Vonis Bekas Penyidik KPK Tak Setinggi Tuntutan, KPK Tetap Puas
KPK menilai majelis hakim telah bekerja sesuai tugas dan kewenangannya dalam memvonis bekas penyidik KPK Robin Pattuju. Yang dipertimbangkan dan diputuskan hakim dinilai telah sesuai dengan tuntutan tim jaksa KPK.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengapresiasi putusan majelis hakim yang memvonis bekas penyidik KPK, Stepanus Robin Pattuju, 11 tahun penjara dalam kasus suap pengurusan perkara di KPK meski tuntutan jaksa, hukuman 12 tahun penjara. Sebaliknya, pegiat antikorupsi menyayangkan putusan hakim karena menolak permohonan justice collaborator yang diajukan Robin.
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (12/1/2021), majelis hakim memvonis Robin 11 tahun penjara karena terbukti menerima suap dari sejumlah pihak yang beperkara di KPK. Robin bekerja sama dengan pengacara bernama Maskur Husain yang diganjar sembilan tahun penjara. Vonis atas Maskur pun lebih ringan daripada tuntutan jaksa KPK, yakni hukuman 10 tahun penjara.
Pihak beperkara yang dibantu Robin dan Maskur, antara lain, bekas Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial, bekas Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, dan orang kepercayaannya Aliza Gunado, bekas Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna, Direktur PT Tenjo Jaya Usman Efendi, dan bekas Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Total uang yang diterima adalah Rp 11 miliar dan 36.000 dollar AS atau total Rp 11,5 miliar.
Selain itu, dalam putusannya, majelis hakim menolak permohonan justice collaborator (JC) Robin. Alasannya, permintaan Robin untuk menahan Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar dan pengacara Arief Aceh tidak relevan dengan perkara yang sedang diperiksa.
Atas putusan hakim itu, Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Rabu (12/1/2022), mengatakan, KPK mengapresiasinya. Majelis hakim dianggap telah bekerja independen sesuai tugas dan kewenangannya. Selain itu, yang dipertimbangkan dan diputuskan hakim telah sesuai dengan yang KPK uraikan dalam surat tuntutan tim jaksa KPK.
”Perbedaannya hanya pada berat ringannya hukuman saja,” ujar Ali.
Majelis hakim juga dianggap telah memutuskan bagaimana peran-peran para pihak sebagaimana yang dituangkan dalam permohonan justice collaborator (JC) Robin, sudah sesuai dengan fakta-fakta hukumnya.
Setelah putusan ini, menurut Ali, tim jaksa akan menganalisis hasil putusan tersebut guna menyiapkan langkah-langkah berikutnya.
Mendalami peran Lili
Dihubungi secara terpisah, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, apa pun putusan hakim harus dihormati meskipun dirasa salah. Misalnya, ia mengaku tidak puas dengan putusan hakim yang menolak permohonan JC Robin.
Padahal, menurut Boyamin, permohonan JC itu sangat relevan dengan perkara yang sedang diperiksa majelis hakim. Sebab, perkara itu menyangkut orang yang sama, yakni bekas Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial yang ingin lepas dari jeratan hukum oleh KPK dalam kasus dugaan jual beli jabatan.
”Dia (Syahrial), kan, memang menghubungi beberapa pihak, selain Robin, juga terungkap bekas wali kota itu menghubungi atau dihubungi Ibu Lili. Bahkan, diberi mandat untuk memakai lawyer yang namanya Arief Aceh dan itu sudah terkonfirmasi di Dewan Pengawas KPK. Bu Lili sudah dinyatakan bersalah melanggar kode etik berat karena berkomunikasi dengan Syahrial,” kata Boyamin.
Pada 30 Agustus 2021, Dewan Pengawas KPK telah memutus bersalah Lili karena menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan pihak yang beperkara dengan KPK, yakni Syahrial. Lili mendapatkan hukuman berupa sanksi pemotongan gaji sebesar 40 persen selama 12 bulan.
”Jadi, menurut saya, JC yang diajukan Robin sangat relevan karena ini diduga mengungkap pihak lain yang juga membantu Syahrial. Robin, kan, juga divonis bersalah karena membantu Syahrial,” kata Boyamin.
Ia pun pesimistis peran Lili akan terbongkar karena tampaknya KPK juga enggan menindaklanjutinya. Keseriusan dan independensi KPK pun dipertanyakan. Padahal, seharusnya KPK bisa secara independen menghadirkan Lili sebatas untuk menjadi saksi di pengadilan. ”Ya, kalau memang dia tak terbukti secara hukum, bisa saja Ibu Lili jadi bersih namanya. Tetapi nyatanya, kan, tidak pernah dihadirkan sebagai saksi di pengadilan kasus Robin,” tambahnya.
Saat ini, menurut Boyamin, satu-satunya jalan yang bisa diharapkan adalah Kejaksaan Agung. Ia telah melaporkan dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Lili ke Kejaksaan Agung. Lili diduga melanggar hukum karena telah menjalin komunikasi dengan Syahrial yang terseret dugaan korupsi.
”Saya berharap Kejaksaan Agung menindaklanjuti laporan saya. Jika Kejaksaan Agung tidak tembus juga, saya akan bawa ini ke praperadilan,” ujarnya.