Terbukti Berhubungan dengan Pihak Beperkara, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Dihukum Potong Gaji
Sanksi potongan gaji terhadap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dinilai memadai oleh Dewan Pengawas KPK meskipun Lili terbukti berhubungan dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar bersalah karena telah menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan langsung dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK. Atas perbuatannya tersebut, Lili dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebear 40 persen selama 12 bulan.
Putusan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku terhadap Lili dibacakan oleh majelis hakim yang dipimpin Ketua Dewas KPK Tumpak H Panggabean, Senin (30/8/2021), di Gedung Dewas KPK, Jakarta. Tumpak didampingi dua anggota majelis lain, Albertina Ho dan Harjono.
Dalam persidangan terungkap bahwa pada Februari-Maret 2020, Lili berkenalan dengan Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial di pesawat dalam perjalanan dari Medan ke Jakarta. Saat itu, Syahrial yang sudah mengetahui Lili sebagai unsur pimpinan KPK memperkenalkan diri sebagai wali kota dan melakukan swafoto saat pesawat mendarat.
Dalam persidangan terungkap bahwa pada Februari-Maret 2020, Lili berkenalan dengan Wali Kota Tanjung Balai M Syahrial di pesawat dalam perjalanan dari Medan ke Jakarta.
Setelah tiba di Jakarta dan keluar dari pesawat, Lili menyampaikan kepada Syahrial bahwa ada saudaranya, Ruri Prihatini Lubis, yang pernah menjabat Pelaksana Tugas Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kualo Tanjung Balai, tetapi belum dibayar uang jasa pengabdiannya oleh PDAM Tirta Kualo.
Merespons penyampaian Lili tersebut, Syahrial berjanji akan mengeceknya ke Direktur PDAM Tirta Kualo Yudhi Gobel. Kemudian, agar Syahrial dapat memberikan informasi tentang pembayaran uang jasa pengabdian tersebut, Lili memberikan nomor telepon genggamnya.
Baca juga : Putusan Dugaan Pelanggaran Etik Lili Pintauli Jadi Pertaruhan Kredibilitas Dewas KPK
Setelah kembali ke Tanjung Balai, Syahrial memanggil Yudhi dan menanyakan tentang uang jasa pengabdian Ruri yang belum dibayar. Pada waktu itu, Yudhi hanya menyampaikan bahwa keuangan perusahaan sedang sulit.
Setelah itu, Syahrial memberitahukan kepada Lili melalui telepon bahwa uang jasa pengabdian Ruri akan dibayarkan. Lili pun mengucapkan terima kasih.
Untuk memperkuat penagihan uang jasa pengabdian tersebut, Lili menyampaikan kepada Ruri agar membuat surat kepada Direktur PDAM Tirta Kualo dan ditembuskan kepada KPK. Atas petunjuk Lili tersebut, Ruri kemudian membuat surat tersebut tertanggal 21 April 2020.
Majelis berpendapat, hal yang diminta Lili untuk membantu pembayaran uang jasa pengabdian saudaranya tersebut dapat dibenarkan karena saat itu ia tidak atau belum mengetahui Syahrial sedang dalam pengusutan KPK.
Baca juga : Dugaan Pelanggaran Etik Pimpinan KPK Lili Pintauli Cukup Bukti untuk Disidangkan
Namun, menurut majelis, petunjuk Lili kepada Ruri untuk membuat surat kepada Yudhi dengan menyampaikan tembusan kepada KPK adalah sangat berlebihan. Sebab, masalah uang jasa pengabdian belum dibayarkan itu adalah urusan perdata seseorang dengan perusahaan daerah, tidak ada kaitannya dengan tugas dan kewenangan KPK, baik dari sisi pencegahan maupun penindakan.
”Menimbang bahwa karena petunjuk tersebut berlebihan dan tidak ada hubungannya dengan tugas dan kewenangan KPK, majelis berpendapat terperiksa (Lili) memberikan pengaruh yang kuat kepada Syahrial dan Yudhi untuk segera membayar uang jasa pengabdian saudaranya, Ruri,” ujar Albertina.
Pada akhirnya, uang jasa pengabdian tersebut dibayarkan kepada Ruri secara dicicil sebanyak tiga kali, dengan total Rp 53.334.640. Dari sini, majelis berpendapat, pembayaran uang jasa pengabdian tersebut didasari pengaruh Lili yang meminta bantuan kepada Syahrial. Selain itu, ada pula permintaan dari Syahrial dan surat dari Ruri yang ditembuskan ke KPK.
Meski saat itu belum mengetahui perkara yang melibatkan Syahrial, majelis berpendapat, setidaknya Lili menyadari permintaan tersebut tidak patut atau tidak pantas disampaikan kepada seorang wali kota yang baru dikenalnya di dalam pesawat.
Meski saat itu belum mengetahui perkara yang melibatkan Syahrial, majelis berpendapat, setidaknya Lili menyadari permintaan tersebut tidak patut atau tidak pantas disampaikan kepada seorang wali kota yang baru dikenalnya di dalam pesawat. Apalagi, KPK menangani banyak perkara yang berhubungan dengan kepala daerah.
Selain itu, majelis juga berpendapat, upaya Lili yang memperjuangkan uang jasa pengabdian saudaranya agar dibayarkan tetap termasuk dalam pengertian untuk kepentingan pribadi.
Berhubungan dengan pihak beperkara
Dalam putusan, majelis juga menyatakan Lili terbukti melanggar ketentuan Pasal 4 Ayat 2 Huruf a Peraturan Dewas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Dewan Pengawas, Pimpinan, dan Pegawai KPK. Pada intinya, melarang insan KPK berhubungan dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK.
Majelis tidak mempertimbangkan norma hukum dalam Pasal 36 juncto Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK karena norma hukum tersebut dianggap bukan kewenangan majelis. Majelis, kata Albertina, hanya akan mempertimbangkan dari aspek etik dengan penekanan asas kepatutan dan kepantasan.
Baca juga : Ketua KPK Kembali Dilaporkan ke Dewan Pengawas
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, pada Juli 2020, Lili menghubungi Syahrial melalui telepon dan mengatakan, ”Ini ada namamu di mejaku, bikin malu, Rp 200 juta masih kau ambil.” Syahrial pun menjawab, itu berkaitan dengan perkara lama dan meminta bantuan Lili.
Untuk diketahui, pada September 2019, Syahrial pernah dipanggil dan diperiksa KPK terkait penyelidikan kasus perkara tindak pidana korupsi jual beli jabatan di Tanjung Balai. Dalam hasil penyelidikan tersebut, KPK telah menetapkan cukup bukti untuk meningkatkan perkaranya ke tingkat penyidikan.
Beberapa waktu kemudian, pada Oktober 2020, Syahrial kembali menghubungi Lili dan menyampaikan permohonan bantuan perihal perkaranya selaku wali kota Tanjung Balai dalam kasus jual beli jabatan. Sebab, pada waktu itu, ada informasi yang diperoleh Syahrial bahwa penyidik KPK sedang melakukan penggeledahan di Kabupaten Labuhan Batu Utara dan akan melanjutkan penggeledahan di Tanjung Balai. Atas permohonan bantuan Syahrial tersebut, Lili menjawab melalui pesan Whatsapp agar Syahrial menghubungi seorang pengacara di Medan bernama Arief Aceh dan memberikan nomor teleponnya.
”Fakta ini menambah keyakinan bagi majelis bahwa hubungan komunikasi antara terperiksa (Lili) dan Syahrial sebagai seseorang yang perkaranya sedang ditangani KPK cukup intens dan ada upaya terperiksa untuk membantu Syahrial mengatasi perkaranya. Sebab, menurut majelis, seharusnya terperiksa cukup menyampaikan ’Maaf tidak bisa membantu dan carilah pengacara’, tanpa menyebut atau menunjuk nama pengacara, bahkan memberikan nomor kontak pengacara yang bersangkutan,” tutur Albertina.
Fakta ini menambah keyakinan bagi majelis bahwa hubungan komunikasi antara terperiksa (Lili) dan Syahrial sebagai seseorang yang perkaranya sedang ditangani KPK cukup intens dan ada upaya terperiksa untuk membantu Syahrial mengatasi perkaranya.
Awal perbuatan koruptif
Dalam uraian pertimbangan penjatuhan sanksi, Albertina mengungkapkan, perbuatan Lili telah memberikan dampak kerugian yang nyata pada lembaga KPK. Hal ini dapat dilihat dari masifnya pemberitaan negatif mengenai perbuatan yang dilakukan Lili dan menjadi viral di media sosial.
Lili sebagai unsur pimpinan KPK, lanjut Albertina, seharusnya juga memahami batasan tugas dan kewenangan sehingga perbuatannya yang memberikan arahan kepada Ruri dan meminta bantuan kepada Syahrial menurut pendapat majelis dapat mengakibatkan menurunnya penilaian masyarakat terhadap KPK sebagai lembaga negara.
”Perbuatan terperiksa (Lili) yang meminta bantuan dan menghubungi Wali Kota Tanjung Balai yang perkaranya sedang ditangani KPK, selain tidak patut dan tidak pantas, juga dapat berdampak merugikan citra KPK dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada KPK sebagai lembaga negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata Albertina.
Baca juga : KPK Jalankan Pemeriksaan Etik terhadap Penyidiknya
Selain berdampak pada komisi, lanjut Albertina, perbuatan Lili yang meminta bantuan dan menghubungi pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, menurut pendapat majelis, juga dapat berdampak pada kerugian bagi negara. Sebab, tidak tertutup kemungkinan perbuatan-perbuatan tersebut menjadi awal dari perbuatan koruptif.
”Padahal, saat ini pemerintah sedang menggalakkan penegakan sistem hukum yang bebas dari korupsi, bermartabat, dan tepercaya, serta pengelolaan pemerintah yang bersih, efektif, dan tepercaya,” ucap Albertina.
Atas segala pertimbangan itu, menurut majelis, ada beberapa hal yang meringankan, seperti Lili mengakui perbuatannya dan belum pernah dijatuhi sanksi etik. Sementara hal-hal yang memberatkan antara lain Lili tidak menunjukkan penyesalan atas perbuatannya serta Lili selaku unsur pimpinan KPK seharusnya menjadi contoh dan teladan dalam pelaksanaan nilai dasar KPK.
Cukup memadai
Seusai persidangan, Tumpak menyampaikan, pemberian sanksi berat berupa pemotongan gaji terhadap Lili sudah cukup memadai. Dengan begitu, majelis tak perlu menerapkan sanksi berupa permintaan pengunduran diri kepada Lili meski sanksi tersebut juga diatur di dalam Peraturan Dewas No 2/2020.
”Jadi, tak perlu diperdebatkan karena itu adalah hasil musyawarah majelis sesuai dengan keyakinan dari majelis Dewas,” kata Tumpak.
Baca juga : Sepanjang 2020, Dewas KPK Terbitkan 571 Izin Penyadapan hingga Penggeledahan
Meski demikian, jika melakukan pelanggaran etik kembali, menurut Tumpak, terbuka kemungkinan Lili dijatuhi sanksi yang lebih berat. ”Kita lihat saja nanti, tetapi itu tentunya sudah terjadi pengulangan perbuatan,” ujarnya.
Saat ditanyakan apakah kasus pelanggaran etik Lili ini akan diserahkan ke Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK atau kepolisian untuk didalami lebih lanjut terkait dugaan pelanggaran norma hukumnya, Albertina mengatakan, itu bukan kewenangan Dewas.
”Kami hanya sebatas etik, dan kami sudah putus. Selanjutnya, serahkan saja kepada yang berwenang lainnya,” ucap Albertina.