengan Avanti, Kemenhan belum memiliki pos anggaran untuk itu. Namun, kontrak dengan pihak ketiga tetap dilakukan. Tidak hanya dengan Avanti, tetapi kontrak pembangunan Satkomhan itu juga melibatkan perusahaan lain, yaitu Navayo, Airbus, Détente, Hogan Lovells, dan Telesat, kurun waktu 2015-2016.
”Berdasarkan kontrak yang dimulai sebelum ada anggaran dari negara itu jelas melanggar prosedur. Kemudian, Avanti menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang ditandatangani. Pengadilan arbitrase di Inggris itu lalu memutus yang berakibat negara harus membayar senilai Rp 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya,” terang Mahfud.
Di luar gugatan arbitrase itu, Navayo yang telah menandatangani kontrak dengan Kemenhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan dokumen certificate of performance. Meskipun tidak sesuai spesifikasi, barang tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemenhan tahun 2016-2017.
Navayo kemudian mengajukan tagihan senilai 16 juta dollar AS kepada Kemenhan. Namun, pemerintah menolak untuk membayar kewajiban itu. Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura dan divonis Kemenhan harus membayar 20,9 juta dollar AS kepada Navayo.
”Selain itu, Kemenhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Détente, Hogan Lovells, dan Telesat sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, dari rangkaian peristiwa itu ada dugaan pelanggaran hukum dari kontrak sewa satelit yang merugikan negara. Pihak yang membuat kontrak itu harus bertanggung jawab secara hukum. Sebab, kontrak dibuat sebelum ada kewenangan dari negara untuk melakukan pengadaan sewa satelit.
”Kami anggap ini pelanggaran prosedur (kontrak) yang serius dan negara tidak akan membiarkan ini sehingga Kejaksaan Agung diminta meneruskan dan memproses hukum perkara apa yang telah kami lakukan,” kata Mahfud.
Terkait kasus ini, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Pertahanan Penny Radjendra tidak menjawab pesan pendek yang dikirim Kompas. Adapun juru bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Dahnil A Simanjuntak, menolak berkomentar.
Namun, sebelumnya, Inspektur Jenderal Kemenhan Letjen Ida Bagus Purwalaksana dalam rapat dengan BPKP membahas dokumen Kemenhan pada Desember 2015, telah menandatangani Kontrak Pengadaan Satelit dengan Airbus yang berisi tentang Pengadaan Satelit Mss (Mobile Satellite Service), Ground Segment beserta dukungannya, untuk menyelamatkan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur sebagai Program Satelit Komunikasi Nasional.
Saat itu, Bagus memerintahkan, satuan kerja yang menjadi obyek audit diharapkan dapat membantu tim BPKP dengan memberikan dokumen yang diperlukan.